Mohon tunggu...
Lia Kurniawati
Lia Kurniawati Mohon Tunggu... Dosen - Realistis dan No Drama

Author - Founder Manajemen Emosi & Pikiran (MEP) Dosen Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen : Penyesalan Tak Berujung

8 Juli 2015   13:17 Diperbarui: 9 Juli 2015   15:12 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mentari pagi berkilau keemasan menyelusup memaksa masuk kamarku melalui sela-sela genteng kaca, menembus dinding putih,  memantulkannya ke cermin kaca lemari membuat mataku silau karenanya. Udara dingin terasa menusuk tulang, suara “tongeret”  bernada seirama pertanda awal masuknya musim kemarau. Kucoba membuka mataku yang masih terasa lengket, tiba-tiba terdengar suara di balik pintu luar …

“Setengah tujuh Nak!”

“Kamu sekolah jam berapa?” teriak ibuku dari luar kamar.

 Ku beranjak bangun dari tempat tidur dengan menangkup bantal kapuk bersarung bunga bakung berwarna ungu,  seraya melirik jam di dinding jarum pendek mengarah ke angka setengah 7 namun jarum panjangnya mengarah ke angka 3.

“ah ibu bohong!  masih jam enem ko dibilang setengah 7 .. “ gumamku sedikit kesal.

Ku seret perlahan membuka daun pintu itu, langkah kaki terasa gontay menuju ruang makan. Masih merasakan remuk redam pegal dan linu di sekujur tubuh  setelah seminggu lamanya mengikuti basis  Paskibra di lapangan kantor walikota Bandung sampai menjelang malam hari. Tubuhku terbilang tinggi dengan tinggi 170 Cm, hingga kuterpilih mewakili sekolah untuk mengikuti Pasukan Pengibar Bendera Tingkat Kota,  jelang upacara kemerdekaan RI  pertengahan Juli tahun 96 silam.

“hari ini libur mah … “ ku mulai membuka obrolan pagi itu seraya menarik kursi makan.

“ke air dulu sana … tuh ada surat dari Arman 3 hari yang lalu mama simpan di atas meja belajarmu”   tambah ibu.

Mendengar itu,  sontak syaraf-syaraf telingaku yang  terkoneksi otak,  mendadak denyut jantung memompa kencang membuat aliran darahku mendadak lancar memecah kebekuan sekujur tubuh tak seperti sebelumnya,  hingga hormon endhorphinku terlepas  sejurus kemudian membuat hatiku terasa senang.

Bergegas kembali  menuju kamar, segera ku arahkan mata ke sudut ruang tepat dimana meja belajarku diam membisu, dan benar tergeletak sepucuk surat berwarna putih berbingkai belang-belang merah biru. Agak tebal terasa saat ku raih amplop itu dan tak sabar segera ku buka,

“ssttt … “ kurobek sudut amplop itu dengan segera penuh kehati-hatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun