Mohon tunggu...
Tyan Nusa
Tyan Nusa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Sedang Menempuh Studi Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Irisan Filsafat dan Teologi

29 Agustus 2022   19:24 Diperbarui: 29 Agustus 2022   19:34 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nb: Late-Post

Filsafat dan teologi adalah dua topik yang sensitif cukup rumit untuk saling disandingkan. Sejak lama, bagi mayoritas umat beragama, dua kutub ini saling dipertentangkan satu dengan yang lain. Di Indonesia, kita sering menjumpai wacana-wacana serupa. 

Ketika filsafat ingin berdiri independen, sejenak membebaskan diri dari otoritas wahyu dan teologi, para militan yang mengaku lebih religius dan bermoral, merasa risih dan terusik. Padahal visi filosofis di lingkungan akademik tidak mengajarkan masyarakat untuk membelot, apalagi menjadi "atheis". 

Sebaliknya, filsafat merawat dan mempertajam intuisi dan kepekaan manusia dalam merefleksikan relasinya dengan yang transenden, alam, sesama dan dirinya sebagai pribadi yang subjektif.

Sehingga tidak mengherankan, di lingkungan Gereja, filsafat mendapat tempat istimewa. Bersama studi teologi, keduanya adalah aktivitas yang saling berintegrasi. Di Abad Pertengahan misalnya, filsafat dijadikan sebagai "hamba teologi" (ancilla theologiae). 

Teolog patristik seperti Yustinus Martir (100-165) bahkan melihat iman Kristen sebagai pemenuhan kebenaran yang dicari oleh para filsuf Yunani. Sehingga sebagai pemula, dalam risalah singkat ini, kami berusaha menjejaki titik temu filsafat dan teologi dengan beberapa tahap.

Gereja Purba dan Alam pikir Yunani

Filsafat barat yang lahir di Yunani sekitar 7SM, telah menyodorkan sudut pandang baru untuk merefleksikan dunia dengan keluar dari tradisi mitologi. Meskipun gagasan seputar manusia baru dimulai 4SM di era Sokratik, sikap kritis yang sudah ada, begitu dihargai hingga mendominasi Yunani dan asia minor.

Pada abad pertama, Kekristenan yang lahir dan berkembang keluar dari kota Roma tidak begitu saja membuka diri terhadap filsafat. Dalam Kis 17: 17-18, rasul Paulus yang hadir di Athena tidak jarang bertukar pikiran dengan orang-orang yang dijumpainya di sana. 

"Dan juga beberapa filsuf dari golongan Epikuros dan Stoa yang bersoal-jawab dengan dia." Usaha memperdamaikan filsafat dan teologi baru terlihat jelas di awal abad pertengahan.

Dalam periode patristik para bapa Gereja yang adalah teolog sekaligus filsuf berusaha menjebatani filsafat dan iman kristen. Misalnya, Agustinus (354-430) yang juga seorang neoplatonis, begitu tulen memperdamaikan Plato dan Aristoteles dengan menempatkannya dalam konteks Kekristenan. 

Ia menyadari bahwa ide-ide kesempurnaan yang ada dalam diri Allah diwujudkan dalam materi yang tidak sempurna. Sehingga sewatu penciptaan, dunia dan segalah isinya mengambil bagian dalam adanya Allah. Begitupun manusia dimungkinkan untuk mengenal kebenaran.

 Contoh ini memperjelas bagaimana konsep dualisme jiwa dan badan (dunia praeksistensi) Plato, mempunyai korespondensi dengan ajaran kekristenan tentang kehidupan setelah kematian. Ini adalah contoh paling umun yang bisa kita temukan.

Kemudian di Abad Pertengahan, iman dipahami dan direfleksikan dengan lebih intektualistik. Apa yang dikenal dengan teologi di abad ini, mulai jelas dibedakan dengan filsafat kristiani di era Agustinus. Anselmus Canterbury (1033/34-1109) memperkenalkan istilah Fides Quarens Intellectum (Iman yang mencari pemahaman) sebagai caranya mendefinisikan teologi. 

Ia ingin membuktikan dengan akal budi (ekspresi filosofis), bahwa Allah sebagai apa yang memang diimani oleh orang kristiani dan demikian juga seluruh isi iman kristiani, bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga bisa dimengerti bahwa oleh Thomas Aquinas (1225-1274) iman merupakan sebuah peristiwa pembenaran dan tampak dalam kausalitas timbal balik antara yang memungkinkan untuk beriman dan buahnya.

Pengalaman Religius dan Pengalaman Iman

Distingsi pengalaman religius dan pengalaman iman sepertinya cukup sepadan untuk menyederhanakan titik temu antara filsafat dan teologi. Dalam pengalaman religius seorang manusia sebagai pribadi yang subjektif, mempertanyaan dan menyadari diri di dalam dunia, eksistensi keberadaannya, hingga ide kesempurnaan yang baginya terparti dari kesadaran akan ketidaksempurnaannya. 

Titik berangkatnya selalu dari manusia. Sedangkan pengalaman iman bermula dari inisiatif Allah yang mewahyukan diri-Nya sepanjang sejarah keselamatan. Begitu pula dengan teologi. Sehingga filsafat dan teologi secara sederhana bisa dimaknai sama sebagai usaha intelektual manusia menanggapi panggilan hidupnya. 

Pengalaman keterasingan manusia yang berusaha merumuskan eksistensi dan arah hidupnya berbekal intelektualitas dan sikap kritis, menjadi persimpangan utama antara filsafat dan teologi.

"Philosophy, as I shall understand the word, is something intermediate between theology and science. Like theology, it consists of speculations on matters as to which definite knowledge has, so far, been unascertainable; but like science, it appeals to human reason rather than to authority, whether that of tradition or that of revelation."

Bertrand Russell on Introduction in History of Western Philosophy 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun