Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Apakah Hukum Pareto Berlaku di Kompasiana?

7 November 2019   11:45 Diperbarui: 7 November 2019   11:45 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: hukum pareto. dokpri

Membahas tema kepenulisan sungguh menarik. Bagaimana tidak. Bukankah saat berinteraksi dengan Kompasiana juga dalam rangka urusan penulisan? Tema yang satu ini juga bisa memunculkan demikian banyak sudut pandang.

Saya tertarik untuk membahas korelasi antara jumlah dan kualitas artikel yang ditayangkan dengan tingkat keterbacaannya. Saya menggunakan istilah "tingkat keterbacaan" sebagai pengganti kata asing pageviews. Entah tepat entah juga tidak. Sebab secara teknis pengertian pageviews sendiri ada bermacam-macam.

Dengan metode penghitungan yang berbeda, hasilnya akan juga berbeda. Untuk sederhananya, saya menggunakan angka-angka yang tercantum dalam artikel yang tayang di Kompasiana.

Minim Tulisan, Minim Pembaca

Hingga akhir Oktober yang lalu, sepanjang tahun 2019, saya menghasilkan 104 artikel di Kompasiana. Jadi, rata-rata saya hanya mampu menayangkan 10 artikel per bulan. Minim sekali, bukan?

104 artikel tersebut mendatangkan 24.557 orang "pembaca", sehingga rata-rata tingkat keterbacaan artikel-artikel saya sebesar 236 per artikel. Ini pun bilangan yang sangat kecil dibandingkan angka yang diperoleh para Kompasianer yang lain.

ilustrasi: rata-rata tingkat keterbacaan. dokpri
ilustrasi: rata-rata tingkat keterbacaan. dokpri
Lebih lanjut, bila dikaitkan dengan kategorinya, rata-rata keterbacaan tertinggi diraih artikel-artikel humaniora. Tulisan-tulisan dalam kategori ini mendapatkan tingkat keterbacaan sedikit di atas angka 400.

Kategori artikel yang menurut sebagian orang bisa mendatangkan kunjungan yang banyak, yakni politik, tidak ada dalam daftar saya. Hingga saat ini saya belum memiliki keberanian untuk menayangkan tulisan jenis yang satu ini.

Sementara itu, pada papan bagian bawah, artikel-artikel bergenre fiksi dan beberapa artikel yang tayang dalam program khusus Ramadan, Samber THR, mendapatkan pembaca paling sedikit. Tulisan-tulisan yang saya tayangkan pada kedua kategori itu masing-masing mendapatkan tingkat keterbacaan rata-rata di bawah 100.

Begitulah kondisi saya di jagat Kompasiana. Frekuensi tulisan saya masih sangat sedikit, ditambah dengan rata-rata keterbacaan yang juga minim.

Kualitas Tulisan

Saya bersyukur dengan peningkatan kualitas tulisan saya tahun ini dibandingkan setahun yang lalu. Jika saya membahas kualitas tulisan yang saya hasilkan, sebagai pembanding adalah tulisan-tulisan saya pada periode sebelumnya, bukan tulisan orang lain.

Sasaran yang ingin saya dapatkan dari penilaian ini semata-mata untuk mengukur kemampuan diri dan selanjutnya memotivasi diri. Dalam buku "Buku Catatan untuk Calon Penulis", Puthut EA menyampaikan salah satu catatan yang menurut saya berkorelasi dengan upaya yang saya lakukan ini.

Dalam catatan nomor tujuh, ia menyatakan, "Anda harus yakin bahwa tulisan Anda bagus. Sebab kalau Anda saja merasa tulisan Anda jelek, jangan berharap orang lain akan menilai bagus. Kalau Anda merasa tulisan Anda bagus sedangkan orang yang membaca beranggapan jelek, setidaknya Anda sudah membuat puas diri Anda sendiri."

Pengkategorian tulisan berdasarkan kualitas pun hanya dengan melihat predikat yang diberikan Admin Kompasiana, yakni Artikel Utama, Artikel Pilihan dan tulisan yang tidak mendapatkan predikat dan saya menyebutnya sebagai Artikel Biasa.

ilustrasi: perkembangan kualitas artikel. dokpri
ilustrasi: perkembangan kualitas artikel. dokpri
Bila pada tahun 2018 yang lalu, artikel yang tak mendapatkan predikat sebanyak 34%, tahun ini berkurang menjadi 12%. Sebaliknya, porsi artikel utama meningkat meskipun tidak banyak, dari 27% menjadi 29%.

Tidak beda dengan tahun lalu, tahun ini pun sebagian besar tulisan-tulisan saya masuk kategori pilihan. Artikel dengan predikat pilihan naik dari 39% menjadi 59%.

ilustrasi: data jumlah artikel per bulan. dokpri
ilustrasi: data jumlah artikel per bulan. dokpri
Bila dilihat bulanannya, April dan Juli merupakan bulan tersuram dalam interaksi saya dengan Kompasiana. Pada bulan April tak satu pun tulisan saya "mengudara", sedangkan pada Juli saya hanya mampu menayangkan dua gelintir artikel. Miris sekali, ya.

Rekor jumlah artikel yang saya tayangkan terjadi pada bulan Maret dan Mei dengan masing-masing sejumlah 21 dan 20 artikel. Masih belum sanggup menghasilkan satu artikel per hari.

Dua bulan terakhir saya berhasil menghilangkan warna merah alias artikel yang tak berpredikat. Cukup menggembirakan. Apakah karena frekuensinya berkurang? Mungkin juga. Barangkali dengan waktu yang relatif lebih longgar, kualitas tulisan bisa dinaikkan.

Hukum Pareto

Sekarang saya akan mencoba mengaitkan antara kualitas artikel dengan tingkat keterbacaan. Sepanjang 10 bulan di tahun 2019 ini, 29% dari artikel-artikel yang saya tayangkan dibaca oleh 65% dari seluruh pembaca artikel-artikel saya. Sisanya, 71% tulisan yang saya tayangkan dibaca oleh 35% pembaca yang mengunjungi tulisan-tulisan saya.

ilustrasi: grafik hubungan antara predikat artikel dengan tingkat keterbacaan. dokpri
ilustrasi: grafik hubungan antara predikat artikel dengan tingkat keterbacaan. dokpri
.Meskipun tidak sepenuhnya mengikuti Hukum Pareto yang menyatakan bahwa 80% reaksi disebabkan oleh 20% aksi, tetapi angka-angka di atas mengarah ke sana. 29% tulisan saya yang berpredikat Artikel Utama mendatangkan 65% dari seluruh pengunjung yang mencicipi artikel-artikel yang saya sajikan.

Kondisi itu tentu tidak terjadi begitu saja. Tulisan-tulisan yang memperoleh stempel Artikel Utama memang mendapatkan perlakuan istimewa. Selain waktu penayangan di halaman utama lebih panjang, setahu saya artikel-artikel ini juga digelar di kanal-kanal Kompasiana yang lain.

Selera Admin dan Kompasianer Berbeda

Meskipun rambut mungkin sama hitam, tetapi selera manusia berbeda-beda. Tak terkecuali manusia berjudul Admin Kompasiana dan Kompasianer.

Ketika Admin memberikan label Artikel Utama pada sebuah tulisan yang tayang di lapaknya, belum tentu para Kompasianer dan pembaca umum menyambut gembira. Bisa saja artikel semacam itu tak laku di pasaran. Dengan kata lain tingkat keterbacaan sebuah Artikel Utama bisa saja rendah.

Mengukur tingkat keterbacaan sebuah artikel di Kompasiana, juga di media-media lainnya, tak bisa hanya berdasarkan atribut yang diberikan Admin kepadanya. Banyak faktor lain yang memengaruhinya. Tak jarang variabel lain-lain lebih dominan menyihir (calon) pembaca untuk mengunjungi sebentuk tulisan.

Beberapa Kompasianer telah memaparkan teori dan pengalaman mereka terkait hal ini. Pada masa kini, seorang penulis dikatakan berhasil bukan setelah membubuhkan titik terakhir pada tulisannya, melainkan berlanjut pada langkah-langkah berikutnya.

Salah satunya memasarkan tulisan-tulisan yang telah dihasilkan melalui berbagai cara dan sarana. Dan ini menjadi salah satu hal yang belum banyak saya lakukan.

Itulah 10 bulan di antara 19 bulan perjalanan saya bersama Kompasiana. Usia yang masih teramat singkat dibandingkan Kompasiana yang telah 11 tahun malang-melintang di jagat media daring.

Selamat ulang tahun, Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun