Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Milenial, Perangkap dan Penjara Narkoba

23 Agustus 2019   01:57 Diperbarui: 23 Agustus 2019   10:38 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asesoris Spion (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Milenial Pengemudi Taksi Online dan Kisah Hidup Eks Pengguna Narkoba

Pagi tadi saya menumpang taksi online dari area Menteng menuju ke kediaman anak saya di area Terogong Jakarta Selatan.

Begitu memasuki kendaraan, saya disapa ramah oleh pengemudi. Dalam hitungan beberapa detik, saya baru menyadari bahwa pengemudi yang mengantar saya adalah perempuan, walau suara yang menyapa saya tadi cukup berat.

Nama yang ada di aplikasi memang bisa netral untuk dimiliki perempuan atau laki laki, walau nama keseluruhan memang menunjukkan bahwa pengemudi adalah perempuan.

Weda (bukan nama sebenarnya) adalah pengemudi yang cukup ramah. Karena saya juga seorang supir, maka saya paham bahwa teknik mengemudi Weda sangat terampil. Seperti biasa, saya menikmati obrolan dengan pengemudi yang menarik.

Weda berdandan cukup maskulin. Celana loreng warna hijau ia kenakan. Rambutnya yang diikat ia sembunyikan di balik topi. Ia berjaket. Selintas ia nampak seperti laki laki.

Yang menarik, dari spion saya lihat wajahnya yang oval sangat menarik. Kulitnya berwarna terang dan halus serta bersih. Hidungnya mancung. Mata cantiknya tertutup kacamata.

Asesoris Spion (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Asesoris Spion (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Aksesoris mobil juga cukup maskulin. Terdapat gantungan berupa kalung rantai cukup besar serta tasbih berbahan kayu pada kaca spion di depannya. Terdapat Al Quran diletakkan di dashboard mobil.

Setelah berbasa basi, saya tanyakan tentang cara ia berpakaian. Ia menjawab bahwa ia berangkat menyupir sejak pagi jam 3 dan pulang setelah magrib. Baginya, baju semacam itu lebih membuat ia aman. Ia katakan bahwa ia belum berani berdandan yang menampakkan ciri perempuan, demi keamanan.

Saya memakluminya. Kami akhirnya berbicara soal meningkatnya kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ia sempat bertanya mengapa saya begitu tertarik membicarakan isu perempuan.

Saya ceritakan secara umum kegiatan saya sehari hari dan bagaimana saya tertarik pada isu perempuan. Entah mengapa, segera saja obrolan kami menjadi makin cair.

Saya sempat tanyakan apakah ada hal yang menghalangi atau menghambat tugasnya sebagai perempuan pengemudi taksi online.

Ia menjawab tak ada, "Bahkan, maaf ya bu, saya sering mendapat pujian dalam pemeringkatan setelah penumpang turun. Mereka mengucapkan terima kasih. Kadang kadang bahkan memberi tip. Tetapi saya menjaga penampilan saya. Ini untuk berjaga jaga'.

Saya akhirnya tahu bahwa ia seusia anak perempuan saya, sekitar 27 - 28 tahun. Orangtuanya adalah keturunan Minang, dari pihak ibunya, sementara keturunan Bugis Dayak dari pihak ayahnya. Mereka dulu berasal dari Pontianak.

Ia bercerita bahwa ia baru bergabung dengan perusahaan taksi online selama 3 bulan.

Sebelumnya, ia membantu ayahnya bekerja menjadi pemborong jasa pemasok 200 orang tenaga kerja untuk pembangunan 'peer head' sebagai kelengkapan jalan toll Cilincing Cibitung. Namun, usaha ayahnya pailit. 

Ayahnya mengeluarkan banyak biaya untuk bisa memasok tenaga kerja karena gaji tenaga kerja harus diberikan tepat waktu. Namun, mereka sering terlambat menerima termin pembayaran dari Waskita Karya. Ini tentu membuat usaha mereka kedodoran. khirnya usaha itu terhenti.

Weda akhirnya harus menjadi pengemudi taksi online agar bisa menghidupi dirinya sendiri.

Kami lalu berbicara soal pendidikannya. Ia sempat kuliah di jurusan media pada fakultas seni dan bahasa di suatu universitas swasta di daerah Jagakarsa di Jakarta. Saya tentu tertarik dengan apa yang ia pelajari dulu.

Ia menerangkan bahwa ia belajar musik dan seni. Ia bisa memainkan semua alat musik, kecuali piano dan saxsophone. Wow ini tentu menarik. Obrolan kami pun berkembang ke soal musik. Jenis lagu yang ia sukai dan bagaimana ia memainkannya. 

"Saya sempat punya bisnis kafe dengan 'live music' di kompleks Galaxy di daerah Jakarta Timur, bu. Jadi, saya bermain musi di kafe itu. Sayangnya kafe saya kemasukan pencuri. Bukan hanya peralatan musik yang dicuri, tetapi juga kelengkapan kafe yang penting dicuri juga. Saya akhirnya tidak lanjutkan bisnis itu'.

Saya juga tanyakan soal kelanjutan sekolahnya. Ia katakan bahwa ia tak selesaikan sekolahnya. Tahun 2011 ia berhenti. Iapun bercerita panjang.

"Saya dulu sableng banget, bu. Aduh saya parah banget deh", katanya.

Saya tentu penasaran seperti apa sableng itu.

"Saya bandel bu. Saya dulu pengguna narkoba".

Saya cukup terkejut, namun terus mendengar ceritanya. Saya bertanya sejak kapan ia mulai menggunakan narkoba dan bagaimana ia berhenti. Ia menjawab bahwa ia menggunakan narkoba sejak tahun 2011. Ia sudah berhenti sama sekali sejak 2017.

Sayapun minta ijin ia bercerita lebih tentang ini, bila ia tak berkeberatan. Saya tanya kapan ia memulainya dan apa kerugian menggunakan narkoba. Ia berkata:

"Saya dulu melihat kawan pemusik kok happy banget ya bu. Ia selalu happy. Rupanya, ia pengguna narkoba. Saya cari tahu apa dan bagaimana itu narkoba itu. Saya akhirnya dapat informasi lengkap. Kalau yang jenis obat dan jenis 'ikan' "Bu, risiko ditangkap polisi dan uang ludes itu hanya sedikit dari kerugian itu bu. Saya sudah rasakan semua. Saya keluar masuk kantor polisi. Saya pun kehabisan duit. Saya menipu orangtua saya. Saya memang tidak pernah mengganggu orang lain bu. Saya hanya berani meminta dari orangtua. Kalau tidak dikasih orangtua, ya saya menipu mereka".

Ia melanjutkan 'Jadi bu, saya tadi katakan bahwa kerugian ditangkap polisi dan kerugian uang itu tidak ada artinya. Kerugian terbesar adalah syaraf kita, bu. Saya sudah melewati semuanya. Segala rasa sakit dan kehilangan akal sehat itu saya rasakan".

Saya akhirnya bertanya bagaimana ia bisa berhenti dan sembuh. Ia menjawab 

"Ini karena orang tua saya tetap mencintai saya, bu. Saya dua bersaudara. Saya yang tertua. Orangtua saya tidak pernah membenci saya. Mungkin ia membenci apa yang saya lakukan, tetapi mereka mencintai saya. Suatu saat, sekitar dua tahun yang lalu, saya pulang dari pergi dan saya menemukan orangtua saya sedang berdoa. Saya lihat ibu saya khusyusk sekali berdoa. Ia berdoa dengan sangat khusyuk dan dengan cara yang membuat saya tersentuh. Di situ, saya betul betul sadar bahwa saya telah membuat mereka susah. Saya bertekad untuk setop. Dan, saya setop betul. Saya bisa. Saya begitu percaya bahwa hanya cinta yang mampu membuat saya bangkit".

Saya cukup terharu mendengar ceritanya. Sesekali saya timpali apa yang ia katakan. Saya sendiri penganut kepercayaan soal cinta dan kasih sayang. Saya percaya dengan apa yang ia katakan.

Saya tanya, apakah ia tidak diiming-iming kawan atau penjual.

Weda menjawab, "Oh iyam bu. Mereka katakan bahwa saya bukan hanya sombong, tetapi tidak mengakui kenyataan. Jadi, bila itu 'ikan', saya biasanya beli sendiri. Tetapi bila itu sabu, penjualnya yang datang ke saya. Berapa kali obat-obatan itu dimasukkan ke dalam tas saya. Saya katakan pada diri sendiri TIDAK. Kalau saya pakai narkoba lagi, saya pasti berujung mati. Saya sudah berkali-kali merasakan ingin bunuh diri, bu. Kepala saya mengatakan bahwa saya harus mati. Saya pikir, saya harus betul-betul setop".

Saya akhirnya tanyakan dengan permintaan maaf, dengan siapa biasanya ia mengkonsumsi narkoba.

Ia mengataka bahwa ia hanya melakukannya dengan orang yang ia percaya. Ia sedih sekali melihat orang kepercayaannya itu begitu sangat parah kondisinya ketika OD. Kalau ia pernah rasakan sakit dan dirawat 

Perbincangan itu akhirnya terhenti, karena saya minta izin untuk berhenti di suatu toko buah yang telah buka. Weda mempersilakan dan mengatakan kepada saya untuk santai saja. Tidak perlu memikirkan harus membayar ekstra.

Saya akhirnya membeli beberapa macam kue dan buah buahan untuk anak saya dan tak lupa saya sampaikan kue Bika Ambon untuk Weda. Saya yakin ia belum sarapan karena hari masih pagi. Tentu, Weda berterima kasih.

Karena ia bertanya tentang anak saya, saya pun bertanya kepada Weda apakah ia sudah menikah. Ia menjawab bahwa ia dulu pernah berpacaran, tetapi sudah putus. 

"Laki laki itu rumit bu. Sulit jadi laki-laki dewasa, tampaknya ya bu. Jadi perempuan itu sudah merasakan sakit setiap bulan. Menstruasi itu kan sakit. Laki-laki tidak betah sakit. Gara gara pacaran dengan saya, orangtuanya nyamperin saya dan mengeluarkan kalimat yang menyakiti. Saya tidak pernah bisa lupakan tentang betapa sang ayah mendatangi saya dan mengancam. Ia keberatan karena anaknya menjadi bermusuhan dengan ibunya gara-gara mencintai saya. Mereka adalah tetangga saya dan tahu kondisi keluarga saya yang sedehana. Waktu itu saya belum pengguna narkoba, bu. Saya itu kan bocah cilik yang sedang jatuh cinta. Kok harus diancam dengan kalimat yang menyakitkan luar biasa. Duh, bu. Saya sampai sekarang ingat. Anak laki laki kok lemahnya seperti itu".

Saya tak berkomentar.

Sambil mengarah ke alamat rumah anak saya, saya bertanya apa mimpi Weda. Ia menjawab bahwa ia ingin berbisnis.

"Apa saja bu. Saya ingin sukses. Saya ingin punya bisnis laundry. Juga bisnis yang lain. Saya ingin sukses."

Saya tanyakan apakah dengan ia berangkat pagi pulang malam ia sudah bisa cukup dapat uang dari mengendarai taksi online.

"Wah belum bu. Saya hanya bisa menghidupi diri sendiri. Tapi kan saya harus memikirkan orangtua. Mereka sama sekali tidak bekerja setelah pailit. Juga adik saya sedang kuliah di tahu terakhirnya. Saya berdoa bu. Saya tidak berani tinggalkan sholat. Sekarang saya ingin bangkit dan berhasil. Saya ingin  diberi kesempatan kedua".

Trenyuh saya mendengarnya. Saya berdoa sungguh sungguh untuk kesuksesannya. Sungguh.

Di akhir perjalanan, saya mengecek padanya apakah saya boleh menuliskan kisahnya. Ia menjawab, "Silakan bu, bila ini bisa bermanfaat untuk orang lain". Saya sampaikan bahwa saya tidak akan memotret dan menuliskan namanya, untuk kerahasiaan.

Kami saling berterima kasih dan mengucap salam ketika berpisah.

Duh.. Obrolan ini mengganggu kepala saya. Ada trenyuh. Ada khawatir. Ada rasa putus asa. Ada rasa kagum. Ada harapan. 

Kematian Milenial karena Narkoba

Tampaknya, milenial memang sasaran tembak pedagang narkoba. Data resmi yang dipaparkan ke publik oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) patut digarisbawahi oleh semua pihak.

Sayangnya, tidak terdapat data yang pasti tentang jumlah pengguna narkoba saat ini.

Data KPAI pada Maret 2018 menunjukkan bahwa dari 87 juta populasi pada usia kelompok anak, sekitar 5,9 juta telah merupakan pecandu narkoba.

Data BNN menunjukkan pula bahwa 4 juta masyarakat Indonesia terbukti merupakan pengguna narkoba. Terdapat sekitar 2 juta orang muda dan pelajar yang mengatakan menggunakan narkoba pada 2018.

Sementara, pengguna narkoba di kalangan pekerja adalah sebesar 1,5 juta. Selanjutnya, setiap harinya, 50 orang muda meninggal karena 'over dosis' atau OD karena mengkonsumsi narkoba.

Business Insider Singapore yang meneruskan Business Insider Amerika melaporkan dalam artikel "'Deaths of despair' are taking more lives of millennial Americans than any other generation" cukup menohok.

Artikel ini merupakan laporan atas studi yang diselenggarakan oleh Public Health Group Trust for America's Health and Well Being Trust. Laporan ini melihat pada Millenials berusia 23 sampai 38 thaun di tahun 2019.

Ilustrasi meninggal karena OD (Foto : wcpg.org)
Ilustrasi meninggal karena OD (Foto : wcpg.org)
Artikel itu menuliskan bahwa terdapat jumlah kematian milenial yang makin banyak akibat alcohol, narkoba dan bunuh diri. Alasan dari hal ini adalah adanya peningkatan tekanan finansial yang dihadapi generasi milenial. Ini termasuk hutang biaya pendidikan dan juga meningkatnya harga rumah.

Ini terjadi khususnya ketika mereka tidak menerima dukungan sosial dair keluarga dan lingkungannya.

Kematian ini khususnya terjadi di Amerika. Terdapat 36.000 milenial asal Amerika yang meninggal karena sebab di atas pada 2017. Pada umumnya, kematian itu adalah karena alasan over dosis narkoba.

Milenial dan Narkoba

BNN menyampaikan bahwa selama dua dekade belakangan ini, anak dan remaja Indonesia nyata-nyata menjadi target perang proxy. Dalam perang proxy ini, sindikat dari luar negeri bermain dengan pedagang di dalam negeri.

Sudah tentu, modusnya adalah menggoda dan mencekoki kelompok muda dengan aneka ragam produk Narkoba (narkotika dan obat-obatan) terlarang.

Pada tahun 2017, BNN mengidentifikasi adanya 83 sindikat internasional yang menyelundupkan dan mengedarkan narkoba di dalam negeri.

Sementara, pada tahun 2016 tercatat 99 sindikat. Narkoba tersebut diedarkan ke 654 penyebaran narkoba. Artinya, ini sudah tersebar ke seluruh kota di Indonesia. Identitas pelaku sulit dilacak karena mereka bergerak sebagai pelaki tindak kriminal biasa.

BNN menyampaikan bahwa terdapat 4 kelompok jenis narkoba yang beredar di Indonesia. Mereka adalah ganja, sabu, ekstasi dan heroin. Keempatnya memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang berbeda bagi pengguna.

Dari keempatnya, efek sabu dan heroin memiliki dampak jangka panjang yang akut, bahkan mematikan.

Sabu memiliki dampak Kecanduan. Efek psikologi seperti paranoia, halusinasi, dan aktivitas motorik berulang muncul.

Juga terdapat perubahan struktur dan fungsi otak, menurunnya kemampuan berpikir dan kemampuan motoric, melemahnya konsentrasi, hilangnya ingatan, dan juga disertai perilaku agresif atau kekerasan. Pengguna memiliki gangguan suasana hati, masalah gigi yang parah, dan menurunnya berat badan.

Sementara heroin mengubah struktur fisik serta fisiologi otak yang dapat menyebabkan sistem saraf dan hormon menjadi tidak seimbang dalam jangka waktu lama.

Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan otak akibat heroin dapat memengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan, berperilaku, dan tanggapan pada situasi stres. 

Selain itu, efek heroin jangka panjang terhadap tubuh adalah penurunan kesehatan gigi, ditandai dengan gigi yang rusak dan gusi bengkak, rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya menurun, dan tubuh menjadi lemah, lesu, dan tidak bertenaga. 

Juga, nafsu makan yang buruk dan kekurangan gizi, insomnia, penurunan fungsi seksual, kerusakan hati atau ginjal secara permanen, infeksi katup jantung, keguguran, dan kecanduan yang menyebabkan kematian.

Mengingat begitu tingginya prosentase milenial yang mengkonsumsi narkoba, adalah menjadi masuk akal bila upaya pencegahan juga berangkat dari kalangan orang muda pula. Pelibatan generasi muda, dalam hal ini adalah milenial adalah cara untuk membuat kesadaran akan bahaya narkoba muncul.

Juga, generasi milenial akrab dengan piranti teknologi. Ini dapat menjadi kekuatan dalam penyebaran informasi dan penggunaan bahasa yang efektif.

Tentu ini merupakan PR bersama, dan juga tentunya PR pemerintah. Bila Pak Jokowi hendak menjadikan kemajuan SDM sebagai aspek kemajuan bangsa saat ini, tentu persoalan narkoba dan persoalan sosial millenia juga perlu menjadi pertimbangan. 

Pustaka : Satu, Dua; Tiga; Empat, Lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun