Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Milenial, Perangkap dan Penjara Narkoba

23 Agustus 2019   01:57 Diperbarui: 23 Agustus 2019   10:38 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asesoris Spion (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Saya cukup terharu mendengar ceritanya. Sesekali saya timpali apa yang ia katakan. Saya sendiri penganut kepercayaan soal cinta dan kasih sayang. Saya percaya dengan apa yang ia katakan.

Saya tanya, apakah ia tidak diiming-iming kawan atau penjual.

Weda menjawab, "Oh iyam bu. Mereka katakan bahwa saya bukan hanya sombong, tetapi tidak mengakui kenyataan. Jadi, bila itu 'ikan', saya biasanya beli sendiri. Tetapi bila itu sabu, penjualnya yang datang ke saya. Berapa kali obat-obatan itu dimasukkan ke dalam tas saya. Saya katakan pada diri sendiri TIDAK. Kalau saya pakai narkoba lagi, saya pasti berujung mati. Saya sudah berkali-kali merasakan ingin bunuh diri, bu. Kepala saya mengatakan bahwa saya harus mati. Saya pikir, saya harus betul-betul setop".

Saya akhirnya tanyakan dengan permintaan maaf, dengan siapa biasanya ia mengkonsumsi narkoba.

Ia mengataka bahwa ia hanya melakukannya dengan orang yang ia percaya. Ia sedih sekali melihat orang kepercayaannya itu begitu sangat parah kondisinya ketika OD. Kalau ia pernah rasakan sakit dan dirawat 

Perbincangan itu akhirnya terhenti, karena saya minta izin untuk berhenti di suatu toko buah yang telah buka. Weda mempersilakan dan mengatakan kepada saya untuk santai saja. Tidak perlu memikirkan harus membayar ekstra.

Saya akhirnya membeli beberapa macam kue dan buah buahan untuk anak saya dan tak lupa saya sampaikan kue Bika Ambon untuk Weda. Saya yakin ia belum sarapan karena hari masih pagi. Tentu, Weda berterima kasih.

Karena ia bertanya tentang anak saya, saya pun bertanya kepada Weda apakah ia sudah menikah. Ia menjawab bahwa ia dulu pernah berpacaran, tetapi sudah putus. 

"Laki laki itu rumit bu. Sulit jadi laki-laki dewasa, tampaknya ya bu. Jadi perempuan itu sudah merasakan sakit setiap bulan. Menstruasi itu kan sakit. Laki-laki tidak betah sakit. Gara gara pacaran dengan saya, orangtuanya nyamperin saya dan mengeluarkan kalimat yang menyakiti. Saya tidak pernah bisa lupakan tentang betapa sang ayah mendatangi saya dan mengancam. Ia keberatan karena anaknya menjadi bermusuhan dengan ibunya gara-gara mencintai saya. Mereka adalah tetangga saya dan tahu kondisi keluarga saya yang sedehana. Waktu itu saya belum pengguna narkoba, bu. Saya itu kan bocah cilik yang sedang jatuh cinta. Kok harus diancam dengan kalimat yang menyakitkan luar biasa. Duh, bu. Saya sampai sekarang ingat. Anak laki laki kok lemahnya seperti itu".

Saya tak berkomentar.

Sambil mengarah ke alamat rumah anak saya, saya bertanya apa mimpi Weda. Ia menjawab bahwa ia ingin berbisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun