Mohon tunggu...
Lisdiana Sari
Lisdiana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer

Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kusta Bukan Nista, Empati Jangan Stigmatisasi

23 Oktober 2022   16:24 Diperbarui: 25 Oktober 2022   02:05 1897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Gathering "Stigma dan Mental Wellbeing pada Kusta" di Radio KBR Jakarta, (23/8/2022). (Foto: kbr.id)

Kusta juga, menurut Paulan, distigmatisasi sebagai akibat dari teluh atau "diguna-guna". Penderitanya tidak jarang diperlakukan kasar, dianggap menjijikkan, menakutkan, sehingga mereka pun sulit dapat pekerjaan, bahkan dianggap tidak berguna, banyak dosa juga aib, dianggap berpola hidup "kotor" dan stigma buruk lainnya.

Dampak Diskriminasi dan Stigma terhadap OYPMK. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)
Dampak Diskriminasi dan Stigma terhadap OYPMK. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)

Mengapa ada stigma pada kusta?

Paulan menjelaskan, karena kurangnya informasi atau pengetahuan yang benar tentang kusta. Stigmatisasi kusta muncul karena perbedaan yang tidak wajar atau penyimpangan sosial. Ini terlihat dari disabilitas dan kelainan lain (reaksi) baik selama maupun setelah terapi obat. Kusta menyerang tubuh dan mental sekaligus. Ini disebut Stigma Diri, dimana mengganggu mental si penderita dalam hal harapan, cita-cita, relasi sosial. Lalu Stigma Sosial dimana mengganggu mental lingkungan sekitar (keluarga, malu, aib rekan, menular, khawatir).

Pentingnya menghapus stigma dan diskriminasi penderita kusta juga digaungkan Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa.

Menurutnya, diskriminasi ini telah ada di seluruh dunia sejak zaman Perjanjian Lama hingga saat ini, tanpa memandang ras atau negara. Bagi banyak orang yang terkena kusta, diskriminasi tidak berakhir begitu mereka sembuh.

"Dan itu memberi tahu saya bahwa masyarakat memiliki penyakit. Saya yakin jika kita bisa menyelesaikan masalah diskriminasi pada kusta, ini bisa menjadi model untuk menyelesaikan semua masalah hak asasi manusia di dunia," tuturnya.

Selama bertahun-tahun, lanjut Yohei, dirinya telah bertemu dengan ribuan pasien kusta dan tidak pernah menderita kusta. "Namun, yang membuat kusta menjadi tantangan adalah diskriminasi yang menyertainya---diskriminasi yang telah diakui sebagai isu hak asasi manusia oleh PBB," ujarnya.

Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa. (Foto: who.info)
Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa. (Foto: who.info)

Oleh karena itu, Yohei menuturkan lagi, inti dari menemukan solusi untuk tantangan ini adalah orang-orang yang terkena kusta itu sendiri.

Agar dapat melakukan kegiatan penemuan kasus yang terganggu oleh pandemi COVID-19 secara efektif, mereka perlu terlibat dan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan mereka. "Penting juga bahwa mereka aktif di media sosial dan berbicara menentang diskriminasi," harapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun