Mohon tunggu...
Lince Novertina Bawamenewi
Lince Novertina Bawamenewi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jadilah pribadi menurut versimu sendiri 👁☑️

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Nada Suara: Lembut Tak Selalu Malaikat, Kasar Tak Selalu Iblis

24 Juli 2025   19:22 Diperbarui: 24 Juli 2025   19:22 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pixabay/Krishna Tedjo)

Di tengah masyarakat yang semakin menuntut kesantunan dan kesopanan dalam berkomunikasi, kita seringkali terjebak dalam penilaian dangkal:

nada lembut dianggap sebagai tanda kebaikan dan kelembutan hati, sementara nada kasar identik dengan kekasaran, ketidaksabaran, bahkan kejahatan.

Padahal, jika dicermati lebih dalam, persepsi ini tidak selalu mencerminkan realitas yang sesungguhnya.

Nada suara memang memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk kesan pertama. Suara yang lembut cenderung menciptakan rasa nyaman, tenang, dan aman.

Sebaliknya, suara yang keras atau terkesan kasar seringkali memicu pertahanan diri, bahkan ketakutan. Namun, apakah benar bahwa kelembutan suara selalu selaras dengan niat yang baik? 

Dan apakah kekasaran nada suara selalu lahir dari hati yang jahat? Jawabannya tentu tidak sesederhana itu.

Lembut yang Menipu, Kasar yang Tulus

Dalam dunia psikologi sosial, terdapat fenomena yang disebut sebagai halo effect, yaitu kecenderungan menilai karakter seseorang berdasarkan satu aspek yang menonjol.

Ketika seseorang berbicara dengan nada lembut, kita cenderung menganggapnya sebagai pribadi yang sabar, ramah, dan dapat dipercaya.

Namun, banyak kasus manipulasi emosional dan kebohongan yang dilakukan dengan sangat halus dibungkus dengan kata-kata sopan dan nada lembut.

Ironisnya, justru karena kelembutan itu, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi.

Di sisi lain, orang yang berbicara dengan suara lantang atau terkesan keras sering dianggap kasar atau pemarah, padahal bisa jadi mereka adalah pribadi yang tulus, jujur, dan tidak pandai membungkus perasaan.

Mereka memilih untuk berbicara apa adanya, meskipun terdengar menyakitkan, karena tidak ingin membiarkan orang lain hidup dalam kepalsuan. Nada suara mereka bukan berasal dari kebencian, melainkan dari urgensi dan kejujuran.

Budaya dan Persepsi Sosial

Persepsi terhadap nada suara juga sangat dipengaruhi oleh budaya. Di beberapa daerah, berbicara dengan suara keras bukanlah tanda kemarahan, melainkan bagian dari ekspresi kebiasaan.

Contohnya, masyarakat di wilayah timur Indonesia dikenal dengan gaya bicara yang keras dan ekspresif, namun bukan berarti mereka tidak ramah atau kasar.

Sebaliknya, masyarakat di wilayah tertentu cenderung berbicara dengan pelan dan tertata. Akan tetapi, bukan berarti setiap kata yang diucapkan dengan pelan itu mengandung kebaikan.

Dalam konteks tertentu, justru kata-kata dengan nada pelan bisa membawa maksud yang menyakitkan atau menyindir secara halus.

Kita perlu menyadari bahwa cara orang berbicara sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman hidup, serta kepribadian masing-masing.

Menilai seseorang hanya dari nadanya tanpa memahami konteks akan membuat kita mudah salah paham dan bahkan bersikap tidak adil.

Pentingnya Memahami Konten, Bukan Hanya Nada

Dalam setiap komunikasi, konten atau isi pesan jauh lebih penting daripada sekadar bagaimana pesan itu disampaikan.

Kita perlu lebih bijak dalam menilai seseorang bukan dari seberapa lembut ia berbicara, tetapi dari apa yang sebenarnya ia katakan dan bagaimana perilakunya.

Seorang guru yang tegas dan berbicara dengan nada keras bisa saja jauh lebih peduli terhadap murid-muridnya daripada guru yang berbicara lembut namun abai terhadap perkembangan siswa.

Seorang pemimpin yang vokal dan blak-blakan mungkin justru lebih transparan dan bertanggung jawab dibandingkan pemimpin yang pandai berkata manis namun tidak konsisten antara ucapan dan tindakan.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk tidak cepat menghakimi seseorang berdasarkan suara. Belajarlah mendengarkan makna di balik kata-kata,

bukan hanya cara pengucapannya. Hanya dengan demikian kita dapat membangun komunikasi yang sehat, jujur, dan penuh pengertian.

Kesimpulan

Nada suara memang berperan penting dalam komunikasi, tetapi tidak seharusnya menjadi tolok ukur utama dalam menilai karakter seseorang. Lembut tak selalu berarti baik, dan keras tak selalu buruk.

Dunia ini tidak hitam-putih; terdapat banyak spektrum di antara keduanya yang patut kita pahami. Marilah kita menjadi pribadi yang lebih bijak dan berhati-hati.

Jangan mudah terpesona oleh kelembutan suara, dan jangan langsung membenci kekasaran suara. Lihatlah hati dan maksud di balik ucapan.

Sebab, pada akhirnya, kejujuran dan ketulusan jauh lebih penting daripada sekadar bagaimana suara itu terdengar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun