Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beneran Peduli atau Cuma Kepo

14 Juli 2020   14:29 Diperbarui: 14 Juli 2020   15:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

-Aku benci saat aku ingin tahu banyak urusan orang lain tanpa punya empati dan kemampuan untuk membantu-

Sebagai mahasiswa gue dituntut untuk selalu menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap semua hal. Bahkan salah seorang dosen gue pernah berkata "setidaknya setiap hari ada ilmu baru yang kalian pelajari". Rasa ingin tahu ini berbanding lurus dengan critical thinking. Semakin kritis seseorang, maka akan semakin ingin mengetahui banyak hal. 

Dalam banyak situasi, rasa ingin tahu menjadi hal yang positif dan sangat penting untuk ditumbuhkan. Pada proses pembelajaran misalnya, kegiatan bertanya menunjukkan adanya interaksi yang dinamis antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa.
Seperti sabda Rasul sholallahu 'alayh wasallam dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud yang artinya :

sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya

Pernah juga Abdullah ibn Abbas rodhiyallahu 'anhu suatu hari ditanya tentang rahasia kecerdasannya. Maka beliau menjawab yang artinya:

Dengan lidah yang senantiasa bertanya dan hati yang selalu berpikir.

Makanya tak heran banyak ditemukan riwayat tentang pertanyaan-pertanyaan sahabat ridhwanullahi 'alayhim kepada baginda nabi Muhammad sholallahu 'alayh wasallam. 

Misal amal apa yang paling baik, jika aku melakukan ini apakah akan begini, dan sebagainya. Yang melatar belakangi mereka adalah rasa  keingin tahuan terhadap suatu hal. Baik berupa masalah aqidah, ibadah, hari akhir dan sebagainya.

Rasa ingin tahu juga berfungsi untuk menguatkan hubungan sosial. Dengan mengetahui keadaan orang-orang, kita akan mampu menempatkan diri dengan mengaktifkan kemampuan empati sehingga bisa memberi bantuan jika dibutuhkan. Namun sesuatu yang berlebihan akan berakibat tidak baik. Termasuk juga rasa ingin tahu.

Rasa ingin tahu berlebih, biasa disebut kepo oleh masyarakat Indonesia. Yaitu singkatan dari Knowing every particular object, yang maknanya ingin tau secara mendetail. KEPO dapat mengganggu kejiwaan (psikologi) seseorang. Jika seseorang itu sudah terobsesi terhadap sesuatu sehingga mengganggu kegiatan sehari-harinya. Seperti melupakan waktu belajar, bekerja, makan, ibadah, dll.

Fenomena kepo menjadi semakin beragam dengan maraknya penggunaan media sosial sekarang ini. Dalam taraf normal, keingin tahuan kita mungkin hanya terhadap masalah orang-orang terdekat dengan tujuan untuk membantu. Namun tidak jarang justru membuat kita tenggelam dalam aktivitas stalking yang berlebihan bahkan terhadap orang yang sama sekali tidak kita kenal.

Psikolog, M. Farouk Radwan. Msc, menyebutkan, rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain ini muncul karena kebiasaan suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Maka jika kepo sudah mencapai tingkat yang parah akan berakibat pada FoMO.

FoMO singkatan dari Fear of Missing Out. Sindrom FoMO ini bisa terjadi ketika kita sedang asik bermain dengan situs jejaring sosial, dan orang-orang atau teman-teman kita sedang asik membicarakan sesuatu.

Akhirnya kita merasa sedih atau takut ketika ternyata ketinggalan informasi tersebut meski informasi itu tidak penting. Sejak dari situ kita  mulai gila informasi, terutama yang berhubungan dengan pengalaman orang lain.

Menurut ketua tim peneliti, psikolog Dr. Andy Przybylski, FoMO sendiri sebenarnya bukanlah hal baru."Yang baru adalah peningkatan penggunaan media social. Hal itu menawarkan semacam jendela baru untuk melongok ke dalam kehidupan orang lain. Tapi bagi orang yang memiliki kadar FoMO tinggi hal ini bisa menimbulkan masalah. Karena mereka cenderung selalu mengecek akun media sosialnya. Mereka melihat apa saja yang dilakukan teman-teman mereka hingga mereka rela mengabaikan aktivitasnya sendiri." Katanya.

Kalau sudah begini, kita sendirilah yang dituntut bijak dalam menggunakan media sosial kita. Kondisi psikis kita harus tetap sehat dengan cara mengkonsumsi hal-hal yang kita butuhaan dalam kadar yang tepat. Tidak kurang dan juga tidak berlebihan.

Bahkan seringkali ada ungkapan "lu emang beneran peduli atau cuma kepo?". Dari pengamatan gue, hal ini berkaitan dengan pengaruh media sosial di masa pandemi ini. Aktivitas yang minim membuat kita tidak lepas dari penggunaan medsos. Untuk benar-benar kebutuhan atau sekedar melihat aktivitas orang lain dari fitur "status/story". Sebenarnya tidak salah jika kemudian rasa kepo kita muncul. Baik untuk benar-benar peduli terhadap keadan seseorang atau hanya sekedar ingin tahu lebih dalam. Maka menurut gue, kalo lu ngga siap buat dikepoin, jangan mancing buat dikepoin.

Mengunggah status/story bisa diartikan dengan menunjukkan aktivitas kita. Baik fisik, otak, hati atau apapun. Jadi jika kita menulis "aku sedih" di status, jangan marah jika ada orang yang kemudian kepo terhadap diri kita lebih jauh. 

Sayangnya kadang kita, khususnya gue. Sering ingin tahu banyak hal tentang urusan orang lain tanpa punya rasa empati atau kemampuan untuk membantu. Menyedihkan bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun