Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Politik

HUT RI, Merevitalisasi Semangat Gotong-royong dalam Berbangsa dan Bernegara

17 Agustus 2021   13:05 Diperbarui: 17 Agustus 2021   13:13 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga LDII bergotong-royong membagikan daging kurban untuk warga isoman di Semarang. Dok. DPW LDII Jateng

Oleh Chriswanto Santoso*

Hanya sekitar dua dekade lagi, bangsa ini berusia 100 tahun. Dengan usia 76 tahun, bangsa ini menjalani dinamika berbangsa dan bernegara yang luar biasa. Setiap pergantian pejabat pemerintah (eksekutif) di berbagai tingkatan, Pembukaan UUD 1945 menjadi acuan. Ia seperti nakhoda yang menavigasi perjalanan negara tercinta.

Maka, Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI), seperti pengingat atau sinyal merah untuk mengingatkan sang nakhoda untuk terus mencapai cita-cita pendirian bangsa ini. Para pendiri bangsa menempatkan tujuan nasional pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi: (I) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Indonesia, kini telah mengalami tiga orde pemerintahan: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Para kepala negara dan pemerintahan sepanjang berdirinya Republik Indonesia, berusaha keras mewujudkan tujuan nasional itu. Lalu angka-angka statistik pun berbicara, juga jatuh bangunnya orde-orde itu mempertegas, sejauh mana pencapaian alinea keempat itu.

Pada era Reformasi, demokrasi menjadi puncak pencapaian tertinggi. Di mana prosedur demokrasi, dapat dilaksanakan dengan baik, seperti adanya Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih eksekutif dan legislatif pada tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Namun, Reformasi juga diuji, bagaimana produk-produk kebijakan para pejabat negara mampu mengatasi masalah kekinian seperti pandemi Covid-19.

Pada sisi lain, Covid-19 membangkitkan kembali nilai luhur bangsa berupa gotong-royong. Dalam khasanah suku-suku di nusantara, gotong-royong bukan sekadar ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul. Gotong-royong merupakan puncak dari praktik demokrasi ala Indonesia, yang dimulai dengan musyawarah lalu bergerak membantu pihak lain. 

Bahkan, nilai gotong-royong secara naluriah menggerakkan warga untuk membantu tetangga mereka pada saat isolasi mandiri atau isoman, sebagai bentuk perwujudan nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, kasih-sayang, toleransi, dan keterbukaan -- sikap-sikap yang dimiliki suku-suku di nusantara.

Persoalannya, sejauh mana gotong-royong yang secara naluriah dimiliki bangsa Indonesia itu, untuk mewujudkan alinea keempat Pembukaan UUD 1945? Bung Karno, presiden pertama republik ini yang mengangkat istilah gotong-royong dalam pidato politiknya. Mengutip AW Dewantara, gotong-royong berasal dari pemahaman mengenai "karyo" dan "gawe" dalam pengertian masyarakat Jawa. Kata itu, mungkin menjadi berbeda pada suku-suku lain. 

Namun secara sosiologis, gotong-royong sudah dilaksanakan berbagai suku di nusantara selama ribuan tahun. Gotong royong mencakup kerja sama, musyawarah, untuk mufakat, dan rasa saling menghargai. Dalam pidatonya pada 21 Februari 1957, Bung Karno menamai kabinetnya sebagai Kabinet Gotong-royong, sebagai pengingat bahwa gotong-royong merupakan nilai asli Indonesia.

Sebagai sifat naluriah masyarakat agraris dan maritim di Nusantara, gotong-royong memang hidup di tengah komunalisme. Ia akan gagal berfungsi, bila terdapat sikap-sikap individualisme yang merupakan anak kandung liberisme. Ideologi liberalisme meraih puncaknya saat Revolusi Amerika (1765-1783) dan Revolusi Prancis (1789-1799).

 Ideologi itu, menurut John Locke salah satu penggagas liberalisme, mensyaratkan rakyat yang bebas dalam hak-hak politik, yang meliputi hak atas hidup, hak atas kebebasan, hak untuk kepemilikan (life, liberty, property). Dalam perkembangannya, liberalisme menciptkan individualisme yang berseberang dengan konsep gotong-royong.

Individualisme menciptakan kondisi untuk mementingkan diri sendiri dan kelompok, dan mengabaikan kepentingan lain. Kemaslahatan umum berubah menjadi kemaslahatan pribadi. Inilah yang menjadi tantangan besar kebangsaan Indonesia hari ini. Padahal, rasa satu kebangsaan yang terpatri jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia, merupakan keunikan bangsa Indonesia yang dihormati bangsa-bangsa lain. Indonesia dengan keragaman suku, agama, dan ras bisa bersatu karena ikatan batin sebagai satu bangsa.

Persoalannya, pada masa depan, ikatan batin sebagai suku-suku yang ditindas imperialisme dan kolonialisme bisa memudar saat berhadapan dengan deru globalisasi dan isu-isu keadilan sosial. Hari ini, bangsa dan negara Indonesia bisa mengikat wilayah dan rakyat di dalamnya dengan empat pilar kebangsaan dalam wujud Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ikatan ini bisa melonggar bahkan terganggu, ketika informasi dengan mudah menyusup dalam satuan sosial terkecil atau keluarga.

Sehingga menciptakan kesadaran bersama, sejauh mana alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terlaksana. Ketimpangan dan ketidakadilan sosial bisa berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa. Saat musuh kolektif -- imperialisme dan kolonialisme -- tak ada lagi, maka rakyat bisa mempertanyakan keseriusan pelaksanaan Pembukaan UUD 1945.

Untuk itu, pemerataan pembangunan menjadi sangat penting. Pembangunan infrastruktur, baik di darat maupun pesisir untuk memperlancar transportasi di laut, untuk memperkecil ketimpangan perlu mendapat dukungan semua pihak. Jangan sampai kebijakan pemerintah itu, tidak berjalan dengan baik karena gap pengetahuan antara perumus kebijakan dan pelaksana di lapangan. 

Atau, bahkan terhambat karena korupsi. Pasalnya, ketika ketimpangan dan ketidakadilan sosial relatif kecil, rakyat Indonesia di berbagai pelosok provinsi menikmati kondisi adil dan makmur, serta sejahtera. Sebaliknya, ketidakpuasan rakyat yang merasa terabaikan mampu mendorong sikap permusuhan yang menggocang kebangsaan. Mereka pun makin termarjinalisasi, ketika dianggap sebagai anti-Pancasila atau anti-NKRI. Padahal persoalannya adalah kesenjangan dan ketidakadilan.

*Ir. H. Chriswanto Santoso, M.Sc, Ketua Umum DPP LDII

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun