"Di, woy! Tolongin dong ...."
Suara cowok berambut cepak di balik gerbang itu menggelitik perut Ardi sampai terbentuk lesung di pipinya.
"Ogah! Takut telat, Don, bahasa Arab pertama ...." lontar Ardi dengan senyum meledek.
Setelah membenarkan posisi tasnya, dia melangkah menuju kelas, tidak jauh dari gerbang sekolah, meninggalkan sahabatnya yang makin semangat merayu  Pak Satpam. Dari kejauhan, tampak ada gelisah pada gerak tubuh Doni di seberang gerbang, pasti dia terbayang wajah Pak Ahmad yang berkumis tebal, selalu bernada tinggi dan tegas.
****
"Enggak setia kawan kamu, Di!"
Tiba-tiba tepukan mendarat di pundak bidang Ardi seiring suara Doni terdengar. Cowok berseragam rapi itu hanya memicingkan mata dan tawa pun lepas ketika tahu itu adalah sahabatnya yang sedang ngos-ngosan mengatur napas.
"Enak, Don?"
"Seneng ..., bagus, lihat temennya sengsara malah ketawa," gerutu Doni sambil menarik bangku kantin lalu duduk disusul Ardi.
"Biarin aja. Kamu tuh, pantes disuruh keliling lapangan kaya tadi," sahut Ardi sedikit ketawa, "itung-itung olahraga, Don, biar lemak di badan kamu pada kabur, hahaha ...!"
"Sadis!"
Tawa masih belum mau berhenti. Apalagi ditambah pemandangan wajah Doni yang semakin kusut, persis kertas yang dilempar-lempar saat kelas tidak ada guru. Bakso sudah terhidang di hadapan mereka. Aroma khasnya begitu menggoda.