Mohon tunggu...
Herlina Butar
Herlina Butar Mohon Tunggu... Administrasi - LKPPI Lintas Kajian Pemerhati Pembangunan Indonesia

Cuma orang yang suka menulis saja. Mau bagus kek, jelek kek tulisannya. Yang penting menulis. Di kritik juga boleh kok. Biar tahu kekurangan....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Reforma Agraria

4 November 2019   00:45 Diperbarui: 9 Oktober 2022   22:32 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proklamasi 

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. 

Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja. 

Merenungi isi teks Proklamasi, maka kita harus merenungi bahwa "Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja" adalah harapan yang secara sistematis belum terlaksana hingga saat ini.

Sebuah negara, sejatinya terdiri dari rakyat, wilayah dan pemerintahan. 

Pemindahan kekuasaan berarti berpindahnya kekuasaan dari sebuah kekuasaan satu ke kekuasaan yang lain. Bila merujuk kepada kalimat awal

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia" 

maka bila kekuasaan awal adalah bukan sebuah situasi yang merdeka, maka sejak dibacakannya teks proklamasi maka kita sepatutnya memasuki kekuasaan yang bersifat merdeka.

Dari awal para pejabat penyelenggara pemerintahan di negeri ini, puluhan tahun merdeka, kebanyakan sibuk hanya untuk berebut kekuasaan, saling fitnah, saling membuat trik dan intrik untuk bagaimana caranya duduk dan memegang tampuk pemerintahan, tetapi sedikit sekali menyelesaikan hal-hal fundamen yang semestinya diselesaikan sebagai upaya memenuhi tugas penyelenggaraan pemindahan kekuasaan, dll.

Rakyat dan Identitas

Sebagai rakyat, maka pemenuhan kebutuhan akan data identitas, hingga sekarang belum genap terselesaikan. 

Jika jaman dahulu, masyarakat ingin membuat KTP sedemikian sulit. Harus bayar ini dan itu. Belum lagi ditambah kondisi masyarakat yang seringkali melakukan manipulasi data sehingga tercipta banyaknya identitas ganda demi kepentingan pribadi atau demi kepentingan kelompok. 

Saat ini, lain lagi. Rencana pendataan administrasi penduduk melalui proyek e-KTP, ternyata hanya menjadi proyek bancakan. Pada akhirnya, rakyat hanya mendapat KTP yang berisi nomor identifikasi yang berisi data-data. Tetapi, tidak menjadi e-KTP seperti layaknya kartu ATM yang bisa terhubung dengan sistem elektronik.

Pemerintahan

Bila kita bicara pemerintah, masing-masing dari kita rakyat Indonesia bisa melihat situasi pemerintahan yang sedang berjalan. Silakan mengambil kesimpulan masing-masing berdasarkan berbagai informasi yang berseliweran di berbagai televisi maupun jagad dunia media sosial.

Kali ini, saya ingin sekali mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk membuka mata pada persoalan-persoalan wilayah, yaitu lahan.

Saat pertama kali negara ini didirikan, institusi yang memiliki area kerja yang berhubungan dengan lahan mendapat sebutan agraria, kantor agraria. 

Saat ini, kita menyebutnya dengan Badan Pertanahan Negara atau BPN.

Saat memasuki era kemerdekaan, maka pekerjaan yang disebut  semestinya  pemindahan kekuasaan adalah melakukan pendataan dan penataan administrasi wilayah.

Ada beberapa catatan sebagai bahan dasar awal administrasi pertanahan yang patut dicatat, sebagai berikut:

  1. Lahan Negara;
  2. Lahan Masyarakat;
  3. Lahan Adat atau Ulayat;

1. Lahan Negara;

Yaitu lahan rampasan yang sebelumnya berasal dari penguasaan pemerintahan sebelumnya, yang saat ini menjadi wilayah kekuasaan Indonesia.

Lahan tersebut berupa area perkebunan, area yang wilayahnya menjadi  kekuasaan pemerintahan atau pengelola sebelumnya. Negara wajib dan berhak untuk melakukan penataan pada wilayah tersebut secara penuh. Kecuali bila di lahan tersebut ada masyarakat yang menempati, maka masyarakat dilibatkan dan atau bila tidak dikehendaki keberadaannya pada lokasi tersebut karena berbeda perencanaan, maka negara bisa melakukan pemindahan dengan kompensasi kerohiman.

Menurut logika saya, kerajaaan Belanda dan atau perusahaan asing yang menguasai lahan tersebut tentu memiliki kode-kode area sebagai data administrasi pajak terdahulu.

Pun seandainya ada masyarakat yang menempati lahan tersebut, maka itu semestinya adalah masyarakat yang menjadi pekerja yang saat dahulu menjadi pekerja pada pemerintahan sebelumnya.

2. Lahan Masyarakat;

Lahan masyarakat adalah lahan milik masyarakat yang saat pemerintahan sebelumnya tidak masuk dalam penguasaan pemerintahan tersebut. Lahan tersebut bebas dibangun, ditanami atau masyarakat memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun terhadap lahan miliknya.

Negara tidak bisa seenaknya mengklaim lahan masyarakat tersebut sebagai otomatis milik negara. Bila itu terjadi maka makna merdeka bagi bangsa ini, justru menjadi kesewenang-wenangan negara terhadap masyarakat. 

Banyak selir-selir (nyai-nyai) Belanda yang yang pada saat pemerintahan sebelumnya memiliki lahan-lahan luas secara mutlak (eigendom) karena pemberian dari suaminya.. Pemindahan kekuasaan menurut pandangan saya, tidak mencakup lahan-lahan eigendom tersebut. Apalagi bila bila nyai-nyai tersebut merupakan orang Indonesia yang memutuskan ikut menjadi bagian dari rakyat Indonesia.

Bila Negara membutuhkan lahan tersebut untuk keperluan pembangunan, maka negara wajib membeli lahan tersebut dengan mengikuti kesepakatan antara kedua belah pihak yang berkeadilan.

3. Hak Adat atau Hak Ulayat;

Negara Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga pulau Rote. 

Sebelum merdeka, tidak semua daerah masuk dalam penguasaan Belanda.

Tanah-tanah di beberapa daerah di Sumatera memang dikuasai Belanda sebagai lahan perkebunan. Tetapi banyak tanah di Sumatera Utara dan di Sumatera Barat tetap menjadi tanah milik adat bagi masyarakat di situ. Suku Minang masih memiliki wilayah-wilayah yang secara adat tetap dalam penguasaan adat Minang. Demikian pula, masyarakat Batak yang secara sistematis keluarga masih menguasai tanah-tanah adat. Tidak pernah masuk dalam penguasaan Belanda.

Saya kira, banyak pula tanah-tanah adat atau tanah ulayat di pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Sebagai catatan, untuk wilayah Freeport tentu berbeda, karena proses peralihan lokasi tersebut terikat pada perjanjian-perjanjian Indonesia dengan negara lain.

Hingga saat ini, saya tidak pernah tahu, apakah negara memiliki catatan-catatan tentang batas-batas wilayah yang tersebut di atas. 

Bila negara tidak melakukan inventarisasi, saya sangat skeptis maka sehebat apapun seorang menteri Agraria, maka akan sangat sulit bagi BPN untuk bisa berhasil melakukan tertib administrasi sesuai dengan ketentuan pemindahan kekuasaan tersebut.

Sebagai rakyat kecil, saya hanya minta agar negara terlebih dahulu melakukan inventarisasi berdasarkan data pemindahan kekuasaan tersebut dengan pemerintahan sebelumnya.

Pernah, keinginan saya untuk memulai melakukan inventarisasi lahan-lahan ini disampaikan kepada kawan saya Berlian Siagian. Beliau mengatakan, "pekerjaan seperti itu sepuluh tahun mah gak akan selesai..."

Benar, ini pekerjaan panjang. Jika kita tidak memulai, maka sampai kapanpun  tidak akan pernah selesai.

Akhir kata, semoga negeriku bisa mewujudkan reformasi agraria, sebagai langkah awal untuk lepas landas menuju kemerdekaan sesungguhnya demi kesejahteraan umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun