Mohon tunggu...
Lia Fitri Auliah
Lia Fitri Auliah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Mahasiswi di Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ujaran Kebencian Pasca Tayang Film Dokumentasi "Sexy Killers" di Media Sosial

19 Mei 2019   13:30 Diperbarui: 19 Mei 2019   13:35 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penyebarluasan suatu informasi, sebelumnya akan ditindak lanjuti oleh suatu kebijakan yang dinamakan dengan kebijakan informasi dimana kebijakan ini menaungi segala informasi yang disebarluaskan oleh masyarakat melalui berbagai media. Baik itu cetak maupun digital. Agar bisa terkendali dan dapat terhindar dari berbagai persoalan. Menurut Braman (2006) dalam karyanya yang berjudul: The Micro-and macroeconomics of information yang mencoba untuk memahami empat sudut pandang informasi yang akan diberi kebijakan yaitu: informasi sebagai sumber daya (as a resources); informasi sebagai komoditi (as a commodity); informasi sebagai persepsi (as a perception of pattern); informasi sebagai kekuatan sosial (as a social force).

Berlakunya kebijakan informasi tergantung dengan sudut pandang tersebut. Kebijakan informasi berfungsi untuk memperoleh nilai kebergunaan informasi yang dikelola secara strategis yang ditentukan oleh tenggungjawab dan motivasi pembuat kebijakan yang ditentukan juga oleh faktor nilai ekonomi sumber daya informasi, keinginan pembuat informasi dan kecakapan pemangku kepentingan dalam men-share sebuah informasi di media sosial. Kebijakan informasi juga memberi asumsi bahwa informasi merupakan sumber daya yang harus dialokasikan, diatur, dan digunakan oleh para pemangku kepentingan atau stakeholders (Prijana, 2017). 

Dalam kehidupan sosial, kebijakan informasi merupakan suatu hukum, peraturan, dan pengambilan keputusan pembuatan dan praktik yang memiliki efek konstitutif kepada masyarakat yang melibatkan penciptaan, pengolahan, arus, akses dan penggunaan informasi (Hidayat & Prijana, 2018). Kebijakan informasi juga mencakup didalamnya yaitu isu-isu yang berkaitan dengan isi informasi seperti akses, hak cipta, privasi, informasi publik dan lain sebagainya. (Utami & Sinaga, 2018)

Hadirnya kebijakan dalam informasi, tentunya untuk menghindari berbagai persoalan. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak terjadi persoalan tentang informasi yang tersebar di media sosial, salah satunya yang sedang booming yaitu kebebasan dalam menyampaikan hujatan atau kebencian terhadap seseorang yang lumrah disebut dengan "ujaran kebencian/hate speech". Hal ini, disebabkan atas terbukanya sistem penyebarluasan dalam memberikan informasi di media sosial. Sehingga, para pengguna bebas untuk melakukan hal ini.

Ujaran kebencian ialah ujaran yang berbentuk tulisan, tindakan atau pertunjukkan yang ditujukan untuk menghasut kekerasan dan prasangka terhadap seseorang atas dasar karakteristik kelompok tertentu dianggap sebagai wakil, seperti kelompok ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama, dan lain-lain. Dalam kasus ujaran kebencian yang terjadi di Indonesia, yang merupakan korban atas hal ini kebanyakan ialah penguasa termasuk presiden. Menurut Dandhy Laksono dalam sebuah artikel dipaparkan bahwa masyarakat memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap bersikap kritis dan mengumbar kebencian terhadap informasi yang dipublikasikan di media sosial (Imaduddin, 2018)

Ujaran kebencian ini ada di Indonesia karena adanya hak dalam kebebasan berpendapat. Sehingga, masyarakat dari kalangan apapun bisa menghujat pihak-pihak tertentu dan atas dasar identitas kelompok. Dalam Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 pasal 28 ayat 2 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang melarang bahwa "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)". (Institute For Criminal Justice Reform, 2017)

Banyak sekali kasus-kasus yang tersebar di media sosial tentang hal ini, dari berbagai kalangan baik itu, pejabat, artis, guru bahkan rakyat biasa. Hal ini menjadi topik pembahasan yang menarik di media sosial. Seperti halnya, pada tahun ini yang terjadi berbagai insiden untuk melakukan pemilihan umum terhadap presiden yang ada di Indonesia. Banyak sekali berbagai pihak yang mengungkapkan argumennya terhadap kedua pasangan calon tersebut. Dalam artikel ini, penulis akan mengangkat salah satu kasus ujaran kebencian (hate speech) yang disangkutpautkan dengan kejadian tersebut.

Salah satunya kasus sebuah film dokumenter yang membuat kontroversi ketika terjadinya pemilu di Indonesia. Film dokumenter  tersebut yang ber berjudul "Sexy Killers" merupakan sebuah karya film dari WatchDoc, yang merupakan hasil ekspedisi Indonensia Biru yang dilakukan oleh Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz sejak tahun 2015 dan ditayangkan pada tahun 2019 ini, tepatnya pada tanggal 5 April 2019 film dokumenter ini diputar sesuai inisiatif para penonton dan menyebar keseluruh masyarakat yang ada di  Indonesia. 

Film dokumenter tersebut menuai banyak komentar positif dan negatif setelah penayangan dari masyarakat. Film dokumenter "Sexy Killers" ini mengangkat tema konflik sumber daya lingkungan yang ada di Indonesia. Khususnya seputar penambangan batu bara untuk pembangunan PLTU dan diawali dengan cuplikan yang yang menggambarkan para politisi yang  sedang melakukan bulan madu tanpa akhir dengan pengusaha tambang untuk menghasilkan keuntungan di negara Indonesia. Hal ini menggambarkan, betapa killernya para politisi dan para pengusaha pertambangan untuk terus mengeksploitasi sumber daya yang ada, serta mengabaikan aspirasi rakyat untuk hidup lebih sejahtera. Hal ini, termasuk pelanggaran dalam kebijakan publik yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Setelah penanyangan di Youtube, film dokumenter "Sexy Killers" ini, mengundang keributan diantara masyarakat termasuk para aparat negara yang terlibat menyerang dan menyebut film ini merupakan suatu propaganda untuk golput dan ada juga yang menganggap bahwa dengan membuat film ini tidak ada kerjaan. Hal itu terjadi, kerena film "Sexy Killers" ini dirilis pada waktu tenang pemilu 2019. 

Sungguh ironisnya keadaan masyarakat yang terbelenggu oleh polarisasi politik ini. Padahal film dokumenter "Sexy Killers" ini mengungkapkan keberpihakannya terhadap pihak-pihak yang dirugikan dan dijauhi dari sorotan media atas sumber daya yang ada di lingkungannya yang secara terus-menerus diambil oleh para politisi dan para pengusaha batu bara yang tidak pernah ditayangkan dampak yang terjadi kepada masyarakat akan hal tersebut dan untuk meredam ketegangan para pendukung kedua kubu pasangan calon presiden Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun