Mohon tunggu...
Lisdiana Sari
Lisdiana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer

Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kusta Bukan Nista, Empati Jangan Stigmatisasi

23 Oktober 2022   16:24 Diperbarui: 25 Oktober 2022   02:05 1897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per September 2021 untuk tahun kalender 2020 menunjukkan, terjadi penurunan kasus baru penyakit kusta sebesar 37% dari tahun sebelumnya. Kusta atau penyakit Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis disebabkan Bakteri Mycobacterium Leprae yang menyerang kulit dan saraf tepi tubuh.

Penurunan kasus baru di dunia itu membuktikan, banyak negara serius melakukan tindakan pencegahan kusta, termasuk mendeteksi kasus dan pengobatannya meski terkendala pandemi COVID-19.

Itu jelas berita baik. Tapi, berita kurang baiknya adalah Indonesia berada di posisi ketiga dunia dengan jumlah kasus penyakit kusta tertinggi.

Data WHO 2021 menyebut, India menempati posisi pertama dengan 75.394 kasus, lalu Brazil 18.318 kasus, dan Indonesia 10.976 kasus.

Kusta, masih jadi masalah kesehatan di Indonesia. Hingga kini masih ada 101 kabupaten/kota di enam provinsi yang memiliki pasien kusta dengan prevalensi masih di atas 1 per 10.000 penduduk, artinya dari setiap 10.000 penduduk terdapat satu penderita kusta. Keenam provinsi itu adalah Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Gorontalo. 

Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan per 24 Januari 2022, jumlah kasus kusta terdaftar sebanyak 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.

Yuliati, penyintas kusta sekaligus Ketua PerMaTa Sulsel melatih literasi warga. (Foto: Youtube permatasulsel.com)
Yuliati, penyintas kusta sekaligus Ketua PerMaTa Sulsel melatih literasi warga. (Foto: Youtube permatasulsel.com)

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono mengingatkan, fakta ini sangat kompleks sehingga memerlukan perhatian semua pihak.

Disebut sangat kompleks karena penanganan kusta ternyata bukan hanya dari segi medis saja, tetapi juga mencakup hingga masalah sosial, ekonomi dan budaya.

Hal ini dikarenakan masih terdapat stigma dan diskriminasi di kalangan masyarakat, tidak saja terhadap penderita kusta tapi juga keluarganya.

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono. (Foto: kemkes.go.id)
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono. (Foto: kemkes.go.id)

Wamenkes memprihatinkan, kecacatan tubuh yang dialami pasien kusta menunjukkan adanya keterlambatan penanganan dengan persentase 15,4 persen. Padahal deteksi dini menjadi hal penting agar pasien segera mendapat pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Di sinilah pentingnya upaya pengendalian kusta dengan salah satunya menemukan penderita kusta untuk diobati sejak dini sebelum terjadinya kecacatan.

Satu dari enam provinsi yang disebutkan memiliki pasien kusta dengan prevalensi masih di atas 1 per 10.000 penduduk adalah Sulawesi Utara (Sulut).

Nah, terkait upaya deteksi dini kusta di provinsi berpenduduk lebih dari 2,6 juta jiwa (2021) ini, puluhan dokter spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Universitas Sam Ratulangi belum lama ini menggelar pemeriksaan gratis agar masyarakat tidak ragu berobat.

Adapun pemeriksaan kesehatan ini merupakan bagian dari program kerja tim Identifikasi Tanda-tanda Mata, Ekstremitas, dan Kulit pada Kusta (Katamataku)

Program kerja ini digagas para dokter spesialis terkait di FKUI. Yunia Irawati, dokter spesialis mata yang mengetuai tim Katamataku menyebutkan, Sulut--khususnya Minahasa Utara--menjadi daerah yang penting untuk dijangkau.

Kenali Gejala Kusta. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)
Kenali Gejala Kusta. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)

Sepanjang 2021, tingkat penemuan kasus baru kusta di Sulut mencapai 14,04 per 100.000 penduduk. Adapun di Minahasa Utara, prevalensi kasus baru mencapai 32,72 per 100.000 penduduk.

"Setelah kami lihat data Kementerian Kesehatan, ternyata prevalensi di Likupang termasuk tinggi. Ada puluhan kasus baru yang terdeteksi tahun lalu. Ini memprihatinkan, apalagi daerah ini sudah dijadikan destinasi pariwisata super prioritas oleh pemerintah," tutur Irawati.

Sebaliknya, Kepala Puskesmas Likupang Stefanus Lembong menyatakan, jumlah pasien kusta di Kecamatan Likupang Timur yang saat ini aktif menjalani pengobatan hanya sembilan orang.

"Jumlahnya sudah menurun jauh. Banyak yang sudah selesai pengobatan dan sembuh serta ada juga yang sudah meninggal," katanya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa sendiri mencatat, ada 130 Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Jumlah ini terdata sejak 2018 hingga Agustus 2022 dan tersebar di 22 kecamatan. Terbanyak, misalnya ada di Kecamatan Tombariri, Tondano Barat, Kombi, Pineleng, Langowan Timur, Tombariri Timur, dan Tombulu.

Kegiatan Masyarakat Ramah Disabilitas dan Kusta oleh Permata Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)
Kegiatan Masyarakat Ramah Disabilitas dan Kusta oleh Permata Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)

Kementerian Kesehatan menargetkan eliminasi kusta di seluruh provinsi tercapai pada 2024. Eliminasi kusta dan eradikasi frambusia per wilayah menjadi bagian dari komitmen Indonesia mencapai eliminasi kusta tingkat kabupaten/kota pada 2024.

Patut diketahui, sepanjang 2021, ada sembilan wilayah terdiri dari delapan kabupaten/kota yang berhasil melakukan eradikasi frambusia dan satu provinsi berhasil melakukan eliminasi kusta.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyerahkan langsung sertifikat kepada 8 kabupaten/kota yang berhasil eradikasi frambusia yakni Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kota Jakarta Barat, Kota Bengkulu, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal, Kota Blitar dan Kota Madiun. Sedangkan penghargaan eliminasi kusta diserahkan Plt. Dirjen P2P Maxi Rein Rondonuwu kepada Sulawesi Selatan.

Meski semakin bertambah wilayah demi wilayah yang mencapai eradikasi frambusia dan eliminasi kusta, tapi bersikap waspada harus tetap dijaga.

Karena seperti diungkapkan Kementerian Kesehatan bahwa ternyata prevalensi kasus baru kusta pada anak cenderung masih tinggi. Per 13 Januari 2021 lalu misalnya, kasus baru kusta pada anak mencapai 9,14%. Angka ini belum mencapai target pemerintah yaitu dibawah 5%.

Mengapa kasus kusta pada anak harus jadi perhatian? Karena mereka akan berinteraksi di sekolah dan lingkungan sosial lainnya.

Anak penderita kusta yang telah sembuh tetap semangat bersekolah. (Foto: Youtube NLR Indonesia)
Anak penderita kusta yang telah sembuh tetap semangat bersekolah. (Foto: Youtube NLR Indonesia)

Bersyukur, keseriusan pemerintah dalam Program Pencegahan dan Penanggulangan (P2) Kusta juga terlihat dari masuknya program P2 Kusta sebagai Program Prioritas Nasional (Pro-PN). Sekaligus mengalokasikan dukungan dana yang memadai bagi pelaksanaan program baik di pusat dan di daerah.

Melalui dukungan dana tersebut, daerah-daerah telah melakukan akselerasi upaya-upaya melalui berbagai kegiatan advokasi, sosialisasi, pelatihan, upaya deteksi dini dan penemuan aktif demi tercapainya target Eliminasi Kusta Tingkat Kabupaten/Kota tahun 2024.

Seperti diakui pula oleh Wakil Menteri Kesehatan, pencapaian target eliminasi kusta 2024 dihadapkan sejumlah tantangan yang tidak ringan. Salah satunya, akibat masih maraknya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap penderita kusta beserta keluarganya.

Untuk itu, penulis mengusulkan, melakukan pengendalian penyakit kusta sama seperti yang dilakukan saat penanganan pandemi COVID-19, yaitu menerapkan strategi 3T (testing, tracing dan treatment). Meskipun, penulis juga menyadari, pengendalian dan pencegahan kusta justru lebih dari sekadar 3T itu. 

Karena, seperti disampaikan Wakil Menteri Kesehatan, penderita kusta juga harus mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Dukungan ini penting, guna meningkatkan kepercayaan diri penyandang kusta sehingga mereka tetap bisa berdaya, aktif juga produktif. Penderita kusta dan keluarganya, jangan malah justru distigmatisasi.

Di sinilah penulis memberi saran, agar patut kiranya ditambahkan satu 'T' lagi guna pengendalian dan pencegahan kusta sehingga menjadi '4T' atau testing, tracing, treatment, tepis. Maksudnya, tepis semua stigma terkait kusta.

Media Gathering
Media Gathering "Stigma dan Mental Wellbeing pada Kusta" di Radio KBR Jakarta, (23/8/2022). (Foto: kbr.id)

Memangnya apa saja stigma yang dilabelkan terkait kusta?

Communications Officer Netherlands Leprosy Relief (NLR) Indonesia, Paulan Aji saat Media Gathering membahas topik "Stigma dan Mental Wellbeing pada Kusta" di Acara Ruang Publik Radio KBR Jakarta, 23 Agustus 2022, memaparkan sejumlah stigma itu. NLR Indonesia adalah sebuah LSM non pemerintah yang didirikan di belanda pada tahun 1967 yang bergerak dibidang penanggulangan dan pengendalian kusta.

"Kusta distigmatisasi sebagai penyakit yang sangat mudah menular. Publik menangkap stigma kusta yang mudah menular. Sehingga, penderita kusta yang masih berobat pun tetap saja dibilang menular. Kusta disebut-sebut tidak dapat disembuhkan. Padahal kenyataannya dapat disembuhkan. Ada obatnya dengan periode proses penyembuhan tertentu. Kusta hanya menyerang lansia, padahal faktanya siapa saja dan segala umur bisa saja terinfeksi," tutur Paulan.

Selain itu, yang sering distigmatisasi adalah kusta merupakan penyakit kutukan. Sehingga penderitanya dianggap sebagai pendosa, empunya aib dan sebagainya.

"Kusta juga dianggap sama dengan diisolasi. Penderita kusta justru dijauhi dari rumah, bahkan ada yang sengaja dibuatkan "kandang" tersendiri di belakang rumah.

Kusta adalah penyakit orang miskin, padahal tidak juga, karena siapa saja bisa terkena infeksinya, bila kontak erat dalam jangka waktu lama dengan orang berpenyakit kusta yang belum berobat. Ingat, ada penekanan yang belum berobat," urainya.

Kusta juga, menurut Paulan, distigmatisasi sebagai akibat dari teluh atau "diguna-guna". Penderitanya tidak jarang diperlakukan kasar, dianggap menjijikkan, menakutkan, sehingga mereka pun sulit dapat pekerjaan, bahkan dianggap tidak berguna, banyak dosa juga aib, dianggap berpola hidup "kotor" dan stigma buruk lainnya.

Dampak Diskriminasi dan Stigma terhadap OYPMK. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)
Dampak Diskriminasi dan Stigma terhadap OYPMK. (Ilustrasi: Instagram @nlrindonesia)

Mengapa ada stigma pada kusta?

Paulan menjelaskan, karena kurangnya informasi atau pengetahuan yang benar tentang kusta. Stigmatisasi kusta muncul karena perbedaan yang tidak wajar atau penyimpangan sosial. Ini terlihat dari disabilitas dan kelainan lain (reaksi) baik selama maupun setelah terapi obat. Kusta menyerang tubuh dan mental sekaligus. Ini disebut Stigma Diri, dimana mengganggu mental si penderita dalam hal harapan, cita-cita, relasi sosial. Lalu Stigma Sosial dimana mengganggu mental lingkungan sekitar (keluarga, malu, aib rekan, menular, khawatir).

Pentingnya menghapus stigma dan diskriminasi penderita kusta juga digaungkan Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa.

Menurutnya, diskriminasi ini telah ada di seluruh dunia sejak zaman Perjanjian Lama hingga saat ini, tanpa memandang ras atau negara. Bagi banyak orang yang terkena kusta, diskriminasi tidak berakhir begitu mereka sembuh.

"Dan itu memberi tahu saya bahwa masyarakat memiliki penyakit. Saya yakin jika kita bisa menyelesaikan masalah diskriminasi pada kusta, ini bisa menjadi model untuk menyelesaikan semua masalah hak asasi manusia di dunia," tuturnya.

Selama bertahun-tahun, lanjut Yohei, dirinya telah bertemu dengan ribuan pasien kusta dan tidak pernah menderita kusta. "Namun, yang membuat kusta menjadi tantangan adalah diskriminasi yang menyertainya---diskriminasi yang telah diakui sebagai isu hak asasi manusia oleh PBB," ujarnya.

Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa. (Foto: who.info)
Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa. (Foto: who.info)

Oleh karena itu, Yohei menuturkan lagi, inti dari menemukan solusi untuk tantangan ini adalah orang-orang yang terkena kusta itu sendiri.

Agar dapat melakukan kegiatan penemuan kasus yang terganggu oleh pandemi COVID-19 secara efektif, mereka perlu terlibat dan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan mereka. "Penting juga bahwa mereka aktif di media sosial dan berbicara menentang diskriminasi," harapnya.

WHO punya visi jangka panjang, bukan hanya menargetkan nihil infeksi dan penyakit kusta saja, tapi juga nihil kecacatan akibat kusta, nihil stigma dan diskriminasi.

Sasaran lainnya, mengeliminasi kusta atau didefinisikan juga dengan memutus rantai penularannya. Dari situ, maka ditetapkanlah target global 2030. Yakni, tidak ada lagi kasus baru kusta di 120 negara di dunia. Dan, terjadi pengurangan 70% dalam jumlah tahunan kasus baru yang terdeteksi.

Pelibatan penyintas kusta dengan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan mereka seperti diharapkan Yohei Sasakawa, faktanya sudah terlaksana di Indonesia. Salah satunya, melalui organisasi Perhimpunan Mandiri Kusta atau PerMaTa di Sulawesi Selatan.

Berdiri pada 15 Februari 2007, Permata kini diketuai Yuliati yang merupakan penyintas kusta. Ada empat program kerja Permata yaitu Pemberdayaan; Pendampingan; Stop Stigma; dan Penguatan Kebijakan.

Yuliati, penyintas kusta dan Ketua PerMaTa Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)
Yuliati, penyintas kusta dan Ketua PerMaTa Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)

Yuliati menjelaskan, PerMaTa Sulsel berupaya memberdayakan orang yang pernah menderita kusta (OYPMK). Termasuk kalangan muda.

"Kami memberdayakan mereka yang kebanyakan anak-anak muda, baik yang sedang maupun yang pernah mengalami kusta. Mereka diberikan pelatihan bagaimana supaya bisa meningkatkan kepercayaan dirinya. Karena orang yang mengalami kusta cenderung mengalami self-stigma atau tidak mempunyai kepercayaan diri. Sehingga kami berpikir, bagaimana membantu mereka supaya bisa percaya diri dengan memberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya," urainya kepada penulis (22/10/2022). 

Para OYPMK muda itu dilibatkan langsung dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

"Kami fokusnya memberdayakan anak muda di Gowa, dimana anak muda ini membantu kelompok perempuan maupun disabilitas yang buta huruf. Sehingga dari aktivitas sosial seperti ini, anak-anak muda tadi mempunyai kepercayaan diri bahwa ternyata mereka juga masih bisa bermanfaat bagi orang lain ataupun bisa membantu orang lain," tutur Yuliati lagi.

Sedangkan bagi kelompok perempuan dan disabilitas yang sebelumnya berpikiran salah bahkan takut dengan OYPMK, kini mindset mereka sudah berubah seiring interaksi bersama para pendamping program literasi.

"Ada juga pemberdayaan ekonomi, dalam hal ini pemberian kredit mikro. Dimana memberikan pinjaman kepada OYPMK yang mempunyai usaha kecil dengan diberikan modal usaha berbiaya cicilan ringan," katanya.

Aktivitas Bank Sampah di PerMaTa Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)
Aktivitas Bank Sampah di PerMaTa Sulsel. (Foto: permatasulsel.com)

Yuliati juga menegaskan keprihatinannya karena stigma di tengah masyarakat terhadap pasien kusta dan OYPMK masih saja ada.

"Meskipun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, perilaku stigma sudah mulai berubah ke arah yang lebih baik. Dulu, stigma dan diskriminasi sampai-sampai membuat para penderita kusta dibuatkan rumah-rumah khusus di sisi belakang rumah. Di Sulawesi Selatan, hingga kini masih terjadi dimana kadang-kadang penyakit kusta ini dijadikan sebagai sumpah untuk membenarkan suatu pernyataan kepada orang lain," urai Yuliati.

"Contohnya, sumpah yang mengatakan saya siap menjadi orang berpenyakit kusta jika saya melakukan hal-hal tertentu yang dituduhkan. Menjadikan kusta sebagai sumpah membuat kami merasa sakit hati," tuturnya.

Yuliati memaklumi, stigma dan diskriminasi itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang kusta. "Langkah-langkah menghapus hal itu, dengan melakukan penyadaran di masyarakat," ujarnya.

Akhirnya, tidak ada alasan bagi kita untuk abai terhadap segala upaya mengeliminasi kusta. Penyakit ini bukan kutukan, bukan pula nista. Menjadi lebih berarti bagi mereka para penderita agar kita tidak menstigmatisasi dengan segala sesuatu yang buruk, apalagi mendiskriminasi. Mari berempati. Apalagi saat memperingati Hari Kusta Sedunia 2022, Indonesia mengusung tema "Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta".

ooOoo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun