Butir-butir hujan yang kurindukan, rupanya adalah air mata langit yang turut meratapi kepergianku. Hening. Hangat yang selalu kurasakan dari belalai lembut ibuku, kini terasa begitu pelan, kian berubah menjadi renungan duka. Suaranya yang riuh rendah, yang biasanya selalu menenangkanku, kini terdengar seperti ucapan selamat tinggal.
Aku, Tari, tahu ini perpisahan. Tapi, bukan berarti cerita ini harus berakhir. Ini justru permulaan. Dan aku titipkan padamu, sebuah bisik yang harus kalian teriakkan: bahwa kami ingin hidup, bahwa kami butuh tempat berpijak, bahwa punah bukanlah pilihan. Dengarlah.
Gugur Sebelum Berkumandang
Ini aku, Tari. Tepat dua tahun lalu—31 Agustus 2023—Ibuku, Lisa, menyambutku dengan sukacita di hutan Tesso Nilo yang rimbun. Mereka memanggilku bayi, harapan, gadis kecil atau sekadar nama yang manis, Kalistha Lestari—yang berarti ‘kecantikan yang abadi’. Aku tumbuh dengan langkah kecil yang gemetar, dibayangi Ibu dan kawanan kami. Di mataku, hutan adalah dunia: pepohonan yang tinggi menjulang, tanah yang lembap berlumut, jejak keluarga yang ku susuri setiap pagi.
Kehadiranku disebut simbol harapan, karena jumlah keluargaku, Gajah Sumatra, yang kian terancam. Aku masih ingat betapa ibuku selalu menempelkan belalainya ke tubuhku setiap kali aku terjatuh. Aku juga ingat saat berlari kecil bersama teman-temanku, merasakan tanah basah dan bau dedaunan yang menenangkan. Tapi perlahan tubuhku melemah. Napasku berat, kakiku tak lagi mampu menopang, dan perutku membengkak. Dan pada suatu pagi di Taman Nasional Tesso Nilo, aku tak lagi terbangun.
Lebih dari satu minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 September 2025, aku ditemukan dalam keadaan tak bernyawa oleh seorang mahout (pawang gajah). Tidak ditemukan bekas pukulan atau pun darah di tubuhku, hanya perut yang sedikit membengkak dan keheningan yang membungkam. Pemeriksaan tim dokter hewan lalu menunjuk pada satu musuh yang tak terlihat. Para manusia berbaju putih itu menyebutnya ‘virus EEHV’. Tetapi aku menyebutnya ‘pembunuh’. Sebab, dalam hitungan jam, nyawaku berhasil direnggut olehnya.
Pembunuh Senyap dari Dalam
EEHV—Elephant Endotheliotropic Herpes Virus—adalah pembunuh senyap yang mengintai bayi-bayi gajah seperti aku. Virus ini hidup laten dalam tubuh gajah dewasa tanpa gejala, tetapi bisa aktif dan mematikan bagi gajah muda berusia 1–8 tahun. Ia menyerang dari dalam, merusak pembuluh darahku, menyebabkan pendarahan internal masif yang berujung pada gagal organ. Yang paling mengerikan adalah kecepatannya. Dalam 12 hingga 72 jam sejak gejala muncul, nyawa seorang anak gajah bisa direnggut, bahkan jika sehari sebelumnya ia tampak ceria dan sehat. Tingkat kematiannya bahkan mencapai 80%—hanya dua dari sepuluh anak gajah yang berhasil selamat.
Gejala-gejalanya samar dan mudah terlewat. Di antaranya lesu dan kehilangan nafsu makan, pembengkakan pada wajah atau perut dan lidah yang membiru (sianosis) akibat kekurangan oksigen dalam darah. EEHV tidak memberi waktu bagi dokter hewan untuk bertindak. Bayi gajah sangat rentan terinfeksi karena sistem imunnya yang belum matang. Antibodi dari induk menurun di usia 1–2 tahun, tepat saat EEHV sangat mematikan. Deteksi dini cukup sulit untuk dilakukan: biaya tes PCR mahal dan tidak tersedia di semua wilayah konservasi. Pengobatan anti-virus dan transfusi plasma sering kali terlambat. Vaksin masih dalam tahap penelitian, dan harapan tertinggi adalah pencegahan melalui pemantauan kesehatan ketat.
Kematianku bukan yang pertama. Ini adalah daftar panjang yang memilukan. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada seekor anak gajah Asia berusia 16 bulan di Kebun Binatang Nasional di Washington, DC. Sementara di Riau, 2023 lalu, Damar dan Ryu—dua anak gajah seusiaku—juga jatuh karena serangan virus EEHV.
Mungkin kalian bertanya: “Virus? Bukankah ancaman terbesar gajah adalah perburuan liar atau konflik manusia?” Tidak salah, ancaman-ancaman itu nyata, tetapi ada juga musuh kecil yang tak kalah mematikan. EEHV menyerang dari dalam tubuh, dan anak-anak seperti aku tak punya cukup kekebalan untuk melawannya. Kudengar, para ahli mulai menyarankan pemeriksaan secara rutin, pemberian suplemen, dan perhatian ekstra pada anak gajah agar tragedi ini tak lagi berulang.
Angka dalam Statistik yang Murung
Kalian mungkin sudah mendengar angka tentang Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus). Populasi gajah di Sumatra diperkirakan masih 2.800-4.800 individu pada 1980-an. Kemudian, pada 2007, Departemen Kehutanan menyatakan, jumlahnya turun menjadi 2.400-2.800 individu. Hanya dalam 10 tahun, populasi merosot hingga 21,2%—setara kehilangan sekitar 700 individu. Sehingga pada tahun 2017, jumlahnya hanya berkisar antara 1.694-2.038 individu.
Dalam perhitungan terakhir pada 2019, populasi kami diprediksi hanya tertinggal 928-1.379 individu. Kami yang tersisa hidup di 23 kantong populasi yang tersebar di seluruh Sumatera, antara lain lima kantong di Aceh, masing-masing empat kantong di Riau dan Sumatra Selatan, serta masing-masing dua kantong di Jambi dan Lampung. Aku adalah satu dari angka itu yang masih bertahan. Tak pelak, Lembaga Konservasi Alam Internasional (IUCN) menetapkan kami sebagai salah satu satwa liar dengan status Critically Endangered, artinya tinggal selangkah lagi bagi Gajah Sumatra menuju kepunahan.
Hanya dalam empat dekade, kami kehilangan lebih dari 70% populasi. EEHV bukan hanya masalah di Indonesia. Virus ini telah membunuh puluhan anak gajah di seluruh dunia, termasuk di kebun binatang terkemuka. Di Indonesia, kasusnya sering tak terdokumentasi dengan baik dan kematian seperti yang ku alami adalah pukulan telak bagi kelangsungan spesies kami. Ini berarti akan semakin berkurangnya daya reproduksi, lebih sedikit harapan bagi regenerasi, dan semakin rapuhnya komunitas yang bergantung pada kehadiran kami.
Dari sudut pandangku, hidup ini sederhana: aku butuh makan, aku butuh ibuku, aku butuh jejak yang aman untuk berjalan. Namun manusia membagi dunia menjadi garis—hutan untuk mereka, ladang untuk mereka—dan kami kerap terseret ke pinggir. Kalian bahkan menganggap kami hama tanaman karena kami menyantap padi dan buah-buahan milik kalian. Tapi, bukankah sawah dan perkebunan yang kalian tanami, sejatinya adalah rumah kami?
Yang Menjaga Sisa Harapan
Meski begitu, tidak semua manusia menutup mata. Di Tesso Nilo ada pawang, dokter hewan, dan tim patroli yang siang-malam mengawasi, memantau, dan merawat kami. Mereka disebut “Flying Squad” atau tim penyelamat gajah yang bekerja tanpa banyak sorotan. Mereka selalu memberi kami vitamin, memeriksa darah, menjaga kebersihan lingkungan, dan berusaha untuk menangkal ancaman seperti penyakit. Dalam kematianku, para ahli dan konservasionis mengingatkan kepada publik tentang pentingnya deteksi dini dan penguatan sistem kesehatan satwa. Itu harapan nyata yang harus selalu kalian dukung.
Kalau aku bisa bicara lebih panjang lagi, aku ingin kalian untuk melakukan hal sederhana ini: bagikan artikel ini dengan tagar #SuaraUntukTari dan #SelamatkanGajahSumatra, dukunglah upaya tim Flying Squad Tesso Nilo atau organisasi seperti Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) atau WWF Indonesia yang setiap hari berjuang melindungi kami, dan ingat, pilih produk yang bersertifikat RSPO (sawit berkelanjutan). Tanyakan pada perusahaan, apakah mereka menjunjung tinggi zero deforestation? Karena itu semua berdampak pada rumah kami.
Kepada Kementerian LHK @ditjenksdae dan BBKSDA Riau, kami meminta komitmen yang lebih kuat untuk penelitian EEHV, penguatan koridor satwa, dan penegakan hukum terhadap perusakan habitat. Dunia memang sudah melihat kemajuan riset, namun jalan panjangnya masih butuh banyak tenaga dan dana.
Warisanku Bukan Duka
Aku menutup surat ini bukan untuk meminta belas kasihan, tapi untuk meminta ingatan. Jangan biarkan namaku menjadi sekadar headline yang cepat terlupakan. Jadikan aku alasan untuk bertindak—bukan hanya menaruh bunga di pemakaman berita, tetapi memberikan suara pada kebijakan yang melindungi habitat, mendukung tim patroli, dan mendanai penelitian penyakit satwa.
Kepada Ibu, terima kasih. Ibu adalah dunia pertama dan terakhirku. Aku akan selalu ingat aroma khas Ibu, yang selalu mengingatkanku pada rumah. Tolong jangan terlalu bersedih. Teruslah berjalan dengan kawanan, hidupilah namaku, Lestari. Aku titipkan juga salam untuk Domang, kakak yang selalu menemaniku bermain. Katakan padanya, ia harus terus menjaga para anggota keluarga dari bahaya.
Dengan laju kepunahan ini, para ahli memprediksi Gajah Sumatra bisa punah di alam liar dalam 10-20 tahun mendatang. Kematianku bukan sekadar duka, melainkan pengingat akan detak jam kepunahan yang terus berjalan. Tubuhku mungkin telah tiada, suaraku telah padam, tetapi pesanku yang kuserahkan kepada kalian—jangan sampai. Jiwaku kini menyatu dengan semesta, menjadi energi yang kuharap dapat menginspirasi kalian untuk menjaga kelestarian hutan dan satwa liar lainnya.
Bila kata 'harapan' pernah disematkan padaku, biarlah ia bertumbuh kembali melalui tindakan kalian: mendengarkan, bertindak, dan merawat rumah yang kita tinggali bersama. Pilihanku telah habis. Sekarang, pilihan ada di tangan kalian.
Jangan biarkan bisikku mati bersamaku. Jadilah suara yang tidak sempat kami miliki, biarkan namaku hidup lewat tindakanmu.
Sudikah kalian?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI