Kemandirian harusnya tidak berarti kesendirian. Tapi kenyataannya, banyak yang menjalani fase dewasa dengan rasa sepi yang diam-diam menguras energi.
4. Rasa Ingin Berhasil yang Bertabrakan dengan Kenyataan
Anak muda punya banyak mimpi, tapi seringkali terbentur realita. Ingin lanjut kuliah, tapi uang tidak cukup. Ingin resign dari pekerjaan yang toxic, tapi belum ada cadangan. Ingin mengejar passion, tapi realitas hidup menuntut pemasukan stabil.
Konflik antara keinginan pribadi dan kebutuhan hidup menciptakan kelelahan mental. Setiap keputusan terasa berat karena ada rasa bersalah, takut salah langkah, atau takut mengecewakan orang tua. Hidup jadi seperti menyeimbangkan di atas tali tipis, terus menjaga agar tidak jatuh.
5. Kurangnya Ruang Aman untuk Curhat
Di lingkungan sosial kita, masih banyak yang menganggap curhat sebagai bentuk kelemahan. Alih-alih mendapat empati, banyak anak muda malah disuruh “bersyukur”, “jangan lebay”, atau dibandingkan dengan orang lain yang “lebih susah”.
Padahal, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah didengar dan dipahami. Tanpa ruang untuk mengekspresikan rasa lelah, banyak anak muda menyimpannya sendiri hingga meledak dalam bentuk burnout, gangguan kecemasan, atau depresi.
6. Budaya "Cepat Sukses" yang Menyesatkan
Dunia saat ini sering memberi gambaran bahwa sukses itu harus cepat dan terlihat. Ada semacam “deadline sosial” yang tidak tertulis lulus cepat, kerja mapan, menikah tepat waktu, dan punya "pencapaian" yang bisa dipamerkan.
Sayangnya, perjalanan hidup tidak semulus konten Instagram. Anak muda yang sedang merintis usaha, kerja serabutan, atau masih mencari arah hidup, sering merasa rendah diri karena tidak punya "hal besar" yang bisa dibanggakan.
Budaya cepat sukses ini membuat banyak anak muda kehilangan waktu untuk benar-benar belajar, tumbuh perlahan, dan menikmati proses. Semua serba buru-buru, dan akhirnya jadi lelah.