"Waalaikumsalam, Kak Rendra..." jawab Alina pelan.
"Kamu sehat? Lama ya nggak ketemu," kata Rendra, lalu duduk di kursi teras.
"Alhamdulillah sehat, Kak. Kakak gimana, di Makassar?" tanya Alina, mencoba menyembunyikan debar jantungnya.
"Baik, Lin. Oh iyaa, ini aku ada kue, oleh-oleh ku dari Makassar"
"Aduh, Kak Rendra. Terimakasih ya Kak" Terima alina dengan senyum kakunya itu.Â
"Lin, sekarang aku pulang bukan cuma karena sudah selesai S2. Tapi karena aku punya alasan lain... yang harus kusampaikan ke orang tuaku."
Alina menoleh. "Alasan apa, Kak?"
Rendra hanya tersenyum. "Nanti ya, aku cerita. Tapi semoga kamu mau dengar."
Semenjak pertemuan pagi itu, Rendra mulai sering datang ke rumah Alina. Kadang hanya untuk berbincang sebentar dengan ayahnya, kadang hanya menitip salam lewat ibunya. Tapi tidak jarang, mereka duduk berdua di teras rumah, membicarakan hal-hal ringan seperti cuaca, berita desa, atau masa kecil mereka yang dulu sering bermain sepeda bersama.Â
Namun ada satu hal yang tidak pernah Rendra bicarakan, tentang alasan sebenarnya ia pulang.
Hingga suatu sore, ketika langit mulai jingga, Rendra datang dengan raut yang sedikit berbeda. Bukan murung, tapi seperti seseorang yang sedang memikul keputusan besar.