"Woy! Apa-apaan, sih!" Seketika Ardi bersuara dengan intonasi yang cukup membuat semua pengunjung kantin menoleh ke arah mereka.
"Baksonya buat aku, kan, aku yang capek abis lari-lari," sahut Doni. Tanpa mempedulikan ekspresi wajah Ardi yang memerah, Doni menyantap pentol bakso dan menyeruput kuah panas beraroma itu perlahan. "Anggap aja ini tuh, PJ kamu buat aku."
Ardi mengernyitkan dahi. Menerka apa yang tengah dibicarakan sahabatnya itu.
"Maksudnya apa? Apalagi itu PJ, penanggung jawab gitu, maksudnya?"
"Makan aja, jawab kali!" Kini suara Ardi kembali naik.
"Kamu itu hidup di jaman apa, sih, Di? PJ aja enggak tahu."
"Sialan! Ditanya malah ngatain."
"Lagian, PJ itu artinya pajak jadian," jelas Doni kemudian kembali menggigit bakso yang menancap di garpunya.
Bola mata Ardi membulat. Otaknya masih belum mengerti ke arah mana inti ucapan Doni. Dia tidak merasa sedang mendekati seorang cewek, jadi tidak mungkin menyandang status pacar orang.
"Enggak usah sok bingung, semua anak udah tahu kali, kalau kamu deket sama Lala, bahkan enggak cuma tahap antar-jemput, tapi udah sampai tinggal bareng. Iya, kan? Ngaku aja, deh!"
Kali ini giliran kantung tawa Ardi pecah, sampai perutnya sakit. Doni bingung, tapi dia bukan tipe orang yang rela menunda suapan demi apa pun. Mie kuning dalam kuah bakso tetap berhasil masuk ke perut.