Mohon tunggu...
Lisa Aprilia
Lisa Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya seorang yang gemar menulis, menggambar dan memasak. Saya merupakan mahasiswi program studi ilmu gizi di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Yuk, Cegah Stunting dengan Asam Lemak Esensial

4 Januari 2024   19:07 Diperbarui: 4 Januari 2024   19:16 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Stunting atau biasa dikenal sebagai kekurangan gizi kronis adalah masalah gizi balita yang dihadapi baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yang terjadi apabila kekurangan asupan gizi dari makanan yang cukup lama. 

Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan balita, di antaranya adalah mengganggu pertumbuhan tinggi dan berat badan, sehingga balita cenderung lebih pendek dengan berat badan yang jauh di bawah rata-rata anak seusianya, tumbuh kembang yang tidak optimal, Sehingga, keterlambatan berjalan pada anak atau penurunan kemampuan motorik yang dapat berpengaruh terhadap kapasitas belajar anak. 

Kondisi stunting, dapat menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan (IQ) pada anak yang bersangkutan, menjadikannya lebih rendah daripada teman sebaya dalam kelompok usianya. 

Pada tahun 2017, sekitar 22% dari total balita di dunia mengalami stunting, atau sekitar 150.800.000 balita. Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO), Indonesia menempati peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara, dengan tingkat prevalensi stunting rata-rata mencapai 36,4% dalam rentang waktu 2005 hingga 2017. 

Data Pemantauan Status Gizi Tahun 2015--2017 di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita mencapai 22% (Kemenkes, 2018). Oleh karena itu, diharapkan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum, dapat bekerja sama untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak di Indonesia.

Status gizi pada ibu menjadi salah satu penyebab yang paling signifikan dalam memengaruhi kejadian stunting pada balita, seperti terjadi pada kasus Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

 Jika seorang ibu mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) selama masa kehamilan, hal ini dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi yang optimal bagi janin, yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin. 

Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA), bersamaan dengan peningkatan berat badan selama kehamilan, dianggap sebagai faktor kunci yang dapat berpengaruh terhadap berat badan bayi pada saat kelahiran. Jika kondisi ini berlanjut dengan pemberian makanan yang tidak memadai, rentan terhadap infeksi berulang, dan kurangnya perawatan kesehatan yang memadai, maka dapat mengakibatkan terjadinya stunting pada anak. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amanda (2023), ditemukan bahwa balita yang mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat kejadian stunting. 

Rentang nilai antara 13,16 hingga 18,20 untuk BBLR diidentifikasi sebagai faktor yang paling dominan dalam kasus anak-anak yang baru saja mengalami stunting. BBLR ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis bahkan sebelum masa.  Amima (2018) mendukung penelitian ini, di mana kelompok kasus menunjukkan bahwa 41% dari ibu hamil tergolong dalam kategori Kekurangan Energi Kronis (KEK), sementara itu, pada kelompok kontrol, proporsi tersebut hanya mencapai 9,1%. 

Melalui analisis hubungan antara Lingkar Lengan Atas (LILA) dan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), hasil uji menunjukkan nilai signifikansi sebesar p=0,018. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ibu yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) dengan nilai kurang dari 23,5 memiliki risiko 6,6 kali lebih tinggi untuk mengalami BBLR. Hal ini sesuai dengan pandangan Ohlsson dan Shah (2008), ibu yang mengalami KEK berpotensi mengalami defisiensi energi dalam jangka waktu yang berkepanjangan, bahkan sebelum memasuki masa kehamilan. 

Kondisi ini dapat memberikan dampak fatal bagi perkembangan janin, terutama pada tahap awal kehamilan. Ketidakcukupan asupan gizi selama fase implantasi embrio dapat menghasilkan dampak serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin pada trimester berikutnya. Signifikansinya asupan gizi optimal selama kehamilan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin menjadi semakin jelas. Apabila ibu mengalami kekurangan gizi, penyediaan asupan gizi yang memadai untuk janin juga menjadi suatu tantangan yang kompleks. 

Konsekuensinya, terjadi gangguan pada pertumbuhan janin yang mungkin mengakibatkan Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR). Dengan demikian, keadaan gizi ibu harus diperhatikan secara khusus, pencegahan KEK selama kehamilan, dan pengawasan pertumbuhan janin untuk mengurangi risiko BBLR dan kejadian stunting pada anak balita.

Asam lemak esensial memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia balita. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan nutrisi yang sangat tinggi saat otak sedang mengalami fase pertumbuhan. 

Pada anak usia 2-3 tahun, jika mereka tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai, ini dapat memiliki dampak negatif yang berkelanjutan pada perkembangan mereka. Dampak tersebut termasuk kemungkinan mengalami gangguan dalam kemampuan mengingat informasi, kesulitan dalam memecahkan masalah, serta penurunan potensi kreativitas dan daya cipta ketika mereka mencapai dewasa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chang et al., (2009), menunjukkan bahwa asam lemak, khususnya asam lemak omega-3, menjadi komponen yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan memainkan peran vital dalam proses pertumbuhan serta perkembangan otak pada anak balita. 

Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Innis (2000), di mana asam lemak esensial omega-3 memiliki kontribusi penting dalam aspek morfologis, biokimia, dan molekuler dari otak dan organ tubuh lainnya. Kekurangan asam lemak omega-3, yang dapat timbul akibat asupan yang tidak memadai atau adanya gangguan daya serap akibat penyakit tertentu, mampu menghambat perkembangan otak. Selain itu, interaksi dengan lingkungan dan keadaan fisik juga sangat memengaruhi perkembangan kognitif. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa balita menerima asupan nutrisi yang memadai, termasuk asam lemak esensial, untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Asam lemak esensial diperoleh melalui asupan makanan dari luar dan tidak bisa dibuat oleh tubuh secara alami. Ikan lele adalah salah satu jenis ikan yang mudah untuk ditemukan dan memiliki nilai ekonomis terjangkau, serta mengandung asam lemak essensial yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Khususnya, ikan lele memiliki kandungan EPA (Asam Eikosapentaenoat) dan asam lemak tak jenuh lainnya seperti DHA (Asam Dokosaheksaenoat), yang cenderung terkonsentrasi di bagian kepala ikan. 

Purnamasari (2018) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ikan lele memiliki kandungan asam lemak omega-3 sebesar 13,6 g per 100 gr, asam lemak omega-6 sebesar 22,2 g per 100 gr, dan asam lemak omega-9 sebesar 19,5 g per 100 gr. Penelitian Effiong & Fakunle (2010) juga mendukung penelitian ini dengan menunjukkan bahwa kepala ikan lele memiliki kadar asam lemak esensial, seperti EPA dan DHA, di mana bagian tersebut memiliki kandungan yang tinggi dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Hasil penelitian Syihab & Dina (2017) sejalan dengan temuan sebelumnya, menunjukkan perbandingan komposisi asam lemak essensial, khususnya omega-3 dan omega-6, di bagian kepala ikan lele sekitar 18,49% : 47,31%, sementara di bagian tubuh sekitar 17,46% : 33,35%. Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan Gunawan (2014), diperoleh hasil bahwa minyak ikan hasil esterifikasi asam lemak etil ester, baik di bagian kepala maupun badan ikan lele menunjukkan kesamaan kandungan. Kedua bagian tersebut mengandung asam lemak esensial seperti linoleat (ALA), oleat,  DHA, dan EPA, meskipun dengan tingkat konsentrasi yang berbeda. 

Dari keempat jenis asam lemak esensial tersebut, proporsi EPA tertinggi (1,55%) terdapat pada bagian kepala ikan lele, sementara linoleat (0,37%) menunjukkan persentase komposisi paling rendah di bagian tersebut. Pada bagian badan ikan lele, kandungan DHA mencapai level tertinggi (0,68%), sedangkan linoleat memiliki proporsi terendah (0,43%). Total persentase komposisi asam lemak esensial pada bagian kepala mencapai 3,34%, sedangkan pada bagian badan mencapai 2,02%. Dengan demikian, ikan lele memiliki potensi sebagai sumber asam lemak esensial yang penting, terutama jika dikonsumsi secara utuh atau dengan fokus pada bagian kepala. Pemanfaatan ikan lele dalam pola makan seimbang dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun