Ziarah Walisongo bukan sekadar kegiatan spiritual, tapi juga menjadi semacam "wisata religi" yang menghubungkan perjalanan ruhani dengan pengalaman eksploratif yang menyenangkan. Perjalanan ini diawali dari Jogja, bersama rombongan empat bis dari  pondok pesantren penulis. Keberangkatan dilakukan di hari Jumat siang, tepat setelah shalat Jumat, dengan membawa barang secukupnya untuk perjalanan empat hari penuh makna dan kebersamaan.
Destinasi pertama adalah makam Simbah Yai Ichsan Asyhari, lalu dilanjutkan ke makam-makam wali yang tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Suasana dalam bis terasa hangat dengan obrolan, canda tawa, dan lantunan sholawat menjadi teman sepanjang perjalanan.
Setelah mengunjungi para wali di Jawa Tengah, barulah rombongan bis bergerak ke arah barat, menuju destinasi yang menjadi salah satu favorit penulis yaitu makam Syekh Panjalu di Situ Lengkong, Ciamis, Jawa Barat.
Perjalanan dari Jogja ke Panjalu memakan waktu sekitar tujuh jam. Setibanya di Panjalu sekitar pukul dua dini hari, udara segar dan dingin langsung menyapa tubuh yang lelah. Daerah di sekitar danau tampak sunyi namun damai.Â
Begitu turun dari bis, dengan mata masih setengah mengantuk, para santri duduk bertebaran di pinggir jalan. Momen itu pun diabadikan dengan berfoto bersama teman-teman, menyimpan kenangan dalam bentuk gambar, bukan hanya dalam ingatan.
Perut pun tak bisa diajak kompromi. Di tengah hawa dingin yang menusuk, kami memutuskan mencari makan malam, dan jadilah kami membeli nasi goreng, bakmi goreng, dan dilengkapi teh hangat menjadi penyelamat. Sambil menyantap hidangan sederhana itu, obrolan dan gurauan mengalir begitu saja, mencairkan kantuk yang tersisa.Â
Setelah selesai makan, kami kembali ke area bis, menunggu instruksi panitia hingga adzan Subuh berkumandang. Sholat dilakukan di mushola terdekat, lalu kembali ke bis, bersantai sejenak, sambil menanti pukul setengah enam pagi, ya sebagai waktu yang dijadwalkan untuk menyeberang ke makam Syekh Panjalu.
Ketika waktunya tiba, rombongan dikumpulkan, lalu berjalan perlahan menuju pinggir danau. Danau Situ Lengkong pagi itu benar-benar mempesona. Kabut tipis masih menyelimuti pepohonan, udara sejuk khas dataran tinggi menyapa lembut wajah kami, dan perahu-perahu kayu tersusun rapi di pinggiran danau.Â
Rasanya seperti berada di versi lokal Banda Neira, yang merupakan tempat indah dan tersembunyi dari keramaian wisata.
Kami mengantri naik perahu, sepuluh orang dalam satu perahu bersama seorang nahkoda. Saat perahu mulai meluncur membelah danau, hati ini tak henti-hentinya mengucap syukur.Â
"Fabiayyi aalaaa'i rabbikuma tukadzibaan" , maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?Â
Pemandangan di kanan kiri begitu damai, dari air danau yang tenang, suara burung yang bersahutan, dan embusan angin yang menyegarkan jiwa. Sungguh, suasana ini mengingatkan penulis pada film My Heart, serasa menjadi Luna hihii, hanya saja ini versi islami-nya tanpa sinetron cinta, tapi penuh rasa cinta kepada para wali dan Allah SWT.
Syekh Panjalu, atau dikenal juga sebagai Haji Abdullah bin Jamaluddin al-Akbar, adalah salah satu penyebar Islam di tanah Sunda. Beliau diyakini sebagai bagian dari keturunan para wali, dan punya peran besar dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Ciamis dan sekitarnya pada abad ke-15.Â
Makam beliau berada di sebuah pulau kecil di tengah Danau Situ Lengkong, yang dulunya dipercaya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu---kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang kemudian mengalami transformasi ketika Islam mulai masuk dan diterima masyarakat.
Setibanya di gerbang makam, kami disambut oleh patung dua harimau penjaga, cukup menyeramkan tapi juga lucu kalau dilihat dari sisi jenaka. Gerbang itu jadi spot foto kami. Setelah itu, kami menaiki tangga menuju area makam. Rasa takjub menyergap saat melihat area makam yang luas, bersih, dan begitu terawat, meskipun letaknya di tengah hutan kecil di pulau terpencil. Tak terbayangkan bahwa di balik heningnya danau ini, ada peninggalan sejarah dan spiritualitas yang begitu kuat.
Selesai berdoa dan berziarah, kami kembali berfoto bersama keluarga ndalem pondok, lalu mampir ke sumber mata air yang ada tak jauh dari makam. Airnya? Subhanallah dingin, manis, dan menyegarkan. Ada yang langsung mencuci muka, ada yang meneguknya perlahan sambil memejamkan mata, seperti sedang menghayati karunia Sang Pencipta.
Perjalanan kami pun dilanjutkan kembali ke bis, kembali naik perahu, menyebrang danau dengan hati yang tenang dan penuh rasa syukur. Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan menuju makam-makam wali di Jawa Timur, sebelum akhirnya kembali pulang ke Jogja.
Namun satu hal yang pasti, Panjalu meninggalkan kesan yang mendalam. Bukan hanya karena keindahan alamnya yang luar biasa, tapi juga karena atmosfer spiritual dan ketenangan yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.Â
Penulis bahkan memasukkan tempat ini dalam wishlist untuk suatu hari nanti, ketika ziarah bisa dilakukan bersama pasangan halal, dalam momen ziarah sekaligus "ziarah date" yang penuh keberkahan. Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad. Semoga suatu hari, Allah kabulkan harapan itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI