Mohon tunggu...
Lisdiana Sari
Lisdiana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer

Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisah Emak-emak Penakluk Gunung Prau

3 Agustus 2018   20:12 Diperbarui: 4 Agustus 2018   17:44 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alamak, apa ada toilet umum di sini? Lha, ini di gunung kayak begini, hayooo, musti gimana buang air kecilnya? Urusan buang hajat pun kami lakukan di belakang tenda. Air siraman diganti dengan tisu basah dan tisu kering sebagai pembersihannya. Sampah tisu tidak diabuang sembarangan. Semua rapi dan sadar untuk menjaga kebersihan. Emak-emak 'LT' pasti siap dong perabotan 'urusan ke belakang' beginian.

Semakin larut di lokasi perkemahan Gunung Prau semakin bikin galau dan hati kecut. Bagaimana enggak? Yang namanya hawa dingin, luar biasa rasanya. Menyelusup ke dalam tenda, jaket, sarung tangan, kaos kaki, ransel, carrier, sleeping bag ... semua jadi sedingin es batu. Rasanya semua membeku. Malah air minum pun perlahan tapi pasti berubah seperti air es. Waduuuhhhh ...

Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Penulis dengan bendera Merah Putih yang semoga terus berkibar. (Foto: Dokpri.)
Penulis dengan bendera Merah Putih yang semoga terus berkibar. (Foto: Dokpri.)
Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)Di dalam tenda, kami hanya bertiga. Emak-emak 'LT' lainnya pun dibagi-bagi kelompok per tenda. Berasa banget tenda ini sempit. Masing-masing kami sudah terbungkus sleeping bag dengan bantal darurat yang dibuat dari susunan baju-baju. Enggak usahlah bicara guling, hahahaaaa ... nihil. Itu pun masih membuat kami tak cukup nyaman. Setiap bergerak kiri kanan, rasa dingin selalu saja tak bisa dikalahkan.

Ketidaknyamanan semakin bertambah. Kaki saya mulai terasa keram. Bergerak sedikit saja, rasanya lumayan sakit. Untuk meredakannya saya tahu banget yaitu harus rileks dan tidak tegang atau kaku. Tapi apa mau dikata, terbungkus sleeping bag malah makin membuat tubuh ini terasa semakin membujur tegang, sulit untuk relax dan enjoy.

Meski sudah coba tidur nyenyak, tapi rasanya mata ini sulit kompromi. Badan lelah sekalipun, tidur lelap masih saja tak bisa. Angin kencang berkali-kali menggoyang tenda, malah kadang seperti 'menggebuk-gebuk' sisi luar tenda. Dingin kian menusuk-nusuk. Entah berapa kali saya baru merasa bisa sedikit nyenyak, tapi kemudian terbangun lagi.

Emak Cucu. Sang pendaki membawa bendera Merah Putih. (Foto: Dokpri.)
Emak Cucu. Sang pendaki membawa bendera Merah Putih. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi. Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Emak Sumi. Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)
Minggu, 15 Juli 2018

Jam 04.00 pagi. Kami cukup terkaget dengan suara-suara dari luar tenda. Ada suara orang banyak bertepuk tangan. Kedengarannya seisi lokasi perkemahan ini semua orang bertepuk tangan, saking rame-nya di telinga. Kami bertiga pun bangun dengan raut wajah yang sama-sama keheranan. Ada apa gerangan?

Belum juga terjawab rasa penasaran ini, kami merasa ada cahaya yang mulai masuk ke dalam bilik tenda. Warna sinar oranye dari luar tenda. Tak perlu berlama menahan kepo, kami bertiga langsung mengintip dari 'jendela' tenda. Sambil sebisa mungkin menahan hawa dingin yang tiada habis.

Woooowwww, ternyata ... suara tepuk tangan semua orang yang berada di lokasi camping ground di bukit ini adalah wujud rasa kegirangan karena mulai bersiap menyaksikan matahari terbit, sunrise!

Menyiapkan kue ulang tahun buat seorang rekan, mak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Menyiapkan kue ulang tahun buat seorang rekan, mak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Emak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Emak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)
Suhu di lokasi perkemahan ini mencapai titik terendah 6C. Kami semua emak2 bangun dari pembaringan sleeping bag. Malas rasanya untuk membuka mata dan menggerakkan badan. Mau minum air putih pun, bukannya air hangat yang didapat, tapi justru seperti minum air es. Dingin.

Tapi, demi menyaksikan keindahan alam saat matahari baru kembali dari peraduan, kami pun memaksakan diri untuk bergegas segera keluar dari tenda. Tutup kepala saya kenakan, demi menahan dingin yang menerpa dahi dan utamanya telinga. Syal terlilit rapat di leher. Sedikit pakai lipstick supaya bibir tidak terlalu kering, dan tidak lupa mempersiapkan kacamata hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun