Mohon tunggu...
Lia Fitri Auliah
Lia Fitri Auliah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Mahasiswi di Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ujaran Kebencian Pasca Tayang Film Dokumentasi "Sexy Killers" di Media Sosial

19 Mei 2019   13:30 Diperbarui: 19 Mei 2019   13:35 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PENDAHULUAN

Pada saat ini, perkembangan teknologi semakin pesat dengan adanya akulturasi budaya yang menyebabkan masyarakat mengalami pergesaran kebudayaan, etika bahkan norma yang telah dianut sebelumnya. Salah satunya, telah lahir media sosial yang dapat mempermudah kegiatan masyarakat. Media sosial dikenal oleh semua kalangan masyarakat. Hal ini dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dipublik lewat media sosial tersebut. 

Dinamika ini membuat masyarakat menjadi bebas dalam mengekspresikan berbagai hal yang ingin didapat dan disampaikan di media sosial dimanapun dan kapanpun. Pengertian media sosial itu sendiri merupakan sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Media sosial memiliki dampak yang sangat besar bagi kelangsungan masyarakat saat ini. Seseorang yang awalnya "kecil" setelah kenal dengan media sosial menjadi "besar", begitu pula sebaliknya. (Rustian, 2012)

Media sosial memiliki ciri-ciri yang identik yaitu pesan tidak hanya bisa disampaikan untuk satu orang saja, melainkan bisa dikirimkan ke orang banyak atau di-share, pesan juga disampaikan secara bebas, untuk menentukan waktu berinteraksi tergantung penerima pesan yang dikirimkan dan media sosial lebih cenderung cepat dalam menyampaikan pesan untuk dipublikasikan darpada media lainnya. Para pengguna media sosial atau user ini bisa menyampaikan pesan dalam berbagai bentuk, seperti bisa dengan teks, gambar, audio, hingga video untuk membangun jaringan atau networking bersama yang lainnya. Media sosial berperan sebagai alat untuk membangun suatu relasi antar sesama secara global dan menjadi sistem untuk menerima dan memberi suatu informasi yang mencakup segala bidang (Arif, 2019). 

Adanya media sosial saat ini, tentu sebelumnya telah memiliki kebijakan dalam pengelolaannya. Khususnya, dalam mengelola informasi yang disebarluaskan diberbagai media sosial. Media sosial bersifat terbuka dan tidak terbatas. Sehingga, informasi yang tersebar sangat beragam dan menjadi overload susah untuk menentukan keputusan benar dan salahnya. Bahkan dengan terjadinya hal ini, menyebabkan pengguna media sosial kebingungan untuk mendapatkan informasi yang benar dan kredibel.

Menurut survei oleh Roger Bohn & James Short (2008) dari Universitas California tentang penggunaan informasi yang ada di Amerika seperti apa. Hasilnya ialah hampir 11,8 jam/hari masyarakat Amerika mengkonsumsi informasi; 60%mengkonsumsi informasi di televisi dan radio; dan 40% di depan komputer dan video games. (Prijana, 2017)

Nilai informasi Secara etimologis bahwa nilai informasi itu ialah terdiri dari dua kata yaitu "nilai"dan "informasi". Kata "nilai" memiliki arti yaitu sesuatu yang melekat atau mendasari. Sedangkan kata " informasi" merupakan suatu kumpulan data yang telah diolah dan telah memiliki makna tersendiri agar tidak menimbulkan multitafsir atau ambiguitas. Informasi dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan informasi ialah sebagai berikut ini.

"Keterangan, pernyataan, gagasan, serta tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi serta komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik".

Masyarakat sebagai pengguna ingin mendapatkan informasi yang akurat, informasi harus sesuai dengan kenyataan dan dapat dibuktikan kebenarannya. Sebagaimana menurut Buckland, Informasi berperan untuk menyampaikan sesuatu yang dirasakan, pengetahuan yang dikomunikasikan dan informasi ialah objek yang mencakup data dan dokumen yang dapat memberikan informasi. (Sri Ati, 2014)

Secara terminologis atau istilah, nilai informasi ialah sesuatu yang melekat pada kumpulan data yang telah diolah dan yang telah memiliki makna agar memberi kemanfaatan yang diperoleh agar lebih berharga dibandingkan dengan usaha baik itu biaya untuk mendapatkannya. Menurut Gordon B. Davis, nilai informasi dikatakan sempurna apabila terdapat perbedaan antara kebijakan optimal, tanpa informasi yang sempurna dan kebijakan optimal menggunakan informasi yang sempurna tidak dapat dinyatakan dengan jelas.

Dalam sebuah penelusuran informasi, tentunya harus menentukan informasi yang berkualitas untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan, sebagai pengetahuan yang akan didapatkan. Informasi harus memiliki suatu nilai agar dikategorikan sebagai informasi yang berkualitas. Keefektifan dan ketepatan dalam memperoleh suatu informasi akan memberikan manfaat bagi orang lain. Dikatakan bahwa suatu informasi itu memiliki nilai, ketika manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan dan juga cost benefit. 

Penyebarluasan suatu informasi, sebelumnya akan ditindak lanjuti oleh suatu kebijakan yang dinamakan dengan kebijakan informasi dimana kebijakan ini menaungi segala informasi yang disebarluaskan oleh masyarakat melalui berbagai media. Baik itu cetak maupun digital. Agar bisa terkendali dan dapat terhindar dari berbagai persoalan. Menurut Braman (2006) dalam karyanya yang berjudul: The Micro-and macroeconomics of information yang mencoba untuk memahami empat sudut pandang informasi yang akan diberi kebijakan yaitu: informasi sebagai sumber daya (as a resources); informasi sebagai komoditi (as a commodity); informasi sebagai persepsi (as a perception of pattern); informasi sebagai kekuatan sosial (as a social force).

Berlakunya kebijakan informasi tergantung dengan sudut pandang tersebut. Kebijakan informasi berfungsi untuk memperoleh nilai kebergunaan informasi yang dikelola secara strategis yang ditentukan oleh tenggungjawab dan motivasi pembuat kebijakan yang ditentukan juga oleh faktor nilai ekonomi sumber daya informasi, keinginan pembuat informasi dan kecakapan pemangku kepentingan dalam men-share sebuah informasi di media sosial. Kebijakan informasi juga memberi asumsi bahwa informasi merupakan sumber daya yang harus dialokasikan, diatur, dan digunakan oleh para pemangku kepentingan atau stakeholders (Prijana, 2017). 

Dalam kehidupan sosial, kebijakan informasi merupakan suatu hukum, peraturan, dan pengambilan keputusan pembuatan dan praktik yang memiliki efek konstitutif kepada masyarakat yang melibatkan penciptaan, pengolahan, arus, akses dan penggunaan informasi (Hidayat & Prijana, 2018). Kebijakan informasi juga mencakup didalamnya yaitu isu-isu yang berkaitan dengan isi informasi seperti akses, hak cipta, privasi, informasi publik dan lain sebagainya. (Utami & Sinaga, 2018)

Hadirnya kebijakan dalam informasi, tentunya untuk menghindari berbagai persoalan. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak terjadi persoalan tentang informasi yang tersebar di media sosial, salah satunya yang sedang booming yaitu kebebasan dalam menyampaikan hujatan atau kebencian terhadap seseorang yang lumrah disebut dengan "ujaran kebencian/hate speech". Hal ini, disebabkan atas terbukanya sistem penyebarluasan dalam memberikan informasi di media sosial. Sehingga, para pengguna bebas untuk melakukan hal ini.

Ujaran kebencian ialah ujaran yang berbentuk tulisan, tindakan atau pertunjukkan yang ditujukan untuk menghasut kekerasan dan prasangka terhadap seseorang atas dasar karakteristik kelompok tertentu dianggap sebagai wakil, seperti kelompok ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama, dan lain-lain. Dalam kasus ujaran kebencian yang terjadi di Indonesia, yang merupakan korban atas hal ini kebanyakan ialah penguasa termasuk presiden. Menurut Dandhy Laksono dalam sebuah artikel dipaparkan bahwa masyarakat memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap bersikap kritis dan mengumbar kebencian terhadap informasi yang dipublikasikan di media sosial (Imaduddin, 2018)

Ujaran kebencian ini ada di Indonesia karena adanya hak dalam kebebasan berpendapat. Sehingga, masyarakat dari kalangan apapun bisa menghujat pihak-pihak tertentu dan atas dasar identitas kelompok. Dalam Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 pasal 28 ayat 2 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang melarang bahwa "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)". (Institute For Criminal Justice Reform, 2017)

Banyak sekali kasus-kasus yang tersebar di media sosial tentang hal ini, dari berbagai kalangan baik itu, pejabat, artis, guru bahkan rakyat biasa. Hal ini menjadi topik pembahasan yang menarik di media sosial. Seperti halnya, pada tahun ini yang terjadi berbagai insiden untuk melakukan pemilihan umum terhadap presiden yang ada di Indonesia. Banyak sekali berbagai pihak yang mengungkapkan argumennya terhadap kedua pasangan calon tersebut. Dalam artikel ini, penulis akan mengangkat salah satu kasus ujaran kebencian (hate speech) yang disangkutpautkan dengan kejadian tersebut.

Salah satunya kasus sebuah film dokumenter yang membuat kontroversi ketika terjadinya pemilu di Indonesia. Film dokumenter  tersebut yang ber berjudul "Sexy Killers" merupakan sebuah karya film dari WatchDoc, yang merupakan hasil ekspedisi Indonensia Biru yang dilakukan oleh Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz sejak tahun 2015 dan ditayangkan pada tahun 2019 ini, tepatnya pada tanggal 5 April 2019 film dokumenter ini diputar sesuai inisiatif para penonton dan menyebar keseluruh masyarakat yang ada di  Indonesia. 

Film dokumenter tersebut menuai banyak komentar positif dan negatif setelah penayangan dari masyarakat. Film dokumenter "Sexy Killers" ini mengangkat tema konflik sumber daya lingkungan yang ada di Indonesia. Khususnya seputar penambangan batu bara untuk pembangunan PLTU dan diawali dengan cuplikan yang yang menggambarkan para politisi yang  sedang melakukan bulan madu tanpa akhir dengan pengusaha tambang untuk menghasilkan keuntungan di negara Indonesia. Hal ini menggambarkan, betapa killernya para politisi dan para pengusaha pertambangan untuk terus mengeksploitasi sumber daya yang ada, serta mengabaikan aspirasi rakyat untuk hidup lebih sejahtera. Hal ini, termasuk pelanggaran dalam kebijakan publik yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Setelah penanyangan di Youtube, film dokumenter "Sexy Killers" ini, mengundang keributan diantara masyarakat termasuk para aparat negara yang terlibat menyerang dan menyebut film ini merupakan suatu propaganda untuk golput dan ada juga yang menganggap bahwa dengan membuat film ini tidak ada kerjaan. Hal itu terjadi, kerena film "Sexy Killers" ini dirilis pada waktu tenang pemilu 2019. 

Sungguh ironisnya keadaan masyarakat yang terbelenggu oleh polarisasi politik ini. Padahal film dokumenter "Sexy Killers" ini mengungkapkan keberpihakannya terhadap pihak-pihak yang dirugikan dan dijauhi dari sorotan media atas sumber daya yang ada di lingkungannya yang secara terus-menerus diambil oleh para politisi dan para pengusaha batu bara yang tidak pernah ditayangkan dampak yang terjadi kepada masyarakat akan hal tersebut dan untuk meredam ketegangan para pendukung kedua kubu pasangan calon presiden Indonesia.

Kajian tentang isu ini ternyata, data-data yang menjadi konten film ini, sebenarnya telah disajikan pada awal tahun 2019 yaitu pada Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), yang memetakan jejaring oligarki batu bara dibalik dua kubu pasangan calon presiden tersebut, yang di dalam  film dokumenter ini disajikan dengan diagram rumit berisikan silang-sengkarut relasi pengusaha dan politisi dan tibal balik atas kepentingan bisnisnya. (Redaksi Sorge, 2019) 

Hasilnya ialah dengan adanya film dokumenter ini menjadi bagian pelengkap dari media massa yang telah menayangkan topik pembangunan PLTU yang tidak secara keseluruhan untuk memberitahukan kepada masyarakat apa yang telah sebenarnya terjadi. Jika film dokumenter ini terbukti sebagai propaganda golput, itu hal yang tidak rasional. Karena, pada saat kedua kubu paslon mengadakan debat yaitu untuk memberikan solusi atas tentang 8 juta hektar lubang bekas galian tambang yang tidak direklamasi sehingga menimbulkan dampak yang buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar yang ada disana. 

Kedua pasangan calon tersebut hanya memberikan jawaban yang normatif dan tidak memuaskan dalam memberikan solusi. Sehingga, membuktikan bahwa timses dan buzzer mengakui bahwa kubunya terlibat dalam hal tersebut dan film dokumenter "Sexy Killers" ini hanya sebagai sebuah film dokumenter sejarah dan upaya untuk mendidik masyarakat agar tidak salah mengambil keputusan, seperti keputusan dalam memiliki seorang pemimpin dan mengupas nasib masyarakat yang ada disekitar penambangan batu bara tersebut yang diabaikan oleh pemerintah. Maka akan memberikan referensi kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon yang paling sedikit bobroknya dalam melakukan ekspoitasi sumber daya tersebut.

Jadi, ujaran kebencian yang dilontarkan kepada film "Sexy Killers" merupakan salah satu pelanggaran dalam menggunakan media sosial secara bijak.  film dokumentaer ini, bukan sebagai propaganda golput belaka atau pun kurang kerjaan seperti yang telah terpublikasikan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan adanya penayangan film ini.

Walaupun sutradara telah mengakui bahwa filmnya ini bersangkutan dengan ranah politik di dalam suatu diskusi publik di Cilandak, Jakarta Selatan "Ya memang produk politik, ini film politik dalam artian, bukan politik elektroral, dukung mendukung, jadi kalau disebut ini film politik, ya ini film politik" ujar Dandhy Laksono. "ada pembuat kebijakan yang saya sebut di situ ada public policy yang kita diskusikan, ada kebijakan publik, penegakan hukum, soal public health issue itu semua politik" sambungnya lagi. (Hawari, 2019)

Isu ujaran kebencian pasca tayang film "Sexy Killers" ini menjadi sebagai peringatan untuk media sosial yang telah memiliki kebijakan yang didalamnya membahas kebijakan di dalam sebuah informasi yang disebarluaskan di media sosial yang harus diperhatikan kembali keabsahannya agar tidak menimbulkan banyak persoalan dan juga perdebatan terhadap suatu informasi yang beredar di media sosial, dan jangan mudah terprovokasi oleh sebgaian pihak. Untuk para pengguna, seyogianya dengan memanfaatkan hak untuk bebas mengutarakan pendapat, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu informasi yang dipublikasikan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konsekuensi hukum kebijakan yang telah berlaku. 

PENUTUP

Telah diketahui bahwa adanya ujaran kebencian di media sosial merupakan suatu hal yang tidak baik untuk dijadikan sebagai langkah klaim kebenaran. Ujaran kebencian akan terjadi jika suatu informasi yang didapat tidak dapat menguntungkan bagi seseorang. Hal tersebut, diawali dengan rasa tidak senang, merasa terganggu dan dendam. Seperti ujaran kebencian pasca tayang film dokumenter "Sexy killers" yang dilakukan oleh sebagian pihak yang merasa terganggu. Kebijakan informasi berperan penuh untuk mengatur persoalan yang terjadi dalam isu ini untuk meluruskan kembali kebenarannya. 

DAFTAR PUSTAKA

Arif, A. Y. (2019). Pengertian: Medsos adalah: Ciri, Peran, Jenis, Dan Fungsinya: https://rocketmanajemen.com. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.

Hawari, H. (2019). Sutradara Akui Ada Unsur Politik di Dokumentasi "Sexy killers": https://m.detik.com. Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Hidayat, G. P., & Prijana. (2018). Pengertian Kebijakan Informasi. Dalam D. Sinaga, & Prijana, Kebijakan Informasi (hal. 1-7). Bandung: CV Pustaka Utama Bandung. Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Imaduddin, F. (2018). Diambil kembali dari Ujaran Kebencian: www.remotivi.or.id. Diakses pada tanggal 12 Mei 2019.

Institute For Criminal Justice Reform. (2017, Januari). Tren Penggunaan Pasal 28 ayat (2) ITE Terkait Penyebar Kebencian Berbasis SARA Akan Meningkat. Diambil kembali dari https://icjr.or.id/tren-penggunaan-pasal-28-ayat-2-ite-terkait-penyebar-kebencian-berbasis-sara-akan-meningkat. Diakses pada tanggal 12 Mei 2019.

Prijana. (2017). Informasi Hoax dan Cyber Bullying. Bandung: Unpad Press. Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Redaksi Sorge. (2019). Diambil kembali dari Ramai-Ramai Membunuh "Sexy Killers": www.sorgemagrz.com/ramai-ramai-membunuh-sexy-killers/. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.

Rustian, R. S. (2012). Apa itu sosial media?: https://www.unpas.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019

Sri Ati, N. K. (2014). Pengantar Konsep Informasi, Data, dan Pengetahuan. repository.ut.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Utami, G. H., & Sinaga, D. (2018). Kebijakan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia. Dalam D. S. Prijana, Kebijakan Informasi (hal. 32). Bandung: CV Pustaka Utama Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun