Mohon tunggu...
Linda Tri Astuti
Linda Tri Astuti Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, NIM 24107030107

Seorang mahasiswa aktif di Yogyakarta yang suka menulis hal-hal terkait kehidupan sosial di yogyakarta dengan berbagai permasalahan yang ada, serta sesuatu yang menarik seperti trend saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sungkem dengan Hati yang Lega Usai Memaafkan di Hari Lebaran

1 April 2025   01:54 Diperbarui: 1 April 2025   07:17 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Keluarga Hari Pertama Lebaran, Sumber Dokumentasi Pribadi 

Lebaran selalu jadi momen yang penuh makna. Selain jadi waktu berkumpul bersama keluarga, momen ini juga menjadi saat yang penuh harapan untuk saling memaafkan. Tapi, apakah momen meminta maaf dan memaafkan selalu bisa membuat hati kita benar-benar lega? Atau justru, setelah mengucapkan kata-kata "mohon maaf lahir dan batin", ada perasaan yang sulit dijelaskan? Sebuah perasaan yang seolah menahan, meski kita sudah mengucapkan semua yang perlu diucapkan. Mungkin, saat itu kita merasa ada ganjalan yang masih tersisa. Apakah ini hal yang wajar? Atau justru ini menunjukkan bahwa proses memaafkan dan meminta maaf tidak sesederhana yang kita kira?

Setiap Lebaran, sejak kecil saya sudah diajarkan untuk minta maaf dan memaafkan. Itu jadi bagian dari tradisi, seperti halnya saling bertukar ucapan selamat dan makan ketupat. Tapi, meskipun sudah terbiasa, tetap saja ada perasaan yang cukup berat saat harus mengucapkan kata-kata "mohon maaf lahir dan batin." Tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, meski sudah mengucapkan kata maaf, hati tetap merasa ada yang mengganjal. Perasaan itu mungkin datang karena ada hal-hal yang belum sepenuhnya bisa dimaafkan. Entah itu karena kenangan buruk, atau hal-hal yang tak mudah dilepaskan begitu saja.

Namun, kali ini, di Lebaran yang berbeda, saya merasa perasaan itu sedikit berbeda. Saya merasakan adanya keikhlasan yang lebih dalam. Ketika momen meminta maaf datang, rasanya tidak ada lagi yang perlu saya pertahankan. Tidak ada rasa berat atau enggan. Hati terasa lebih lapang dan lebih terbuka. Sebuah perasaan yang datang tanpa ada keraguan sedikit pun. Keikhlasan itu terasa lebih mudah datang, seperti melepaskan sesuatu yang memang sudah waktunya pergi. Tidak ada lagi yang mengganjal.

Saya ingat, beberapa tahun lalu, setelah menjalani bulan puasa penuh, saya dan keluarga sempat ada ketegangan. Sesuatu yang sepele, tapi karena nggak segera diselesaikan, jadi menumpuk jadi masalah besar. Biasanya, setiap Lebaran, kami berdua selalu saling meminta maaf dengan tulus. Tapi, tahun itu, entah kenapa saya merasa sedikit enggan. Mungkin karena saya merasa masih ada rasa kesal yang belum tuntas, atau mungkin karena tidak ingin terlihat terlalu lemah dengan mengakui kesalahan.

Namun, di tahun ini, momen meminta maaf itu terasa berbeda. Ketika hari pertama Lebaran tiba, saya merasa sudah siap untuk berbicara dengan keluarga saya. Ada momen di mana kami berdua saling menatap, dan tanpa kata-kata, saya tahu kami berdua sedang berpikir hal yang sama. Kami akhirnya saling meminta maaf, dengan tulus. Tanpa rasa canggung atau berat hati. Setelah kata maaf terlontar, saya merasa ada kelegaan yang datang, yang menghapus semua beban yang mungkin sempat ada. Semua terasa begitu ringan, dan hubungan pun terasa kembali hangat.

Suasana hati setelah minta maaf memang memberikan kelegaan yang sangat terasa. Tidak ada lagi perasaan yang mengganjal, tidak ada lagi rasa khawatir tentang hubungan yang mungkin akan berubah. Semua masalah yang dulu sempat ada, sekarang terasa seperti hal kecil yang sudah bisa dilupakan. Tidak ada lagi rasa takut bahwa luka lama akan muncul kembali. Hati terasa tenang, dan saya tahu bahwa momen ini memang benar-benar berarti.

Memaafkan dan meminta maaf kali ini benar-benar terasa ringan. Saya merasa bahwa semua proses ini berjalan dengan lebih alami, tanpa beban yang membebani pikiran atau perasaan saya. Tidak ada lagi keraguan apakah saya akan diterima atau tidak, atau apakah hubungan akan berubah setelah kata maaf terucap. Semuanya berjalan dengan penuh penerimaan, dan saya merasa lebih damai dengan diri sendiri dan keluarga. Rasanya seperti beban yang terangkat begitu saja.

Mungkin dulu, ada kalanya saya merasa canggung atau takut saat harus meminta maaf. Ada rasa ragu, apakah kata-kata yang saya ucapkan akan benar-benar diterima. Tetapi kali ini, semua itu terasa tidak ada. Setiap kata yang keluar dari mulut saya datang dengan ketulusan, dan saya merasa bahwa keluarga juga merasakan hal yang sama. Kami saling memaafkan dengan hati yang ringan, tanpa ada lagi rasa yang tertahan.

Setelah saling meminta maaf, saya merasakan sebuah ketenangan yang lebih dalam. Perasaan lega itu datang begitu saja, tanpa harus dipaksakan. Semua yang tadinya terasa berat, kini terasa jauh lebih mudah. Tidak ada lagi yang mengganjal atau membebani. Setiap kali mengingat momen itu, saya merasa lebih damai. Rasanya seperti membuka lembaran baru dalam hubungan kami, tanpa adanya hal-hal yang tersisa dari masa lalu yang harus dipertahankan.

Saya menyadari bahwa memaafkan itu bukan hanya soal kata-kata, tetapi soal perasaan yang benar-benar ikhlas. Ketika kita memaafkan, kita memberi ruang untuk perasaan positif tumbuh dalam hubungan. Tidak ada lagi rasa sakit yang disimpan, dan semua bisa dilupakan dengan penuh kedamaian. Tentu saja, memaafkan bukan berarti melupakan semua hal yang terjadi, tetapi memberikan kesempatan untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik dan lebih ringan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun