Jakarta, 30 April 2025 -- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyerukan kepada pemerintah Indonesia, yang dinahkodai oleh Presiden Prabowo untuk segera mengevaluasi dan menghentikan proyek Rempang Eco City. Hal ini disampaikan setelah tim LHKP PP Muhammadiyah bersama dengan Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah, serta Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau selesai mengunjungi dan berkegiatan bersama masyarakat tempatan yang terdampak oleh proyek tersebut.
Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, David Efendi menegaskan bahwa dalam Proyek Rempang Eco City tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat tempatan yang ada di 16 kampung tua, khususnya di lima kampung tua yang kini menjadi prioritas Pemerintah.[1] "Sebaliknya, Pemerintah sangat-sangat terlihat memberikan kepastian hukum kepada investor, dalam hal ini PT Makmur Elok Graha (PT MEG) yang dimiliki oleh Tomy Winata," ungkapnya di sela kegiatan bersama Tim Bidang Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin. Trisno Raharjo, Ketua MHH PP Muhammadiyah, juga memberikan penekanan jika PSN Rempang Eco City tidak lagi masuk di RPJMN, seharusnya tegas saja bahwa PSN Tersebut telah dicabut.
Rempang Eco City merupakan salah satu hasil kunjungan Joko Widodo, sewaktu menjabat Presiden, ke Cina. Xinyi Group, sebuah Perusahaan Cina, akan menanamkan modal di Pulau Rempang untuk pembangunan pabrik kaca, yang membutuhkan pasir kuarsa dari laut di Kepulauan Riau. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Kota Batam, BP Batam, dan PT MEG melakukan kerja sama untuk mempercepat proses pembangunannya.[2] "Inilah cikal bakal konflik di Pulau Rempang yang sampai saat ini tidak berakhir," tambah Parid Ridwanuddin.
Selama bertemu dengan masyarakat tempatan, Tim PP Muhammadiyah bersama WALHI Riau menemukan pola baru yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan proyek Rempang Eco City, yaitu program transmigrasi lokal yang  digalakkan oleh Pemerintah, khususnya oleh Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara. Transmigrasi lokal merupakan skema baru pengusiran masyarakat tempatan yang terselubung. Dalam sejumlah berita Pemerintah mengklaim bahwa sebanyak 80 warga telah mendaftar untuk berpindah dari kampung mereka sebelumnya ke lokasi yang disediakan oleh pemerintah, yaitu Tanjung Banon.[1]
Merespon temuan ini, berdasarkan berbagai temuan, Tim PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa warga yang memutuskan untuk pindah merupakan bukan orang asli Pulau Rempang yang terdiri dari perantau, aparatur sipil negara (ASN), pendatang, serta orang yang tidak memiliki tanah di kampung yang terdampak proyek rempang Eco City.
LHKP PP Muhammadiyah menilai bahwa penggunaan istilah transmigrasi lokal merupakan politik bahasa pemerintah yang mengaburkan persoalan yang sebenarnya terjadi di Pulau Rempang, dimana penggusuran mengancam masyarakat tempatan kapan saja. "Oleh karena itu, penggunaan istilah transmigrasi lokal seyogyanya dihentikan karena itu hanyalah narasi yang menyembunyikan kekerasan politik di dalamnya," ungkap David di sela-sela kegiatan Al Maun Goes To Village di Rempang selama beberapa hari yang mendapat dukungan dari Lazismu PP Muhammadiyah untuk kegiatan solidaritas kemanusiaan.
Ancam Sumber-Sumber Pangan LokalÂ
Sementara itu, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli menjelaskan bahwa proyek Rempang Eco City sedang mengancam sumber-sumber pangan lokal yang selama ini menghidupi Masyarakat tempatan. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam mencatat pada tahun 2023, Pulau Rempang yang masuk administrasi Kecamatan Galang merupakan produsen pangan, terutama buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman obat. Tak hanya itu, Kecamatan Galang juga merupakan produsen pangan laut yang sangat penting. Berikut adalah Komoditas sayur, buah, dan tanaman obat yang diolah dari data BPS Kota Batam Tahun 2023.