Oleh Handra Deddy Hasan
Indonesia dalam menatap Indonesia emas masih dibebani dengan masalah demografi. Walaupun digadang-gadang sedang dan akan menikmati bonus demografi karena mempunyai potensi  mayoritas  penduduk angkatan kerja yang berkualitas, namun pada saat yang bersamaan bermasalah dengan angka pernikahan dibawah umur.
Menurut Wikipedia, Bonus Demografi, berdasarkan istilah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja.
Salah satu problem Indonesia untuk menikmati bonus demografi untuk bisa lepas landas menuju Indonesia emas pada tahun 2045 adalah masalah pernikahan dibawah umur.
Pernikahan dibawah umur  banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 menyebut 25,71% perempuan berusia 20-24 tahun menikah saat umurnya kurang dari 18 tahun. Artinya, 1 dari 4 perempuan Indonesia menikah dalam usia anak.
Perkawinan anak ini merata hampir di semua provinsi di Indonesia. Sebanyak 23 provinsi dari 34 provinsi memiliki prevalensi pernikahan anak lebih tinggi dari prevalensi nasional.
Prevalensi pernikahan anak tertinggi ada di Kalimantan Selatan, yaitu sebanyak 4 dari 10 perempuan menikah dalam usia dini dan yang terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta 1 dari 10 perempuan menikah dalam usia anak (Harian Kompas, 29 April 2018).
Ironisnya pada saat yang bersamaan Indonesia juga sejak tahun 2018 mempunyai masalah yang sama dengan negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Singapura, USA dan negara-negara di Eropah yaitu terjadinya penurunan angka perkawinan di kalangan anak muda.
Menurut data harian Kompas Kamis 7 Maret 2024 secara konsisten terjadinya penurunan angka perkawinan dengan tren minus 2.3% pada tahun 2019, minus 9.6% tahun 2020, minus 2.2% tahun 2021, minus 2.1% tahun 2022, Â dan minus 7.5% tahun 2023.