Coba kita tengok media sosial hari ini. Berapa banyak postingan yang menyelipkan kata "lelah", "butuh healing", atau "mental breakdown" dalam bentuk meme, caption, bahkan sekadar status harian? Di satu sisi, ini bisa jadi sinyal bahwa anak muda kini lebih terbuka dalam membicarakan kesehatan mental. Tapi di sisi lain, ada kegelisahan tersendiri: jangan-jangan kita sedang menormalisasi kelelahan mental sebagai bagian yang "biasa saja" dari hidup sehari-hari?Â
Kecemasan yang Tidak Lagi Tersembunyi
Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial muda, dikenal sebagai kelompok yang paling vokal soal kesehatan mental. Mereka tidak ragu menyebut dirinya sedang burnout, mengalami anxiety, atau sekadar "mager" karena habis energi sosial.
Namun, semakin sering kita mendengar cerita soal kelelahan emosional ini, semakin tampak bahwa itu bukan lagi kejadian luar biasa. Ia justru menjadi pola. Sebuah kondisi yang diam-diam hadir setiap hari dan seakan wajar.
Masalahnya, ketika kelelahan mental dianggap wajar, orang jadi enggan mencari solusi. "Capek, ya udah. Namanya juga hidup." Kalimat ini terdengar bijak di permukaan, tapi bisa berbahaya jika jadi dalih untuk mengabaikan kondisi psikologis yang terus memburuk.
Beban yang Tak Selalu Terlihat
Banyak orang dewasa di luar sana berpikir, "Ah, anak muda zaman sekarang manja. Baru kerja dikit udah stres." Padahal mereka tidak melihat beban psikologis yang dihadapi generasi ini tuntutan serba cepat, ekspektasi kesuksesan tinggi, ketidakpastian masa depan, hingga perbandingan tanpa henti di media sosial.
Dulu, kita tahu siapa tetangga kita yang kaya. Sekarang, kita bisa melihat gaya hidup ratusan orang sekaligus hanya dengan scroll TikTok. Bahkan saat sedang beristirahat, otak tidak benar-benar berhenti bekerja, karena dibanjiri konten tentang "toxic productivity", "how to be a millionaire in your 20s", atau "morning routine orang sukses".
Informasi yang seharusnya memotivasi justru bisa menjadi bumerang. Bukannya merasa terpacu, banyak anak muda merasa tidak cukup. Tidak cukup sukses, tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup bahagia. Kecemasan pun menjadi teman harian yang sulit ditolak.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Fenomena ini berkaitan erat dengan burnout, kondisi kelelahan fisik dan mental akibat stres berkepanjangan. Tapi berbeda dengan burnout biasa, versi anak muda ini datang dari berbagai arah pekerjaan, pendidikan, ekspektasi keluarga, tekanan ekonomi, dan krisis eksistensial.
Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah emotional masking di mana anak muda merasa harus terlihat baik-baik saja. Kita diajarkan untuk tetap tersenyum, tetap aktif, tetap produktif. Padahal hati sedang kacau. Akhirnya, kita jadi ahli dalam menyembunyikan rasa lelah dan cemas, hingga lupa bagaimana rasanya benar-benar jujur pada diri sendiri.
Kapan Terakhir Kali Kita Istirahat Tanpa Rasa Bersalah?
Ada fenomena menarik yang sering disebut para psikolog "guilt of resting". Banyak anak muda merasa bersalah ketika sedang tidak melakukan apa-apa. Seakan istirahat adalah kemewahan, bukan kebutuhan. Padahal, tubuh dan pikiran manusia butuh jeda. Tapi dunia modern membuat kita merasa selalu tertinggal kalau berhenti sebentar.
Bahkan saat healing pun harus estetik, harus diunggah, harus produktif. Kita jadi lupa bagaimana cara beristirahat secara utuh, tanpa niat membuktikan apa-apa ke siapa pun.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, kita perlu mengubah cara pandang kita tentang kelelahan. Kelelahan mental bukan aib, tapi juga bukan hal yang harus dibiarkan terus-menerus. Ia adalah sinyal dari tubuh dan pikiran bahwa kita perlu berhenti, mengevaluasi, dan mengatur ulang langkah.
Kedua, penting untuk mulai menghapus narasi "produktif terus = hebat". Justru, mereka yang tahu kapan harus berhenti adalah yang paling bijak mengelola diri. Produktivitas bukan hanya soal kerja keras, tapi juga kerja sehat.
Ketiga, komunitas dan ruang aman perlu diperbanyak. Tempat di mana anak muda bisa cerita tanpa takut dihakimi, tempat bertanya, tempat saling menguatkan. Kita tidak harus selalu pergi ke psikolog, meski itu ideal. Tapi memiliki teman yang mau mendengar tanpa menggurui sudah jadi langkah awal yang menyembuhkan.
Keempat, bagi pembuat kebijakan, institusi pendidikan, dan perusahaan, penting untuk mulai menyusun program yang mendukung well-being anak muda. Fleksibilitas kerja, cuti mental, dan edukasi psikologis bukan lagi bonus, tapi kebutuhan zaman.
 Normal Bukan Berarti Sehat
Kelelahan mental anak muda yang terjadi setiap hari memang sudah jadi "normal baru". Tapi bukan berarti itu kondisi yang sehat dan harus diterima begitu saja. Normal bukan berarti benar. Dan merasa lelah bukan berarti kamu lemah.
Kita butuh budaya yang lebih sadar dan empatik. Yang tidak menertawakan tangis, tidak mengejek jeda, tidak meremehkan luka yang tak terlihat. Karena kalau bukan kita yang saling jaga, siapa lagi?
Anak muda bukan generasi lemah. Mereka hanya sedang hidup di zaman yang sangat cepat dan kompleks. Maka, sebelum menyuruh mereka lebih kuat, cobalah bertanya: sudahkah dunia membuat tempat ini cukup aman untuk mereka bertumbuh?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI