Sisa kopi hitam seperempat wadah tergeletak di atas meja makan. Ia harus rela menanti hingga usai acara lebaran kelak. Sepertinya sepanjang Ramadan ini, ia hanya akan menjadi pengangguran.
Istri saya sempat berpesan agar saya belanja buah-buahan dalam jumlah yang cukup sebagai persediaan makanan sahur dan buka puasa. Katanya kandungan buah-buahan bermanfaat untuk menjaga stamina dan kebugaran tubuh. Berdasarkan ulasan-ulasan yang pernah saya baca dan saya dengar, saya setuju dengan pendapat itu.
Masalahnya, siapa yang akan memilih-milih buah-buahan yang telah masak dan tidak gembur? Siapa pula yang harus mengupas mangga dan mencuci apel? Sedangkan keberadaan pisau dan kain lap pun entah di mana.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya meletakkan faktor kepraktisan sebagai unsur penting dalam menentukan jenis makanan dan minuman untuk berbuka puasa dan santap sahur. Buah-buahan tak kan sanggup memenuhi syarat yang saya ajukan.
Alhasil, roti menjadi salah satu pilihan yang logis. Tinggal lheb. Sebagai pelengkap, teh dan gula selalu tersedia di meja makan. Sesekali, boleh juga susu jahe yang asapnya mengepul. Tapi sumbernya sachetan juga.
Urusan sahur saya pun kelar dengan bahan-bahan bersahaja. Mereka hanya membutuhkan tambahan air panas untuk menjadikannya menu makan sahur yang "komplit". Sebuah dispenser yang teronggok manis di pojok ruang makan selalu siaga mengucurkan air panas kapan pun saya pinta.
Mudah-mudahan suatu saat nanti, saya bisa secara rutin bersantap sahur dan berbuka puasa dengan menu makanan dan minuman yang kandungan gizinya sesuai dengan kaidah kesehatan. Dan yang lebih penting, buka puasa dan makan sahurnya bersama keluarga tercinta.