Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Abdul Azis, adalah seorang penikmat seni, dari seni sastra, teater, hingga tarian daerah terkhusus kuda lumping. Berasal dari kota Kediri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nenekku Pahlawanku (Perjuangan Cucu dalam Berseni)

28 Agustus 2020   20:00 Diperbarui: 28 Agustus 2020   19:59 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. pribadi (Abdul Azis)

Judul Cerpen: Nenekku Pahlawanku (Perjuangan Seorang Cucu dalam Berseni)
Karya: Abdul Azis (Le Putra Marsyah)

Aku lahir dari plosok desa, ya 28 Oktober 1997 sepasang suami istri Julia Faisal dan Marsyah lagi dirundung keharuan. Lahirnya anak pertamanya itu membuat seisi rumah tiba-tiba gemuruh tangis haru dari keluarga ibuku yang berada di salah satu desa Kota Kediri.

"Selamat ya nduk kamu akhirnya sudah menjadi ibu, rawat orok ini smpe besar dan semoga menjadi anak yg sholeh berbakti kepada orang tuanya", ucap nenekku kepada ibu sambil menimangku dulu. Nenekku memang sangat senang dengan kelahiranku, karena apa? Ya karena saat ibu mengandung mulai 6 bulan, nenekku lah yang selalu merawat dan melayani ibu. Nenekku berharap bahwa kelak aku bisa menjadi putra yg berbakti kepada orang tua, keluarga, dan mengerti agama, maka dari itu aku dinamakan Abdul Azis.

Saat aku menjadi bocah sekitar 6 tahun, aku belum mengenal apa-apa. Kala itu aku ditinggal ayah ibu merantau ke Negeri seberang, ya untuk apa lagi kalau bukan mencari nafkah demi anaknya yg semakin hari semakin tahun akan memerlukan banyak kebutuhan dari pendidikan hingga zaman.

"Le, ibuk sama bapak berangkat ya, jaga diri baik-baik, jangan bandel, do'ain ibuk agar sehat ya". Pesan ibu sambil menciumi seluruh mukaku dengan linangan air mata tanda perpisahan antara anak dan ibunya, akupun menjawab dengan nada rendah "enggeh buk, ibuk hati-hati di jalan, cepat pulang ya, Azis pasti kangen", spontan ibu menangis kencang dan memelukku tanda ketidak relaannya karena memang aku waktu itu baru berusia 6 tahun. Belum pantas untuk dirawat bukan dari orang tuanya lagi. Tapi bagaimanapun ini demi aku, anak lanangnya yang akan butuh banyak biaya, akirnya ibuk dan bapak berangkat. "Selamat jalan pak buk" teriakku sambil menangis sejadi-jadinya.

Ketika semua sudah tenang, satu tahun dua tahun tiga tahun aku tumbuh besar tanpa sentuhan orang tua kandungku, hanya nenek dan kakek yang selalu mendidik dan menggembleng hingga aku beranjak dewasa, sapu lantai patah sudah biasa untuk memukulku kalau aku telat ngaji, pecut menyabet pingganggu sudah makanan sehari-hari kalau aku pulang melewati jam batas bermain walau hanya di tempat tetangga sekedar main petak umpet.

Memang kakek nenek ku hidup dan tumbuh dimasa penjajagan, jadi didikannya memang keras apalagi kakekku seorang veteran yang dulu ikut pelatihan di masanya. Aturan demi aturan harus aku patuhi, kalau tidak? ya itu tadi pecut melayang ke pinggangku. Pernah suatu ketika 3 hari 2 malam aku tidak pulang untuk mengikuti agenda yang diadakan sama Komunitas Teater yang saya ikuti. Saat aku pulang ke rumah aku sudah ditunggu sama kakek dan nenek di ruang tamu.

"Dari mana kamu?" Tanya kakek tegas

"Main kung" jawabku dengan raut wajah ketakutan, sengaja aku berbohong, karena aku tau kalau aku bilang Teater kakek ku pasti marah. Menurutnya Teater mendidik kita menjadi gila, padahal tidak, sama sekali tidak, "akan aku buktikan kelak" tantangku dalam hati.

"Kamu belum bisa apa-apa udah berani gak pulang ke rumah 3 hari, mau jadi apa kamu? Maling? Copet? Preman? Kapan kakekmu ini mendidik kamu kaya gini? Bajingan!!". Kemarahan kakek meluap air mataku pun keluar, bukan karena takut melainkan aku merasa bersalah karena aku harus berbohong untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

Dan tiba-tiba "BRUUUAK... PRIYEEENG" gelas kopi dihadapan kekek mendarat di kepalaku. Dengan segera nenek memeluku dan menangis "uwes to kung uwees, jangan kesetanan kamu sama cucu sendiri", sambil digeretnya aku kekamar untuk diperbani kepalaku. Di kamarlah aku bisa bicara dengan jujur kepada siMbok karena memang nenek selalu mengerti apa yang aku jalani selama menurutku baik.
"Kamu main teater di mana to le, kok tiga hari gak pulang, ee mbok kalo gitu gitu bilang ke nenek, kan nenek bisa alasan" tutur nenek sambil membersihkan darah yang ada di pelipis ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun