Mohon tunggu...
Muhammad Lintang Kumoro Jati
Muhammad Lintang Kumoro Jati Mohon Tunggu... mahasiswa ilmu komunikasi UIN SUKA [24107030134]

langit sebagai atap rumahku YEEEEE INFJ BOYS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tiap Hari Cemas:Normalisasikan Kelelahan Mental Di Kalangan Muda

13 Juni 2025   23:20 Diperbarui: 13 Juni 2025   20:04 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena ini berkaitan erat dengan burnout, kondisi kelelahan fisik dan mental akibat stres berkepanjangan. Tapi berbeda dengan burnout biasa, versi anak muda ini datang dari berbagai arah pekerjaan, pendidikan, ekspektasi keluarga, tekanan ekonomi, dan krisis eksistensial.

Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah emotional masking di mana anak muda merasa harus terlihat baik-baik saja. Kita diajarkan untuk tetap tersenyum, tetap aktif, tetap produktif. Padahal hati sedang kacau. Akhirnya, kita jadi ahli dalam menyembunyikan rasa lelah dan cemas, hingga lupa bagaimana rasanya benar-benar jujur pada diri sendiri.

Kapan Terakhir Kali Kita Istirahat Tanpa Rasa Bersalah?

Ada fenomena menarik yang sering disebut para psikolog "guilt of resting". Banyak anak muda merasa bersalah ketika sedang tidak melakukan apa-apa. Seakan istirahat adalah kemewahan, bukan kebutuhan. Padahal, tubuh dan pikiran manusia butuh jeda. Tapi dunia modern membuat kita merasa selalu tertinggal kalau berhenti sebentar.

Bahkan saat healing pun harus estetik, harus diunggah, harus produktif. Kita jadi lupa bagaimana cara beristirahat secara utuh, tanpa niat membuktikan apa-apa ke siapa pun.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertama, kita perlu mengubah cara pandang kita tentang kelelahan. Kelelahan mental bukan aib, tapi juga bukan hal yang harus dibiarkan terus-menerus. Ia adalah sinyal dari tubuh dan pikiran bahwa kita perlu berhenti, mengevaluasi, dan mengatur ulang langkah.

Kedua, penting untuk mulai menghapus narasi "produktif terus = hebat". Justru, mereka yang tahu kapan harus berhenti adalah yang paling bijak mengelola diri. Produktivitas bukan hanya soal kerja keras, tapi juga kerja sehat.

Ketiga, komunitas dan ruang aman perlu diperbanyak. Tempat di mana anak muda bisa cerita tanpa takut dihakimi, tempat bertanya, tempat saling menguatkan. Kita tidak harus selalu pergi ke psikolog, meski itu ideal. Tapi memiliki teman yang mau mendengar tanpa menggurui sudah jadi langkah awal yang menyembuhkan.

Keempat, bagi pembuat kebijakan, institusi pendidikan, dan perusahaan, penting untuk mulai menyusun program yang mendukung well-being anak muda. Fleksibilitas kerja, cuti mental, dan edukasi psikologis bukan lagi bonus, tapi kebutuhan zaman.

 Normal Bukan Berarti Sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun