Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Politik Berfilosofi Jawa, Kesakralan KPK dan Kalimasada

10 September 2019   08:12 Diperbarui: 10 September 2019   19:26 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jokowi dan Agus Rahardjo Mengawal KPK (Foto Liputan 6)

Kemasan 'Jadul' Karnaval Siswa yang Maha, Budaya yang Bhinneka, dan Dukungan pada Revisi UU KPK 

Ada yang menarik dari baju daerah mahasiswa dan mahasiswi yang mengklaim berasal dari berbagai universitas di Jakarta, yang dipakai untuk mendukung agar revisi UU KPK segera dilakukan? Tentu saja!. .

Pertama, mereka adalah perempuan  dan laki laki muda yang disebut mewakili beberapa universitas di Jakarta. Mereka dengan baju daerah warna warni dari daerah Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, dan bahkan Papua, berdandan lengkap melakukan 'karnaval'. Mereka membagikan bunga kepada pengendara mobil di tengah kemacetan ibukota. Aspek budaya dan keberagaman serta pesan damai dari orang yang dianggap terdidik melalui bunga mawar seakan dibawa di sana.

Kedua, mahasiswa mahasiswi ini mengatasnamakan aliansi Masyarakat Penegak Demokrasi (MPD) yang mengklaim mewakili berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Adakah kita yang mengenal aliansi ini? Saya tidak. Cara memilih namanyapun rasanya sama sekali tidak 'berbau' mahasiswa masa kini, jangankan mewakili generasi Z.  Jadul banget. Terkesan sangat abal abal.

Ketiga, para mahasiswa mahasiswi ini, selain membawa bendera Merah Putih juga spanduk bertuliskan "Masyarakat Penegak Demokrasi Demi Demokrasi Sehat, Dukung Revisi UU KPK, Mendorong DPR RI Segera Voting Capim KPK Baru". Saya tertawa ngakak membacanya. Kesan "sangat berbau DPR" yang 'Ayo cepat voting' begitu tajam terasa. 

Keempat, saya perlu berhati hati. Saya yakin mahasiswa Indonesia, apalagi dari Universitas di Jakarta tentu cerdas dan kritis. Ini menjadikan saya kuatir bahwa mahasiswa mahasiswi itu hanyalah 'dipakai' untuk karnaval dengan agenda yang mereka tak pahami. Dan karnaval  ini mengingatkan saya pada mahasiswa mahasiswi Jakarta yang 'nyambi' cari duit tambahan untuk menjaga 'stand' pameran atau bahkan menjadi 'pager ayu' di acara pengantin. Maafkan saya, adik adik.

O walah....Mbok ya rada cerdas kalau mau buat pasukan yang mendukung revisi UU KPK. Kemasan kemasan itu 'enggak banget deh', tentu begitu kata keponakan saya yang masih berkuliah di Program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di UI.

Yang menarik, akademisi dari berbagai wilayah menolak rencana revisi UU KPK. Coba kita lihat youtube ini. 

Di UNDIP Semarang, akademisi membubuhkan tanda tangan mereka pada petisi penolakan revisi UU KPK. Petisi ini digalang di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip, Tembalang, Semarang. Tak hanya Dosen dan Staf Pengajar, sejumlah mahasiswa pun diijinkan untuk menorehkan tanda tangan penolakannya terhadap revisi UU KPK.

Foto the Jakarta Post
Foto the Jakarta Post
Jadi, mahasiswa mahasiswi dari universitas di Jakarta sebelah mana yang berkarnaval membagi bunga dukung revisi UU KPK di Patung Kuda itu ya?

Jokowi yang Dikeroyok Sana Sini 

Pak Agus Rahardjo yang menolak adanya revisi KPK sudah menulis surat kepada Presiden. Saat ini KPK memang ada di tangan Pak Jokowi. Di beberapa media, pak Agus Rahardjo katakan kepercayaan tinggi pada Presiden.

Bila masyarakat sipil, kelompok perempuan, akademisi, dan bahkan staf dan karyawan KPK menolak keras revisi UU KPK dengan substansi perubahan seperti yang ada, ini tidak main main. 

Yang terjadi saat ini tampaknya masyarakat mendukung Jokowi dan KPK untuk melawan partai politik yang korup. 

Kalau media tulis " KPK lahir dari Mega dan mati di tangan Jokowi" rasanya kita patut ragu juga. Kan, PDIP yang ketuanya bu Mega  ikut mendukung revisi UU KPK. Jadi, apakah ibu membunuh anak yang dilahirkannya? 

Tak kurang lima partai politik pengusung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019 disebut sebagai pengusul revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Kelima partai itu adalah PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem.

Ditambah partai lawan, Gerindra dan PKS pun setuju revisi UU KPK. 

Persoalannya,  bukan hanya soal DPR yang bernafsu untuk merevisi UU KPK saja yang berbahaya. Pencalonan pimpinan KPK oleh pansel menuai penolakan.  Pencalonan Basaria dan Laode, komisioner KPK yang digagalkan dalam prises seleksi adalah misteri. Basaria gagal dalam psikotes. Laode gagal pada "profile assessment". Kok bisa gagal ya,  padahal saat ini sebagai komisioner, yang artinya lolos seleksi. 

Yang lebih rumit, pernyataan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani yang menyebut capim KPK yang menolak revisi UU KPK akan sulit terpilih menjadi pimpinan KPK. Ini kejam sekali. Perangkap dan pemaksaan untuk menyetujui revisi UU KPK bagi capim KPK sangat mengerikan.

Di antara pemerintah juga terdapat perdebatan. Bahkan JK selaku Wapres setuju revisi UU KPK. Ia katakan ukuran keberhasilan bukan jumlah "tangkapan" tetapi jumlah orang tidak korupsi. Wah..itu kan ada hubungannya. Tanpa efek jera, orang akan tetap korupsi, pak JK. 

Namun, sayapun galau mendengar pidato Pak Jokowi pada 16 Agustus 2019 yang katakan bahwa indikator capaian KPK yang seharusnya bukan dari jumlah 'tangkapan'. Apakah memang ini gambaran visi pemerintah? Kalau tidak ditangkap, mana ada aspek jera? Makin gila koruptor. 

Seperti juga pada artikel saya sebelumnya, saya masih gundah dengan posisi pak Jokowi. Apakah pak Jokowi dikeroyok dari sisi sana dalam sini dalam urusan pemberantasan korupsi? .  Ini terkait tangkapan besar kasus BLBI dan E-KTP yang jadi ketakutan anggota DPR. Apalagi jumlah tersangka kasus korupsi bamyak ditemukan di DPR. 

 Tapi, pak Jokowi bukan tak punya kuasa. Itu yang kita semua tahu. Kita semua berharap pak Jokowi mendengar suara kita. 

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Easter memposisikan Presiden Jokowi bisa sebagai penyelamat atau pembunuh KPK, tergantung dari sikap yang akan disampaikan nanti lewat surat presiden (Surpres). Surpres yang dikeluarkan Jokowi menentukan revisi UU KPK berlanjut atau tidak.

Di saat semua negara melawan korupsi, masa kita malah menggembosi KPK?. Indeks persepsi korupsi yang masih di atas angka 30 itu menunjukkan bahwa kita masih punya masalah besar dalam korupsi. Nanti kalau investasi langsung (Direct investment) turun, pak Jokowi galau lagi. Beberapa saat yang lalu saja pak Jokowi sudah gelisah dengan berpindahnya investasi dari Cina ke Vietnam dan bukan ke Indonesia. Ini soal serius, pak Jokowi. 

Saya masih yakin Pak Presiden Jokowi akan berjalan dan berjuang bersama masyarakat untuk mendukung penyelamatan KPK. Tapi, apakah demikian adanya? 

Jokowi Presiden Berpolitik dengan Filosofi Jawa (Moderen) 

Presiden Jokowi memang tampak terjepit partai partai pendukungnya di DPR yang sedang menyuarakan upaya merevisi UU KPK. Di mata rakyat, operasi senyap DPR yang diawali dengan senyap mengendap endap bagai pencuri, sekarang sudah berkembang menjadi perampok di sing hari.  

Siapapun yang telah dengan susah payah membayar pajak kepada negara tidak akan rela duit setorannya akan dirampok DPR, yang jelas jelas ada dalam daftar panjang tersangka KPK.

Memang saat ini harapan satu satunya ada di tangan Presiden kita. Ini tentu tak mudah bagi Presiden Jokowi. 

Di satu sisi kita semua gemas karena tampak bahwa pemerintah, khususnya Pak Jokowi kecolongan dengan langkah DPR. Di sisi lain, i i soal masa depan bangsa.  Kita  menaruh harapan besar pada ketrampilan politik pak Jokowi.

Apa yang kita lihat sejak masa Pilpres periode 2014-2019 dan 2019 -- 2014 menunjukkan ketrampilan politik yang unik. Lihat juga bagaimana ia bisa duduk bersama Prabowo dalam suatu perjalanan dengan MRT di suatu pagi di bulan Juli. Ini merupakan pembelajaran terbesar dari Pilpres 2019 yang begitu intens dalam persaingan keduanya. 

Jokowi yang insiyur dan pro pembangunan infrastruktur dan hendak mewujudkan keadilan sosial melawan Prabowo yang mantan jenderal yang menjanjikan Indonesia baru dengan nafas nasionalis dan dukungan kelompok Islam yang dianggap cukup radikal. Proses ini adalah transformasi politik yang menarik sekali. Analis politikpun mungkin mumet membaca situasi ini. Dan saya  ukan analis politik. 

Saya ingat tulisan Aris Huang, analis tamu yang ada di lembaga SMERU yang menuliskan opininya di the Jakarta Post  4 September 2019 yang lalu 'Jokowi-Prabowo Political Reconciliation As Javanese Strategy", terkait gaya berpolitik Jokowi yang menggunakan langgam filosofi Jawa dalam peta kekuasaan politik. 

Jokowi yang tampak tenang telah 'menyedot' enerji Prabowo yang menggebu gebu. Sebagai orang Jawa, Jokowi tetap tenang memberi ruang politik kepada Prabowo agar sistem politik demokrasi berjalan. Tanpa Prabowo, Jokowi tidak ada.

Dalam kultur politik Jawa, seorang pemimpin ada bukan hanya karena hasil perubahan politik sebagai konsekuensi rasional dari proses pemilu saja, tetapi juga ada dukungan masyarakat melalui proses budaya.

Saya suka dengan analisis Aris Huang yang merupakan lulusan master pada studi hubungan internasional dari the University of Melobourne dan sebelumnya adalah anggota dari Departeman Suti Indonesia pada Monash Unversity dan the University of Melbourne. Dia bukan doktor tetapi analisisnya keren sekali. Ia memahami Jokowi.

Memang, budaya Jawa yang masih dominan ini mempengaruhi gerak politik di Indonesia. 

Mengutip catatan Aris Huang tentang karakter kekuasaan Jawa yang tidak terpisah dalam dunia politik adalah penting untuk dipahami. Bila politik barat melihat politik sebagai hal yang abstrak, yaitu hasil dari 'social intercourse' yang bertujuan agar pemegang kekuasaan menggerakkan orang lain, politik dengan filosofi Jawa cukup unik. 

Kekuasaan dalam konteks budaya Jawa adalah kekuatan yang ajeg dan bukan hanya ada oleh kekuatan atas kepemilikan serta akumulasi  harta dan aset, melainkan ada dalam diri terdalam seseorang, yang diperkuat oleh kesakralan suatu obyek. 

Kekuatan pemimpin Jawa adalah juga berbasis dukungan masyarakat yang besar. Kepercayaan akan adanya pusaka yang sakral yang akan melindungi keamanan dan keselamatan masyarakat adalah penting bagi seorang pemimpin Jawa.

Dalam konteks terkini, saya membaca pusaka sakral itu adalah KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK bukan hanya sakral karena sebagai simbol dan wujud reformasi, tetapi juga lambang upaya terobosan pemberantasan korupsi dalam bentuk lembaga quasi pemerintah, yang saat ini sistemnya tidak berjalan di ranah penegak hukum di kepolisian, kejaksaan dan kehakiman yang masih korup.

Istimewanya, kesakralan KPK adalah juga mewakili norma demokrasi barat yang memperjuangkan respek pada sistem dan norma demokrasi yang anti korupsi.

Saya kok jadi ingat Kalimasada, pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka ini berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta. 

Kisah pawayangan tentang Jimat Kalimasada menggambarkan tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.  

Kalimasada adalah sesuatu yang menarik karena kemudian ditarik dalam konteks budaya Jawa yang sebagian orang mengkaitkan istilah Kalimasada yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan yang berisi pengakuan tentang adanya Tuhan yang tunggal, serta Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. 

Dukungan banyak pihak kepada KPK dan tuntutan masyarakat pendukung Jokowi agar Jokowi melakukan keputusan yang benar sebenarnya merupakan  perlawanan rakyat yang sesungguhnya kepada wakilnya di DPR. Dan, sebetulnya ini tergambar juga dalam pemilu yang lalu. Banyak dari kita yang ogah memilih wakilnya di DPR karena memang mereka tidak amanah.

Masyarakat luas, kelompok perempuan, kalangan akademia, dan juga staf dan karyawan KPK ada di belakang Presiden Jokowi untuk mempertahankan KPK. Juga, saya melihat Mahmud MD, sang Begawan yang akan mendukung Jokowi dalam persoalan ini. Ini tampak dari pembelaannya kepada Jokowi ketika beberapa pihak 'menertawakan' Jokowi yang dianggap tak paham isi revisi UU KPK.

Pak Jokowi, kami berharap bapak berlaku sebagai Prabu Puntadewa atau Yudistira yang hendak menyelamatkan Jamus Kalimasada. Bapak didukung masyarakat luas yang tak hendak duitnya dimakan koruptor. Juga Bapak didukung kelompok perempuan, akademia, dan begitu banyak profesional di negeri ini yang jadi panglimamu.

Saya panjatkan doa pagi agar Allah SWT melindungi KPK dan bangsa ini. Semoga pak Jokowi diberikan kesahatan dan tetap mendengar suara hati rakyat. Semoga KPK tetap utuh dan makin kuat, tanpa revisi Undang Undang yang klausulnya justru melemahkannya. Aamiin ya rabbal alamin. Semoga Allah mendengar doa kita semua. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat , Lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun