Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Arem-arem dari Sisa Makanan Natal dan Tahun Baru

26 Desember 2020   19:01 Diperbarui: 26 Desember 2020   21:30 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Arem-arem (Selerasa.com)

Penelitian ini sebetulnya telah direncanakan sejak tahun yang lalu. Diawali dengan kajian pustaka, pengumpulan data lapang seharusnya dilaksanakan pada bulan Januari 2020. 

Rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal waktu karena satu dan lain hal. Selanjutnya keterlambatan menjadi lebih panjang karena persoalan pandemi Covid-19. Karena saya dan tim penelitian tidak mendapat izin terbang ke Papua dan wilayah mana pun. Akhirnya, kami pun melakukan pengumpulan data sejak bulan Desember. Itu pun dilakukan dengan secara daring.

Bayangkan, pengumpulan data yang semestinya dilakukan di hutan Papua dan dengan metodologi partisipatoris, termasuk di dalamnya pengumpulan data untuk analisis waktu dan transek melintasi hutan, akhirnya harus dilakukan secara daring. 

Persoalan koneksi internet di pedalaman hutan Papua adalah isu khusus. Akhirnya diputuskan bahwa narasumber dari kalangan petani perlu didatangkan ke kota yang memiliki koneksi internet agar kami dapat mewawancarainya dan melakukan proses partisipatoris melalui beberapa focused group discussions. Ini tidak mudah. Dan jangan dikira penggunaan daring adalah murah. Mendatangkan petani sebagai narasumber dari desa dekat hutan di Papua artinya mengundang nara sumber ke suatu tempat di kota yang berkoneksi internet.

Suatu saat saya akan tulis proses dan metode pengumpulan data lapang partisipatoris secara daring itu. Namun kali ini, saya akan sedikit menyentuh bagaimana isu sisa makanan dalam konteks Papua.

Saya beruntung dapat mewawancarai enam orang dari kalangan The Mahuze. Ya, The Mahuze. The Mahuze adalah Marga Mahuze yang menjadi bagian film dokumenter dari Dandhy Laksono. 

Bila Anda pernah menonton the Sexy Killer, Anda tentu tahu siapa Dandhy Laksono. Sementara the Sexy Killer berkisah tentang eksploitasi pertambangan, the Mahuze membagi kisah suatu marga yang mempertahankan tanah leluhur untuk keturunannya.

Di film The Mahuze kita bisa melihat betapa marga tersebut menghormati sumber makanan. Digambarkan sagu adalah makanan masyarakat Papua yang tumbuh di wilayah adat Dusun Sagu di Papua. 

Bagi masyarakat Marga Mahuze, sagu adalah makanan yang disediakan alam. Oleh karenanya, sagu tidak perlu ditanam. Sagu tumbuh subur di wilayah yang dekat dengan perairan. 

Untuk suatu keluarga, menebang satu pohon sagu akan cukup untuk memberi makan satu keluarga selama enam bulan. Oleh karenanya, Marga Mahuze menjaga keutuhan Dusun Sagu. 

Mereka hanya makan secukupnya. Dan, bukan hanya itu, seseorang yang menyisakan sagu ketika memakannya, dan membuang sagu akan mendapat hukuman berat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun