"Lin..." katanya, pelan. "Aku mau jujur sesuatu ke kamu."
Alina menatapnya, menunggu.
"Aku akan lamaran minggu depan."
Sejenak, dunia Alina membisu. Seperti petir yang datang tanpa aba-aba, mengguncang pelan tapi menghantam keras.
Hati Alina berbisik 'Tuhan, inikah jawaban mu atas semua do'a-do'a ku? '
"Oh... sama siapa, Kak?" tanyanya, suara Alina hampir tak terdengar.
"Namanya Alana. Hampir sama dengan nama mu Lin."
Alina tersenyum, namun batinnya.. seperti ada duri yang tak sengaja menusuk hatinya.
"Kami kenalan waktu aku di Makassar. Anaknya baik, sederhana, dan... dia yang paling banyak menemaniku di masa-masa sulit kemarin."
Alina mengangguk kecil. Di dalam dadanya, ada rasa yang seperti meleleh, perlahan, dan dingin. Tapi wajahnya tetap ramah. Tidak ada air mata. Hanya senyum kecil yang menenangkan.
"Selamat ya, Kak. Alina yakin, Kakak akan jadi suami yang baik."
Rendra menatap Alina dalam-dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. Tapi yang keluar hanya satu kalimat:
"Kalau boleh jujur, dulu aku sempat berharap... tapi mungkin kita sama-sama terlambat menyadarinya."