Mohon tunggu...
Tyan Nusa
Tyan Nusa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Sedang Menempuh Studi Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akleema

30 November 2020   20:39 Diperbarui: 30 November 2020   20:53 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit yang muram mengaduh. Gumpal  awan hitam bebas berlabuh. Bersamaan dengan kepala yang  penuh bisik-bisik dan khawatir. Saat tangannya melekap jemari wanita yang merangkulnya, butir-butir air berguguran membasahi tanah merah. Lalu sekejap hilang oleh debuh dan angin. Juga risau dalam wajah-wajah lengah mereka.

Saya sudah tidak tahan di sini. Sejuk sejak tadi mendatangkan gelisah.

Laahh…Tapi disini menyenangkan. Lebih baik dari berkubang dalam ruang sempit itu. Menyaksikan dua orang beradu mulut dan lutut. Setiap detik berdetak dan retak menghalang-halangi nalar. Juga! baru pertama kaka membawa saya ke sini kan! Kenapa buru-buru?”

Bulan tidak terang lagi. Tidak baik berlama-lama. Dan bapamu pasti sudah geram ingin merajamku. Coba tebak kali ini dengan arit atau kujang?

Ahh ngaco! Kali ini takhayul atau firasat?

Hanya penghilang gugup. Tapi! Memangnya kamu tidak kasihan pada Akleema?

Si Wanita hanya takjub dan haru melompat-lompat dalam benaknnya. Barangkali sampai lupa pada siapa dia menyapa. Ayo pulang! Kata laki-laki untuk sekian kali. Bersama pasar malam yang mereka datangi dan Akleema yang mereka nanti.

Di simpang pertama kendaraan mereka berbelok. Melaju di lintasan Aspal berasap lembap karena derai hujan. Kabut tidak turun dan kunang-kunang malu untuk keluar. Sadar seperti sudah biasa menyaksikan parade seperti ini. Di atas boncengan. Laki-laki dengan kemudinya dan wanita yang sibuk mengeluh.

Dingin mengantar mereka pulang. Seperti pasrah pada waktu. Zena mengiyakan saja. Karena sadar waktu mereka sudah tak banyak. Berpikir laki-lakinya yang sedikit lagi pergi. Kasihan dan malu memenuhi mata dan nafasnya. Seperti masa yang tumbuh dewasa merasa putus asa. Yang tahu hanya menjaga Akleema.

Di simpang kedua. Bersama kontur tanah yang mulai bergelombang. Laki-laki itu menyela lelah di udara. berucap: aku mau mati nanti seperti Tek Hoay. Moestari dan Noerani. Sang komunis. Tak terkenang dan tak disanjung. Terpajang dalam etalase perpustakaan dan toko-toko buku tua di pinggiran kota yang jarang dijejaki. Romantis, elegan dan setia sampai tiada. Hal yang membuat wanita itu makin jatuh hati. Seperti hawa-hawa lain yang suka dimakan emosi dalam kata-kata yang memabukan.

 Sembarang!!!Jangan mencita-citakan ajal. Tapi, misalnya kalau abah menerima. Kaka tidak harus pindah kan? Kota ini membuat kita bahagia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun