Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wabah Dunia

17 Oktober 2020   10:35 Diperbarui: 17 Oktober 2020   10:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gue bisa bantu apa?, gue harus gimana qil?.  Lo harus sembuh"

Aku runtuh. Aku terlalu emosional untuk bersikap tenang.

"Ngga, lo ngga harus ngapa-ngapain. Setidaknya gue udah lega lo tetep jadi temen gue meskipun lo tau gue yang sebenernya"

"gue yakin lu bisa, gue percaya kalo lo bakal berusaha keras buat itu" aku tersenyum meyakinkan.

"gue tau gue hebat, ngga usah kagum" kami lantas tertawa.

Ku teguk kembali cappucino late-ku yang tinggal setengah. Ruangan ini lengang. Semakin malam temperaturnya semakin dingin. Aroma kopi semakin dalam menusuk. Mungkin karena banyak penggemar Amerikano yang beraroma tajam itu mulai banyak singgah. Aku mengamati jalanan yang mulai lengang dari jendela bening lantai dua kafe favoritku ini.

Ingatan tentang percakapan itu seperti kaset radio yang diputar berulang. Aku sudah menemukanya. Pasien pertamaku. Orang terdekat. Ini semua sangat lucu bukan? Dan percayalah aku sempat beberapa kali insomnia karenanya. Sampai seorang senior berkata "bawa masalahmu dalam solat malam mu. Mungkin itu alasan Tuhan untuk dekat kepadamu. Biar Tuhanmu yang memberi jalan".

Seringkali kita terlalu memaksakan diri untuk mengubah takdir. Padahal tugas dokter adalah memberi obat. Sudah. Hanya sebatas itu. Kesembuhan adalah mutlak hak Allah. Bukankah "Allah akan menimpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan melindungi siapa saja yang Dia kehendaki". Seharusnya kita tenang dengan kalimat itu. Tugas kita hanya berusaha, biar Allah yang menentukan hasil.

Bagiku setiap perjalanan hidup adalah pelajaran. Dan aku banyak belajar optimisme dari sahabatku itu. Keterlibatanya dalam komunitas adalah cara dia untuk menyembuhkan diri sendiri juga orang lain. Aku kagum atas tekatnya menjadi obat walau sedang sekarat.

Andaikan setiap orang menyadari hal tersebut. Bahwa pandemi yang sangat berbahaya itu sedang subur berkembang. Maka jadilah salah satu orang yang memutus mata rantai tersebut.  Bumi kita mulai jengah atas setiap tindak tanduk kita. Begitupun alam kita yang sudah terlalu lelah dan geram melihat kemaksitan yang kita tebar dengan bangga. Semoga Allah tidak menghukum kita seperti hukuman atas kaum nabi luth karena keapatisan kita terhadap kemaksiatan.

Malam semakin larut. Kusudahi ritual minum kopiku dan segera pulang. Sudah hampir 3 jam aku menghabiskan waktu dengan pikiranku sendiri. Semoga apa yang kami lakukan menjadi penghalang datangnya azab Allah atas umat ini. Temaram lampu jalan menjadi teman yang asik di perjalanan. Ku cukupkan malam ini, semoga besok pagi semuanya baik-baik saja, Pandemi mengerikan itu segera usai dan tekendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun