Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Suara dan Pengkhianatan

7 Oktober 2019   18:50 Diperbarui: 8 Oktober 2019   06:14 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore di pertengahan September  itu adalah sore yang melelahkan. Banyak pasien di ruang psikiatri. Aku harus bersabar ketika suster Ati menyodorkan kartu pasien terakhir di jam 20.00. Jimmy Waworuntu nama yang tertera di kartu pasien itu. Itu kunjungan pertamanya.

Ia seperti bingung ketika memasuki ruang. Ia duduk di kursi di depan mejaku. Aku menyapanya. Aku juga mengucap namanya.  Ini untuk memastikan ia adalah pasien yang tertulis di kartu itu. 

Ia beberapa kali memiringkan kepalanya. Ia menutupkan mata seakan hendak memastikan ia mendengar suaraku.

"Apakah Bapak mendengar suara suara?", aku bertanya.

Ia melihat mataku dengan tajam. Seakan memastikan bahwa aku bertanya kepadanya. 

Ia tidak menjawab. Kepalanya masih ia miringkan, sebelum ia menjawab "Iya".

"Apa yang mereka katakan pada Bapak?", aku bertanya, tak terlalu yakin bahwa pertayaanku sesuai dengan situasinya.

Jimmy sejenak seperti bingung, ia tidak menjawab. Ia kemudian mengatakan "Dok, saya pamit".  

Jimmy pergi meninggalkan ruang praktek. 

Saya tak bisa mencatat apapun.

++++

Ternyata, Jimmy datang lagi. 

Kedatangan Jimmy yang kedua terjadi minggu yang lalu. Pada jam yang sama, pasien terakhir. 

Wajahnya tegang. Rambutnya kusut. Awut awutan. Matanya agak merah, seperti kurang tidur. 

Kembali ia banyak diam sambil memiringkan kepalanya. Matanya terpejam ketika aku bertanya "Pak Jimmy masih mendengar suara suara?. Suara siapa, pak?". 

Jimmy membuka mata dan ia memandangku dari ujung mata kirinya. "Ya", katanya. Suaranya keras dan ia tiba tiba berdiri dan berkata "Saya pamit".

Aku kembali tidak bisa mencatat apa apa di kartu pasiennya.

++++

Seminggu berlalu. 

Aku tidak mengira ia hadir lagi sore ini. Jam yang sama. Urutan terakhir. 

Ia duduk diam di kursi di depanku 

Sesekali mencuri curi melihat padaku dari sudut matanya. 

Aku tak bertanya apa apa. Aku berdiri mengambil minuman dingin di kulkas dan memberikan kepadanya. 

"Mereka mengatakan dan memerintahkan saya untuk membunuhmu, dokter", Jimmy berkata cepat seperti takut keberaniannya hilang. 

Aku terdiam. Aku bisa saja memencet bell di bawah meja. Bel yang disediakan rumah sakit sebagai prosedur standar pada kondisi darurat. Namun aku merasa tak memerlukannya saat ini. Jimmy tampak tenang.

"Apakah pak Jimmy akan mendengarkan dan mengikuti suara suara itu?", tanyaku.

Jimmy memandangku dalam dalam. Ia diam cukup lama. Seperti tak siap menjawab pertanyaanku. Ia berkata "Saya rasa tidak".

Aku melihat wajahnya lebih cerah dibandingkan ketika ia memasuki ruang. 

Ini kesempatan baik untuk bertanya lebih banyak, tapi aku memilih diam. 

Aku berdiri ke rak minum dan menyodorkan segelas air dingin.  

Jimmy mengambil gelas yang kusodorkan dan meminum habis air itu. 

"Mereka bersuara terus. Menguntit saya.  Seperti melihat dan meneropong ke manapun saya pergi", akhirnya ia memulai. 

" Suara itu banyak. Dari suara orang orang berbeda beda. Bising. Pesannya ada dua. Pertama, saya harus pecat orang orang baik itu. Kedua, saya harus bunuh dokter".

Aku tahu mengapa ia tak pernah berhasil menceritakan perasaannya selama ini. 

Ia masih belum percaya penuh padaku, makanya ia katakan soal suara yang menyuruhnya membunuhku.  

Suara suara yang ia dengar memintanya untuk menyingkirkanku secara fisik maupun emosional. 

Kini, mungkin ia mulai percaya padaku. Aku diam. Aku mendengarkannya dengan baik. Aku memandang wajahnya. 

"Saya telah berkhianat. Saya telah lakukan kesalahan besar".

"Ini makin mendorong pada kejatuhan perusahaan"

"Saya telah memecat beberapa orang. Orang cerdas dan jujur di perusahaan". 

"Mereka kelompok muda yang sangat berdedikasi".

"Ini atas perintah dewan direksi. Juga dewan komisaris", sambil ia angkat wajahnya yang semula tunduk. 

" Saya harus melakukannya karena orang orang baik itu tahu rahasia perusahaan.  Soal penyalahgunaan kekuasaan. Soal dana. Ada korupsi di dalam perusahaan. Ini dilakukan sebelum saya direkrut memimpin perusahaan" 

"Akan segera ada audit keuangan. Ini akan terbongkar. Saya merasa bersalah. Saya matikan penghidupan orang orang baik. Saya tidak bisa tidur", ia terus berkata seakan takut kupotong. Nampak keringatnya menetes dari dahinya.

Aku masih diam. Aku berjalan ke kulkas kecil di ruang praktek dan mengambil Jus Jambu dingin buatan istriku, yang sengaja kubawa dari rumah. 

Aku tuang jus ke dua gelas kecil yang ada di rak gelas di sebelah meja praktek. Kusodorkan segelas kepadanya. Sementara, aku minum pelan jus ku. 

Jimmy segera meminum cepat dan tandas jus jambu itu. Ia letakkan gelas kosong di meja. 

Untuk sementara, kami diam. 

Karena ini pertemuan ketiga dan mungkin terberat bagi Jimmy, aku lebih banyak diam menunggu sampai Jimmy siap berbicara dan menuntaskannya. 

"Suara suara itu katakan agar saya tetap pada keputusan itu. Tapi, ada suara lain. Hati saya juga berbicara. Melawan suara suara yang lain itu", Jimmy menyambung. 

Ia terdiam lagi.

Aku coba tetap mengontrol keinginan untuk bertanya macam macam. 

Saya pelan tanya "Mau minum lagi? Yang hangat?". 

Jimmy menjawab "Air dingin saja. Terima kasih, dok". 

Aku segera berdiri mengambil gelas baru dan mengisi air dingin dari dispenser. 

Aku berjalan kembali ke kursi meja praktek dan memberikan gelas air dingin itu ke Jimmy. Jimmy segera meminumnya seperti kehausan. Ia habiskan air di gelas itu.

"Soal suara yang memintaku membunuhmu...aku tak akan turuti". Jimmy berkata sambil menatapku. Aku mengangguk agar ia tahu bahwa aku percaya penuh kepadanya.

"Bagaimana dengan suara suara yang lain itu?", tanyaku. 

Jimmy termenung. Pelan ia menolehkan wajahnya ke samping dan matanya terpejam "Suara itu makin keras". 

"Maksud saya, apa yang akan Pak Jimmy lakukan dengan suara suara itu?", tanyaku mengulang pelan.

"Aku harus mencabut surat PHK itu. Tapi ...", ia terbata berkata. "Suara hatiku berkata, aku harus cabut surat PHK itu. Kasihan mereka dan keluarganya ", katanya. 

"Aku tahu risikonya. Risiko jabatanku. Mungkin juga risiko nyawaku. Tapi....", ia terputus lagi.

"Aku tidak bisa lakukan ini. Aku punya hati.', sambungnya.

Aku tetap mendengar. "Bila aku dengar kata hatiku, aku yakin suara suara itu akan hilang. Dan, aku tak memerlukan psikhiater lagi", katanya sambil menatapku. Kali ini suaranya makin pelan, namun dengan keyakinan. 

"Dan, aku tak harus membunuhmu. Karena dokter mendengar suaraku. Suara hatiku". Tiba tiba ia berdiri. Ia berjalan ke arah pintu, meninggalkan ruang praktek. 

Aku mengangguk, walau aku tahu Jimmy tak melihatku.

Sekarang, aku yang terdiam di kursiku. 

Persoalan Jimmy memang cukup berat. Tapi, aku tak pernah membantunya. 

Ia telah tahu cara menaklukkan suara suara itu. 

Suara hatinyalah yang berkata dan mengalahkan kebisingan di telinganya. 

Jimmy tak memerlukan obat apapun dariku.

Aku hanya tulis pendek di kartu status Jimmy."Betrayal trauma. Internal solution". 

Persoalan Jimmy sedikit mengusikku. 

Ini mirip kasus pada tulisan lama yang pernah kubaca ketika kuliah. 

Tulisan itu terbitan the Harvard Mental Health Letter. Judulnya masih kuingat.  "Blind to betrayal: New perspectives on memory for trauma". 

Itu tulisan Jennifer Freyd soal rekonsiliasi internal dalam menyelesaikan persoalan trauma sosial.

Sudahlah. Aku segera bereskan tasku. 

Lebih baik aku segera pulang. Ingin ngopi dan istirahat sambil duduk di samping istriku tersayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun