Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kilau Berlian di Hati Nikana (63)

28 Januari 2015   05:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hanya ada dua kamar di rumah berkolong itu. Satu kamar yang ditempati Nai Tiopan, satu lagi kamar buat Nika malam itu. Dan Riko, seperti halnya waktu menginap terpaksa di rumah Namboru Tiarma di Ambarita, tidur di kursi panjang di ruang tengah.

Suasana malam sepi mencekam. Nika mendengar suara kucing mengeong di luar, suara jangkrik, dan kibasan daun-daun ditiup angin. Tapi hujan benar-benar berhenti.

Nika meresapi suasana malam sebagai pengalaman tak terlupakan. Perasaan terasing, jauh dari hingar bingar metropolitan sungguh terukir indah di sanubari. Nika bagai bermimpi membayangkan kejadian barusan di bawah pohon kemiri itu. Sungguh kenyataankah itu? Kenapa romantisme itu sampai bisa terjadi? Apakah sekadar iseng mengisi kesepian dirinya dan Riko, tanpa embel-embel apapun. Atau sekedar dorongan hasrat membara memanfaatkan momen malam hari yang romantis.

Nika resah di tempat tidur. Senyum tak lekang dari bibirnya. Ia masih merasakan hangatnya kuluman bibir Riko saat mengecup bibirnya cukup lama, dan Nika mengimbanginya dengan memberi balasan yang tak kalah hangat. Lalu, pelukan itu. Ah pelukan yang membuat perasaan aman di hati. Pelukan yang kokoh, tapi tanpa gejolak birahi. Ataukah saat itu Riko menyembunyikan gejolak birahi kelelakiannya dengan pengendalian yang sempurna.

Oh Tuhan, Engkau yang tahu apa yang kurasakan ini. Apakah hati ini benar-benar sudah tercuri oleh Riko? Mungkinkah ini bisa terwujud begitu mudahnya, apakah kemesraan tak terduga tadi melintas begitu saja tanpa makna apapun.

Nika merasa debar jantungnya penuh riak detak berjuta rasa. Matanya berulang kali dipejamkan, tapi sulit tertidur. "Akan kuanggapkah kemesraan kami ini hanya bunga-bunga perjalanan di belantara kesepian hati ini," Nika kembali tersenyum menatap langit-langit kamar. Lalu ia mereka-reka, apakah Riko juga sama halnya dengan dirinya, sibuk dengan khayalan ataukah sudah lelap tanpa suatu perasaan khusus.

PAGI itu sinar surya muncul dari ufuk timur, menebar kehangatan. Tak ada tanda-tanda mendung seperti hari-hari sebelumnya. Nika beringsut dari ranjang, dan ia menyadari sakit pada kakinya sudah benar-benar hilang. Diambilnya tas sandang dekat bantal, menghitung jumlah uang tunai yang ada di dalam. Masih ada tujuh juta lagi. Kemarin tak sempat ke ATM  karena buru-buru. Ia menyesal kenapa tak membawa uang cukup banyak datang ke kampung ini. Pada hal Nika ingin memberi banyak pada Nai Tiopan dan semua warga kampung.

Riko sudah duduk minum kopi di kursi rotan ketika Nika membuka pintu kamar. Di meja sudah tersedia gelas berisi kopi dan manis yang masih mengepul pertanda baru dibuatkan untuk dirinya juga.

Riko menyambut dengan senyum, dan Nika juga menebar senyum hangat.

"Enak tidurnya nak," Suara Nai Tiopan yang datang dari dapur.

"Enakan juga bu, dinginnya udara di sini membuat tidur nyenyak," kata Nika.

"Ya disini memang dingin mungkin karena dikelilingi sawah dan kolam," kata Riko nimbrung.

"Apa kalian pulang pagi ini," tanya Nai Tiopan.

Riko yang menjawab," Ya namboru kami harus cepat balik ke kota. Ya kan Nik."

Nika mengangguk. "Kurasa begitu Rik, mumpung cuaca cerah tak ada hujan."

Nai Tiopan berkata," Kalau mau mandi ke pancuran sana, tapi airnya dingin, kalau mau air hangat bisa kupanasi di kompor minyak."

Riko menoleh ke Nika minta tanggapan gadis itu."Namboru bilang kalau mau mandi di pancuran, airnya jernih dan ada saringan. Kalau mau air hangat, bisa dipanasi."

"Jangan, jangan membuat ibu repot. Aku cukup cuci muka aja dulu, nanti mandinya di hotel aja."

Nika berkata pada Riko."Aku mau kasi uang oleh-oleh uang buat ibu, dan juga pada semua warga kampung ini. Aku gembira melihat kebaikan hati yang kutemukan di sini. Tapi kita lupa kemarin ke ATM, aku cuma ada uang tunai tujuj jutaan."

"Itu sudah banyak Nik, jangan terlalu dipikirkan.Lagian jumlah uangmu sudah cukup."

"Aku mau bantu dikit-dikit orang sekampungmu ini Rik, tapi uangku tinggal sedikit yang tersedia."

"Aku ada uang limajutaan Nik, kalau mau itu aja pakai." kata Riko seraya merogo dompet di saku belakang.

Wajah Nika jadi ceria."Itu aja dulu kutambahkan Rik, nanti kuganti sesampai di ATM."

Nai Tiopan sudah siap memasak di dapur. "Kalian harus sarapan pagi dulu sebelum berangkat." kata perempuan tua itu pada Riko dengan bahasa lokal.

Nika tak terbiasa makan pagi, tapi ia memaksakan diri makan sedikit karena sudah disediakan.

Usai makan, Nika pergi ke kamar mematut-matut diri di depan cermin. Segepok uang disisihkannya untuk Nai Tiopan, dan sisanya sudah disiapkan untuk warga desa sebelum semuanya lenyap pergi ke sawah.

Nai Tiopan sedang bicara dengan Riko di dapur. "Semalam tak sengaja aku lihat kalian bukan sekedar teman lagi Marihot. Kalian sudah sangat dekat. Aku tak sembarang mengira-ngira, antara kalian sudah ada cinta kan. Aku doakan kalian bisa berjodoh dan kalau dapat kita buat pesta secepatnya. Biar arwah bapak dan ibumu senang di alam sana."

Riko tersenyum. " Kita jangan mimpilah namboru, tak mungkinlah itu terjadi. Aku juga takut berharap sejauh itu."

Nai Tiopan menatap tajam mata Riko." Kalian sudah ciuman semalam kan Marihot? Nah apa lagi, itu tandanya sudah baik."

Riko terkejut."Hah, namboru ngintip semalam ya. Ah namboru udah tua ginipun masih nakal." Riko tertawa tapi Nai Tiopan melintangkan jari ke mulut Riko melarang tertawa.

"Sssst, namboru bukan ngintip, hanya kebetulan namboru mau menutup kandang ayam lalu kulihatlah kalian sudah nempel."

Keduanya tak bisa menahan tawa, sampai terdengar oleh Nika.

Satu demi satu warga kampung kembali datang ke rumah itu setelah tahu Riko dan gadis temannya akan meninggalkan kampung pagi itu.

"Selamat jalan ya, kalau kami petani ini harus kembali ke lumpur lagi," kata salah seorang ibu dengan bahasa lokal pada Riko.

Nika trenyuh setelah Riko menjelaskan perkataan ibu muda itu. Nika membuka tas sandangnya, lalu menyalami satu demi satu warga kampung seraya menitipkan uang. Wajah-wajah lelah itu begitu ceria menerima pemberian yang lumayan banyak. Semua berulangkali mengucap terima kasih, menyampaikan selamat jalan dan semoga diberkati Tuhan.

Lalu salah seorang ibu desa itu ceplas-ceplos berkata pada Nika dengan bahasa Indonesia seadanya," Kalau terkabullah doa kami, maulah jadi isterinya Marihot ya?"

Nika tersipu senyum mendengar ucapan polos itu. Nika saling pandang dengan Riko, dan semua penduduk kampung senyum-senyum mengangguk.

Setelah warga kampung pergi, Nika menemui Nai Tiopan, memeluk perempuan tua itu dengan hangat. "Terima kasih banyak bu, mauliate bu, atas kebaikan menerima saya di sini. Semoga ibu sehat dan panjang umur. Kelak kita bisa jumpa lagi."

Nai Tiopan tak terlalu memperhatikan segepok uang yang digenggamkan gadis itu ke tangannya. Nai Tiopan menatap haru seraya berkata," Kalaulah Tuhan mau mendengar dan mengabulkan permohonan saya ini..."

Nika dan Riko ingin tahu lanjutan ucapan perempuan tua itu.

Nai Tiopan menatap Riko dan Nika bergantian. "Kalau bisa kedatangan kalian yang kedua kali bukan lagi sebagai teman-temanan, tapi pasangan jodoh yang saya cita-citakan bagi Rihot. Hanya itulah harapan saya selagi masih punya waktu hidup. Kalian  ingat kan, waktu kalian baru datang saya sudah taburkan beras sipir ni tondi untuk kalian, tapi ternyata saya salah duga. Mudah-mudahan saja itu hanya sebagai pertanda baik bagi kalian."

Kata-kata itu sangat membekas di  lubuk hati Nika, ketika kakinya kembali menapaki jalan kecil diantar Nai Tiopan sampai di gerbang kampung.

Jalanan tak begitu licin lagi. Nika dan Riko sudah lebih lancar menapakinya tanpa harus berdansa lagi seperti kemarin. Tapi pada jalan yang lumpurnya masih ada, Nika tak canggung lagi memegangi tangan Riko.

"Aku hanya takut pacat Rik, iiih ngeri kalau ingat pacat kemarin," kata Nika lirih sambil menatap rerumputan hampir setinggi lutut. Untung rumputan tak dalam keadaan basah dan lembab, sudah mengering disinari matahari pagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun