Menjadi dewasa selalu digambarkan sebagai fase kemandirian, pencapaian, dan kebebasan menentukan arah hidup sendiri. Tapi realita berkata lain. Banyak anak muda hari ini justru merasa kewalahan, mudah lelah secara fisik dan mental, bahkan kehilangan semangat sebelum sempat benar-benar "berjalan jauh". Lalu, kenapa bisa begitu?
1. Tumbuh dalam Tekanan yang Tak Terlihat
Anak muda hari ini tumbuh dalam lingkungan yang serba cepat dan kompetitif. Sejak remaja, mereka dikejar nilai, ranking, ekskul, portofolio, dan harapan untuk jadi “anak hebat”. Ketika dewasa, tekanan itu berubah bentuk pekerjaan, tuntutan finansial, target sosial, dan ekspektasi keluarga.
Belum lagi standar kesuksesan yang muncul dari media sosial umur 25 harus punya rumah, umur 28 harus menikah, umur 30 harus stabil. Padahal tidak semua orang punya garis start yang sama. Tapi karena terus dibandingkan, banyak anak muda merasa gagal bahkan sebelum benar-benar memulai.
2. Overthinking sebagai Gaya Hidup
Pernah merasa susah tidur karena memikirkan masa depan? Atau ragu mengirim email karena takut salah kata? Atau bahkan merasa tidak cukup baik meski sudah berusaha maksimal? Itu tanda overthinking.
Overthinking bukan sekadar kebiasaan berpikir berlebihan, tapi bisa jadi respon dari tekanan mental yang terus menumpuk. Ketika semua pilihan hidup terasa penting dan penuh risiko, kepala kita jadi penuh dengan “kalau”, “nanti bagaimana”, dan “takutnya kalau gagal”.
Overthinking membuat energi mental cepat habis. Anak muda tampak sehat, tapi dalam pikirannya sedang bertempur dengan ketidakpastian, harapan yang tidak realistis, dan ketakutan akan penilaian orang lain.
3. Mandiri Tapi Sendiri
Dulu, kita dibesarkan untuk jadi mandiri. Bisa mengurus diri sendiri, cari uang sendiri, ambil keputusan sendiri. Tapi kita jarang diajari bagaimana mengelola perasaan kesepian, tekanan batin, atau kegagalan.
Banyak anak muda merasa harus kuat dan tidak boleh terlihat lemah. Akibatnya, mereka jarang bercerita, enggan minta bantuan, dan akhirnya menanggung semua sendiri. Padahal, kemandirian tanpa dukungan emosional bisa jadi beban yang berat.
Kemandirian harusnya tidak berarti kesendirian. Tapi kenyataannya, banyak yang menjalani fase dewasa dengan rasa sepi yang diam-diam menguras energi.
4. Rasa Ingin Berhasil yang Bertabrakan dengan Kenyataan
Anak muda punya banyak mimpi, tapi seringkali terbentur realita. Ingin lanjut kuliah, tapi uang tidak cukup. Ingin resign dari pekerjaan yang toxic, tapi belum ada cadangan. Ingin mengejar passion, tapi realitas hidup menuntut pemasukan stabil.
Konflik antara keinginan pribadi dan kebutuhan hidup menciptakan kelelahan mental. Setiap keputusan terasa berat karena ada rasa bersalah, takut salah langkah, atau takut mengecewakan orang tua. Hidup jadi seperti menyeimbangkan di atas tali tipis, terus menjaga agar tidak jatuh.
5. Kurangnya Ruang Aman untuk Curhat
Di lingkungan sosial kita, masih banyak yang menganggap curhat sebagai bentuk kelemahan. Alih-alih mendapat empati, banyak anak muda malah disuruh “bersyukur”, “jangan lebay”, atau dibandingkan dengan orang lain yang “lebih susah”.
Padahal, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah didengar dan dipahami. Tanpa ruang untuk mengekspresikan rasa lelah, banyak anak muda menyimpannya sendiri hingga meledak dalam bentuk burnout, gangguan kecemasan, atau depresi.
6. Budaya "Cepat Sukses" yang Menyesatkan
Dunia saat ini sering memberi gambaran bahwa sukses itu harus cepat dan terlihat. Ada semacam “deadline sosial” yang tidak tertulis lulus cepat, kerja mapan, menikah tepat waktu, dan punya "pencapaian" yang bisa dipamerkan.
Sayangnya, perjalanan hidup tidak semulus konten Instagram. Anak muda yang sedang merintis usaha, kerja serabutan, atau masih mencari arah hidup, sering merasa rendah diri karena tidak punya "hal besar" yang bisa dibanggakan.
Budaya cepat sukses ini membuat banyak anak muda kehilangan waktu untuk benar-benar belajar, tumbuh perlahan, dan menikmati proses. Semua serba buru-buru, dan akhirnya jadi lelah.
Lalu, Haruskah Kita Khawatir Menjadi Dewasa?
Tentu tidak.
Lelah Itu Wajar, Tapi Jangan Sendiri Terus
Anak muda zaman sekarang bukan generasi lemah. Justru mereka generasi yang berani bermimpi, terbuka terhadap perubahan, dan belajar adaptif dalam dunia yang terus bergerak.
Tapi dalam keberanian itu, mereka juga manusia. Mereka bisa lelah, goyah, bahkan takut. Dan itu bukan dosa. Yang penting adalah tidak menyerah. Selalu ada jalan untuk memperbaiki, mengistirahatkan diri, dan bangkit lagi.
Jadi, kalau kamu merasa belum siap jadi dewasa, atau lelah jadi "orang dewasa", percayalah kamu tidak sendiri. Banyak yang juga merasa sama. Kita sedang belajar bersama-sama, pelan-pelan dan itu tidak apa-apa.
Yang perlu kita lakukan adalah mengubah cara pandang:
Validasi perasaan lelah itu penting. Kita tidak harus selalu kuat. Mengakui bahwa kita capek, bingung, atau takut adalah langkah awal untuk pulih.
Kurangi membandingkan diri. Fokus pada proses dan bukan hasil orang lain. Setiap orang punya waktu dan jalannya masing-masing.
Cari support system. Teman yang bisa mendengar, komunitas yang mendukung, atau profesional seperti psikolog bisa jadi pelampung saat mental kita mulai tenggelam.
Berhenti menuntut diri sempurna. Kegagalan adalah bagian dari pertumbuhan. Kita tidak harus tahu segalanya, cukup mau belajar.
Pelan-pelan juga tetap jalan. Tidak semua hal harus cepat. Kadang, yang paling berharga justru butuh waktu.
Lelah Itu Wajar, Tapi Jangan Sendiri Terus
Anak muda zaman sekarang bukan generasi lemah. Justru mereka generasi yang berani bermimpi, terbuka terhadap perubahan, dan belajar adaptif dalam dunia yang terus bergerak.
Tapi dalam keberanian itu, mereka juga manusia. Mereka bisa lelah, goyah, bahkan takut. Dan itu bukan dosa. Yang penting adalah tidak menyerah. Selalu ada jalan untuk memperbaiki, mengistirahatkan diri, dan bangkit lagi.
Jadi, kalau kamu merasa belum siap jadi dewasa, atau lelah jadi "orang dewasa", percayalah kamu tidak sendiri. Banyak yang juga merasa sama. Kita sedang belajar bersama-sama, pelan-pelan dan itu tidak apa-apa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI