Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wabah Dunia

17 Oktober 2020   10:35 Diperbarui: 17 Oktober 2020   10:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gue udah ngira kalo lo ngga bakal percaya sama gue" ucapnya putus asa. "terserah kalo setelah ini lo mau jauhin gue atau jijik sama gue, gue ngga peduli. Gue cuma butuh pendengar"

Aku menyendok seusap makananku lagi. Aku melakukkanya dengan sangat hati-hati. Kakiku bergetar hebat. Jantungku seakan merosot mendengar setiap kaliamat yang dia ucap. Yah, aku menyadari mereka ada dan nyata. Dan bukankah ini yang selalu kami bahas di komunitas? Kami akan berhadapan dengan hal ini dan kami harus terbiasa.

Komunitas sosial yang kami garap ini adalah bentuk keprihatinan kami terhadap fenomena seks bebas dan maraknya LGBT. Kasus ini terus berkembang semakin masif akhir-akhir ini. Apalagi dengan keberanian deklarasi secara terang-terangan kelompok LGBT di beberapa daerah di indonesia. Mereka seperti menegaskan bahwa keberadaan mereka bukan hal yang salah di dunia ini. Penyimpangan yang mereka alami adalah sebuah takdir Tuhan yang harus mereka syukuri. Bahkan malah mengkampanyekan untuk pengakuan publik tentang kaum mereka. Dan melegalkan segala bentuk hubungan yang mereka lakukan di ruang publik.

Ini sudah gila, maksudku hal ini tidak boleh terus berkembang. Penyebarannya sangat cepat dan tidak terkendali. Penanganannya pun tidaklah mudah. Analoginya seperti ini, Sesorang yang terjangkit sangat mungkin menularkan kepada orang lain. Tanpa rasa sakit seperti virus atau penyakit pada umumnya. Mereka cenderung bahagia saat melakukanya. Maka tidak menuntup kemungkinan bahwa yang awalnya adalah korban selanjutnya menjadi pelaku yang mencari korban baru dengan atau tanpa sadar. Dan akan terus seperti itu. Seperti lingkaran setan. Menegerikan bukan?

Komunitas kami mencoba melihat itu dengan pendekatan yang manusiawi. Pemutusan rantai itu sangat sulit dilakukan. Tapi apa salahnya mencoba. Kami mulai dengan menganalisis penyebab kemudian mencari solusi. Dan kau tahu? Penyebab utama yang yang mendorong keterbukaan mereka di khlayak umum adalah ketertindasan. Mereka merasa tertindas dan tidak mendapat hak-haknya sebagi manusia di ruang publik. Depresi itu akan memeperburuk keadaan dan tidak ada rasa untuk bangkit dan kembali normal. Oleh sebab itu kami berusaha menyembuhakan melalui pendekatan emosioanal. Menjadi teman bukan lawan. Berusaha menjadi pendengar. Berusaha memberi semangat untuk bangkit dan berusaha kembali. Yang mereka butuhkan adalah pelukan hangat, bukan kalimat hujat.

Aku sadar tentang hal itu. Bahwa kami harus berusaha menjadi sahabat para target. Menekan segala rasa tak nyaman yang mungkin hadir selama proses tersebut. Tapi kami baru memulai. Aku belum terbiasa. Dan apa ini? Pengakuan ini sungguh, Boom. Terlalu mengejutkan. Orang terdekat. Seorang sahabat. Aku benar-benar kacau sore itu.

Kutarik nafas panjang perlahan. Kami saling diam dan menyantap makanan kami masing-masing dalam beberapa detik. Jantungku terus memompa darah begitu cepat. Ah, aku bisa mati muda jika seperti ini. Mati-matian aku mencoba menenangkan diri dan berusaha bersikap normal dan biasa saja.

"Kalo lo jijik ngga papa, ngga usah temenan sama gue lagi. Gue berani cerita ke elu doang karena gue pikir lu cukup open minded dalam hal begini" ungkapnya dengan menatap kosong piring makananya.

"Sejak kapan?"

Pertanyaan apa itu. Aku tidak menyangka aku setenang itu. Semoga dia tidak melihat tumpukan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk mataku. Aku benar-benar jatuh dalam bifurkasi paling dalam.

"Gue juga ngga mau kaya gini key. Kita semua ngga mau kaya gini. Kita mau hidup normal. Dan gue juga lagi nyoba buat keluar tapi ngga gampang" tanganya bergetar hebat. Meskipun dia terus memaksakan untuk tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun