Mohon tunggu...
Linda Fatimah
Linda Fatimah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Berproses

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hijrah: Jalan Menuju Pulih

30 Juli 2025   07:25 Diperbarui: 30 Juli 2025   07:25 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tempat yang tenang, banyak jiwa mulai menemukan arah pulangnya.

Di tengah kehidupan yang penuh tekanan, kegelisahan, dan rasa kehilangan arah, banyak anak muda mulai mencari pelarian yang bisa menenangkan hati. Salah satu pilihan yang sering mereka ambil adalah hijrah. Meski awalnya istilah ini merujuk pada perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, kini hijrah sering dimaknai sebagai perubahan diri menuju hidup yang lebih baik, terutama dalam aspek keagamaan.

Namun, muncul pertanyaan: apakah hijrah mampu menjadi solusi atas persoalan kesehatan mental?

Banyak orang memutuskan berhijrah justru karena sedang mengalami luka batin yang mendalam. Ada yang sedang patah hati, gagal meraih cita-cita, merasa hampa, atau tidak tahu arah hidup. Pada saat seperti itu, ada dorongan dalam hati untuk mencari ketenangan yang lebih dari sekadar pelarian dunia, yakni ketenangan batin lewat pendekatan spiritual.

Fenomena ini dikenal dalam psikologi agama sebagai titik balik atau turning point, di mana seseorang menemukan kembali makna hidup melalui pendekatan spiritual. Hijrah dalam hal ini menjadi cara untuk bangkit, bukan sekadar simbol atau gaya hidup.

Dari kacamata psikologi, seseorang dikatakan sehat mentalnya jika mampu mengelola emosi, stres, dan tujuan hidup dengan baik. Dalam ajaran agama, kita diajarkan untuk sabar, bersyukur, menerima takdir, dan menyandarkan diri hanya kepada Tuhan. Nilai-nilai inilah yang membuat seseorang lebih kuat secara batin.

Saat seseorang mulai menata kembali hubungannya dengan Tuhan, mulai rutin beribadah, berdzikir, atau membaca Al-Qur'an, ia pun mulai merasakan ketenangan yang berbeda. Aktivitas-aktivitas ini bukan sekadar ritual, tetapi juga membantu meredakan kecemasan secara psikologis.

Proses Hijrah Tidak Selalu Mulus.

 Sayangnya, banyak yang mengira bahwa setelah hijrah, hidup akan langsung membaik. Kenyataannya, proses perubahan diri itu sering diiringi ujian baru. Misalnya, merasa tidak cukup baik, dihantui masa lalu, atau merasa tertekan karena ingin terlihat sempurna secara agama.

Ada juga yang kesulitan bersosialisasi, kehilangan teman-teman lama, atau bingung memilih jalan yang benar di antara banyak panduan. Tanpa bimbingan dan pemahaman yang mendalam, hijrah bisa menjadi beban mental baru.

Maka dari itu, penting untuk memahami bahwa hijrah adalah perjalanan panjang, bukan perlombaan. Kita tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Yang penting adalah konsisten memperbaiki diri setiap hari.

Hijrah yang sehat sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang baik. Dukungan dari teman, keluarga, komunitas pengajian, atau guru spiritual sangat berperan dalam menjaga semangat dan kestabilan batin. Jika seseorang berada di tengah lingkungan yang menerima dan tidak menghakimi, proses hijrahnya akan lebih tenang dan menyenangkan.

Tak jarang, konseling ke psikolog atau pendamping spiritual juga dibutuhkan. Kadang masalah kejiwaan tidak cukup diselesaikan hanya dengan ibadah, tapi juga butuh pendekatan ilmiah dari dunia psikologi.

Hijrah dan kesehatan mental sebenarnya saling berkaitan. Saat seseorang memperdalam hubungan dengan Tuhannya, ia juga sedang belajar memahami dirinya sendiri. Ia mulai bisa menerima kegagalan, berdamai dengan trauma, dan menemukan kembali harapan yang sempat hilang.

Hijrah bukan soal perubahan penampilan semata, tapi tentang transformasi batin. Jika hijrah dilakukan dengan kesadaran dan kejujuran, maka ia akan menjadi jalan penyembuhan yang membawa kedamaian.

Hijrah sering kali dimulai dari luka, baik luka batin, tekanan hidup, maupun kegagalan yang menyakitkan. Namun siapa pun yang memilih bangkit, meninggalkan gelisah dan berjuang memperbaiki diri, akan selalu mendapat tempat di sisi Tuhan. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 110, Allah menyampaikan bahwa orang-orang yang sempat terguncang imannya, lalu berhijrah, bersabar, dan terus berusaha di jalan-Nya, akan mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari-Nya.

Pesan ini sangat menenangkan: bahwa perjalanan hijrah, meski tidak sempurna dan penuh tantangan, tetap bernilai mulia di mata Allah. Yang terpenting bukan masa lalu yang kita tinggalkan, tapi ketulusan dalam memperbaiki diri. Di situlah hijrah menjadi jalan pemulihan, bukan sekadar perubahan, melainkan bentuk cinta Tuhan kepada hamba yang ingin kembali pulih dan dekat pada-Nya.

Bagi siapa pun yang sedang berjuang memperbaiki diri karena luka di masa lalu, percayalah, hijrah bisa menjadi bentuk penyembuhan terbaik, asalkan dijalani dengan niat tulus dan langkah yang bijak. Semoga kita semua istiqomah dalam perjalanan ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun