PENYAIR JALANAN
___________
Hari ini, aku berdiri di sebuah trotoar. Mata sekawanan debu tertidur lelap. Beberapa batu yang meruncing ke bibir langit, berserakan seperti sedang terjadi Demonstrasi.
Di pergelangan jalan, suasana di penuhi bunyi. Seakan sunyi, tak mampu menawarkan damai.
Beberapa menit setelah ku amati lebih banyak lagi kejadian hari ini.
Tiba-tiba aku di kagetkan oleh suara keras seorang anak kecil. Suara itu sedang bersajak. Tapi kenapa di jalan tanpa ada orang yang mendengarkan?. Ah..itu hal kedua usai ini.
Anak itu terus menyuarakan sajaknya seperti bermonolog:
"Sajak-Ku adalah sunyi. Ia bersuara, menyiksa tuli daun yang gugur.
Ku telan darah kota, senasib aku dengan nasi yang tak sempat di makan habis.
Biru langit selalu mendengarkan aku hingga ia menangis jadi hujan. Hingga ia menghantar aku bermimpi tentang mimpiku.
Tuhan selalu mendengarkan aku tanpa tepuk tangan usai aku membacakan sajak. Apakah Tuan mau seperti Tuhanku?.
 Jangan di jawab.. Uang sakuku belum cukup traktir tuan makan makanan mewah.
Sungguh licin negri ini. Sehingga Setiap inci kehidupan lincah di telan kerakusan.
kehidupan inti, hanya bisa jadi tempat untuk kita intipi. Dan kita hanyalah titipan kancing kecil, untuk nilai uang yang tebal di saku baju mereka.
Dengarkan aku sepi. Di tengah keramaian, sebatang janji selalu tumbuh. Dan itu palsu.
Lalu untuk apa telinga ada? Untuk apa hati ada? Untuk apa mata terbuka tapi tidak melihat kami yang menangis di kolom-kolom jembatan, di ruas-ruas pasar, di tikungan-tikungan jalan?