Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdaya Tak Kenal Usia, Ikhlas Berusaha Pasti Bisa (Sebuah Resensi dari Buku Hidup yang Lebih Berarti)

20 Mei 2016   22:59 Diperbarui: 20 Mei 2016   23:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Hidup Lebih Berarti dengan cover orange yang menarik

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menuntaskan membaca buku “Hidup yang Lebih Berarti – Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia” yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (April 2016). Pada Rabu sore (18/5) saya membelinya di Toko Buku Gramedia, Enggal, Bandar Lampung. Setibanya dikost (Rabu malam) saya buka sejenak untuk melihat isinya. Lalu pada Kamis tengah malam (19/5), saya baca setengah isi buku yang bertotal 190 halaman tersebut. Sisanya saya baca lagi pada Jumat pagi (20/5).

Secara pribadi, muncul pertanyaan – mengapa saya mampu menuntaskan membaca buku (kali ini) dengan cepat? Pengalaman bertahun-tahun membaca buku, saya tergolong lelet. Dulu-dulu saya sering meminjam buku di Perpustakaan Daerah (Pusda) Lampung, dua buku untuk masa pinjam seminggu dan lebih sering saat dikembalikan – buku tersebut tidak tunai dibaca. Bahkan sama sekali tidak dibaca.

Warna cover buku yang orange benderang, saya akui sungguh menarik. Ditambah judul bukunya pun menginspirasi. Nyatanya inspirasi yang menarik itu tak sebatal di judul. Isi buku (setelah dibaca) nyatanya memang sealur dengan judul yang diusung dan terutama memotivasi para pembacanya mengenai memaknai kehidupan dan kesuksesan.

*

Ada 20 kisah inspiratif dalam buku ini dan semuanya ditulis oleh para blogger yang tergabung dalam blog keroyokan bernama Kompasiana. Karena itu pula maka para blogger disebut Kompasianer, dan satu lagi, Kompasiana ini merupakan blog yang bernaung dalam Kompas Group. Mereka, para Kompasianer yang menyumbangkan tulisannya, berasal dari berbagai wilayah nusantara. Dengan fakta itu, maka tak mengherankan jika kisah dalam tulisan-tulisan mereka pun bervariatif, tak melulu dari satu wilayah dan satu bidang.

Dalam 20 kisah inspiratif ini, ada yang mengangkat soal getuk melalui tulisan yang berjudul “Dengan Getuk Marem, Hanggono Setia pada Cita Rasa Masa Lampau” yang ditulis oleh Kompasianer Afandi Sido. Di sini, si penulis (khususnya) menuturkan kisah Pak Hanggono seorang wiraswasta getuk di Yogyakarta. Bertekun pada penganan lokal berbasis singkong sejak tahun 1960-an, Hanggono harus menjalani lika-liku hingga menjadi seperti sekarang dimana Getuk Marem dikenal khalayak luas.

Kemudian, tulisan yang berjudul “Sunardi, Makin Produktif ada Masa Pensiun” yang ditulis oleh Kompasianer Akhmad Fatkhulamin. Sama seperti tulisan soal Getuk Marem produksi Pak Hanggono, isi tulisan ini pun memaparkan kelok-kelok kehidupan dalam berusaha. Bedanya, Pak Sunardi-lah yang menjadi subyeknya. Adapun usaha yang digeluti oleh beliau adalah peternakan lele.

Selanjutnya cerita mengenai Pak Suwono, seorang petani organik di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Kisah Pak Suwono ditulis dengan apik oleh Kompasianer Nanang Diyanto dengan judul “Suwono, Ubah Kotoran Manusia Jadi Pupuk Organik”.

Sedangkan dari Pulau Sumatera, Kompasianer Iskandar Zulkarnain menceritakan perjuangan pasangan suami istri – Pak Ujang Karim dan Ulyati – dalam merintis dan mengembangkan usaha keripik sanjai di Tanah Minang.

Dan jujur, tanpa mengesampingkan ke-18 kisah yang ada di dalam buku, kedua yang saya sebut belakangan inilah yang merupakan favorit saya. Mengapa? Pertama, karena lucu dan perasaan itu saya dapatkan saat membaca kisah Pak Suwono yang menggeluti pupuk organik.

Awalnya dia tidak bermaksud untuk menekuni bidang tersebut dan menjadi petani (tulen). Usaha awal yang digelutinya ialah sedot WC. Namun pada suatu ketika, Pak Suwono mengolah tinja yang didapatnya dari hasil sedot WC tersebut. Maksud mengolah limbah itu supaya pada saat dibuang ke Sungai Sekayu yang berada di sekitar tempat tinggalnya, dapat meminimalisasi “racun-racun” dalam tinja sehingga tidak mencemari sungai sebagai tempat membuang hasil sedot WC tersebut.

Tetapi karena keisengan beliau yakni membuang air dari sedot WC dan telah diolah – ke sawahnya, eh tanpa disangka malah memberi dampak positif bagi tanaman padi di situ. Padi-padi tersebut menjadi lebih subur dan produktif. Kondisi demikian seharusnya disikapi dengan kegembiraan. Namun sebaliknya dengan Pak Suwono. Mengapa? Karena rupanya banyak tetangganya (yang juga berprofesi sebagai petani) penasaran. Pikir mereka kok bisa padi di sawah Pak Suwono tumbuh lebih subur, dan sebagainya.

Pak Suwono pun dengan senang hati menjelaskan bahwa berkat pupuk organik hasil olahan tinja manusia – yang didapat dari sedot WC dan kemudian diolah olehnya. Setelah mendapat penjelasn itu, para tetangganya antara percaya dan tidak percaya. Mereka juga merasa jijik karena – ya bayangkan saja, itu adalah tinja alias kotoran (walaupun bukan dari hewan). Suwono sendiri pun sempat dihinggapi keraguan semisal dia ragu apakah padi panenan sawahnya itu aman disantap, apakah secara agama halal (mengingat pupuknya kan dari kotoran manusia), dan sebagainya. Sehingga pascapanen, padinya itu tak segera dijual atau dikonsumsi pribadi.

Bahkan sesudah diperiksa ke laboratorium Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan hasilnya tak seperti pemikiran-pemikirannya. Justru kadar racun padinya rendah, singkatnya padi panenan sawah Pak Suwono tergolong bagus dan sehat, dia pun masih belum percaya. Jadi supaya lebih menyakinkan, dia meminta pegawai di laboratorium tersebut untuk mengonsumsi padi hasil sawahnya itu selama beberapa hari.

Sesudah mengonsumsi padi dan si pegawai laboratorium tetap dalam kondisi sehat walafiat, barulah Pak Suwono percaya diri dengan padi organik hasil panen sawahnya.

Kedua, penulisannya berbeda dan ini saya dapatkan dalam kisah “Ulyati, Hidup Tak Lagi Sengsara dengan Usaha Keripik Sanjai”. Dalam cerita Ulyati ini, Iskandar Zulkarnain selaku penulisnya – mengambil sudut pandang orang pertama. Dia menunjuk Pak Ujang Amir (suami Ibu Ulyati) sebagai pencerita. Jadi berbeda dengan ke-19 tulisan yang ada di buku yang semuanya bertutur dari sudut pandang penulis dan bersifat reportase (laporan). Dalam kisah Pak Ujang Amir ini, kita seolah berada di sana sembari mengikuti setiap tahap kehidupannya, jatuh bangunnya dia bersama sang istri tercinta guna mempertahankan usaha keripik sanjai yang mereka geluti selama belasan tahun.

*

Selain mengenai kisah inspirasi, buku ini sejatinya juga mengajarkan kita akan makna sebuah kesuksesan hidup. Selama ini “sukses” diidentikkan dengan material yang berkecukupan bahkan melimpah. Tetapi jika kita bercermin dari ke-20 orang ini, saya yakin kita pasti berubah pandangan. Sukses bukan lagi semata mengumpulkan harta, bukan semata mengejar laba.

Sesuatu dianggap sukses jika dapat memberi makna bagi orang lain dan lingkungan. Dalam kisah-kisah di buku ini, kesemuanya selalu ada kontak dengan sesama. Pak Suwono yang sawahnya subur makmur, ia tidak terlena. Sebaliknya dia pun mengajak warga sekitar, memberdayakan warga sekitar dengan pengetahuan mengenai pupuk organik. Walhasil para warga pun dapat mencecap apa yang dirasakannya.

Pun dengan Pak Ujang Karim dan Ibu Ulyati, meski usahanya pernah dalam kondisi sulit menghimpit – tak terbersit bagi mereka untuk mem-PHK-kan para pekerjanya. Keduanya tetap bertahan dan yakin pasti ada jalan. Keteguhan ini juga pantas digugu. Bukankah pepatah bijak mengatakan selama ada niat, pasti ada jalan. Semisal bantuan permodalan dari dunia perbankan. Salah satu dari perbankan tadi, dapat disebut di sini ialah BTPN melalui program Daya.

Akhirnya, menutup tulisan ini yang patut dicamkan adalah tiada kata terlambat. Simak saja bagaimana Pak Suwono memulai usaha sedot WC lalu ke pupuk organik dan menjadi tani, dia menekuninya pada usia di atas 55 tahun. Pak Sunardi yang beternak lele-pun setali tiga uang. Karenanya pantaslah saya menyebut mereka-mereka ini “Berdaya Tak Kenal Usia, Ikhlas Berusaha Pasti Bisa”.

Data Buku:

Judul: Hidup yang Lebih Berarti-Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia

Penulis: 20 Blogger Kompasiana

Penerbit: Elex Media Komputindo

Cetakan: Pertama, 2016

Tebal: x + 190 halaman

Harga: Rp 55.000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun