Suku kei adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami kepulauan kei diprovinsi maluku. Masyarakat suku kei bertutur menggunakan Bahasa kei yang berfungsi sebagai Bahasa antara masyarakat dikepulauan kei. Orang kei sendiri menyebut dirinya EVAV, artinya pulau babi. Pendapat lain mengatakan bahwa kei berasal dari Bahasa portugis kayos yang artinya keras. Mungkin dikarenakan pulau-pulau tersebut terbentuk dari batu-batu karang dan ditumbuhi berbagai jenis-jenis kayu yang keras. Dalam catatan-catatan sejarah menunjukan bahwa kepulauan kei pada masa lampau sudah perna dikunjungi oleh pelau asing. Bukti-bukti sejarah ini sendiri menunjukan bahwa kepulauan ini perna dihuni oleh manusia-manusia yang berkebudayaan sama seperti diaustralia bagian utara. Ada pula sisa peninggalan manusia berkebudayaan peralihan dari daratan asia, antara lain ditemukannya nekara dan kapak upacara dari perunggu di kepulauan itu . pendapat lain yang lebih kuat, suku kei mempunyai hubungan kekerabatan dengan salah satu komunitas di bali. Hasil penulusuran sementara, di Yakini nenek moyang suku kei datang dari desa penda'wah. Kepala dinas kebudayaan kabupaten buleleng, Drs.gede komang, M.Si. mengatakan bahwa para peneliti dari maluku tenggara sangat yakin dan percaya bahwa asal-usul mereka berasal dari penda'wah. Hal itu berlandaskan hikayat
dan cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun, serta bentuk rumah adat antara suku kei dengan warg peda'wah sangat mirip. Kemiripan lain yakni ada kosakata tombak yang hingga kini dipegang teguh masyarakat Kei. Bahkan orang tanimbar kei merupakan sub suku kei, mayoritas masyarakatnya beragama hindu dan memiliki kemiripan lain mirip masyarakat suku bali.
Sistem Bahasa Kei (disebut juga Veveu Evav, Veu Evav)Adalah salahsatu Bahasa dalam rumpun Bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan olehsuku kei, yakni orang-orang yang berasal dari kepulauan kei, atau yang mengakusebagai warga pribumi dari 207 desa di kei kecil, pulai kei besar, dan pulau-pulau
sekitarnya. Warga penghuni pulau kur dan kaimear adalah masyarakat penutur Bahasa
kur, sementara warga desa Banda Eli (Wadan El) dan (Banda Elat) di Key Besar adalah
masyarakat Penutur Bahasa Banda. Kelompok-kelompok masyarakat ini berimigrasidari kepulauan Banda masih melestarikan Bahasa asli leluhur mereka, namun mereka mampu menuturkan Bahasa kei yang merupakan Lingua Franca di kepulauan ini.Kepulauan kei dianugerahi terumbuh karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat maluku, mata pencaharian suku kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok tanam, berburuh, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Masyarakat kei juga menghasilkan rempah-rempah atau
komuditas yang bernilai tinggi. Ikan dan teripang berlimpah ruah di laut sekitar
kepulauan kei. Menangkap ikan adalah aktifitas sekunder. Keluarga-keluarga yang
umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa
menangkap ikan dengan menggunakan peralatan ikan seperti, kail, lembing, dan jala,
atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbuh karang dan ceruk-ceruk pantai pada air laut surut. Sejak tahu 1980-an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Tata Kelolah Laut Tradisional Masyarakat Adat di Pulau Kei (SASI) sebagai Obyek Perlindungan. Traditional Knowledge merupakan pengetehuan yang dimiliki oleh sekelompok orang secara turun-temurun, meliputi pengolahan makanan, tarian-tarian, lagu, cerita rakyat, termasuk juga pengelolahan Sumber Daya Alam. Sasi sebagai tatakelolah laut yang dipraktekkan oleh masyarakat adat di pulau kei, merupakan sebuah contoh dari
Traditional Knowledge. Mengenai pengertian sasi itu sendiri, secara harafiah berarti larangan. Secara umum, sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil, atau melakukan sesuatu dalam Kawasan tertentu, dan dalam jangka waktu tertentu. Penentuan jangka
waktu sangat berhubungan dengan kebutuhan masyarakat adat setempat, masa layak panen dan musim. Walaupun jangka waktu sasi telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu layak panen, akan tetapi sasi dapat saja dibuka sebelum waktu yang disepakati sebelumnya, jika sebuah kampung membutuhkan dana untuk pembangunan kampung. Demikian pula sebaliknya, waktu buka sasi dapat saja di undur, karena sebuah kampung belum membutuhkan dana.
Traditional knowledge harus dilindungi karena pengetahuan tradisional ini merupakan
pengetahuan yang penting terhadap identitas dari suatu komunitas masyarakat adat.
Suku Kei memiliki kekerabatan yang cukup kompleks, dengan kesatuan kerabat yang
terkecil dalam masyarakat Key adalah keluarga. Inti yang disebut Riin Rahan atau Ub. Gabungan dari keluarga inti ini disebut Rahayan atau Fam (klan kecil) yang dapat
berkembang menjadi stu klan besar yang dikenal dengan nama Soa. Sebuah kampung
(ohoi) biasanya didiami satu Soa. Beberapa kampung bergabung menjadi satu desa
yang disebut negeri. Soa-soa yang bergabung di satu negeri yang terbagi menjadi dua
golongan, yaitu golongan Ursiu dan Lorlim. Kepemimpinan tradisional desa biasaanya dipegang oleh rang-orang dari Soa yang pertamakali mendiami daerah itu. Orang kei menganut prinsip Patrilineal (melalui pihak ayah atau laki-laki). Dalam hal perkawinan mereka mencari pasangan dilingkungan lapisan sosial yang sama. fam lebih menentukan kedudukan seseorang da dalam hubungan kekerabatan mereka menganut asat Primonegenitur, dimana hak anak sulung atau senior lebih diutamakan. Ketentuan-ketentuan adat warisan leluhurnya mereka sebut LARVUL NGABAL.
Selain mengantur perilaku anggota masyarakat hukum adat ini juga menggariskan
masyarakat kei kedalam dua kelompok adat. Pertama, kelompok Ursiu atau persekutuan sembilan yang berdiam di kecamatan Kei Kecil. Kedua, Lorlim atau persekutuan lima yang berdiam dikecamatan kei besar. Simbol keberadaan kedua kelompok adat ini antara lain terlihat dari jumlah tiang balai adat (abua) dikampung-kampung mereka. Tiang balai pada kelompok adat ursiu berjumlah Sembilan buah sedangkan padaa kelompok Lorlim berjumlah Lima buah. Struktur sosial masyarakat kei menjadi tiga golongan atau lapisan sosial yaitu:
1. Mel-mel, merupakan golongan terpandang, biasanya adalah para pemimpin adat
dan orang kaya pada lapisan sosial teratas.
2. Ren-ren, merupakan golongan tengah terdiri dari rakyat biasa kebanyakan.
3. Hiri-hiri, merupakan kelompok budak tidak memiliki apa-apa yang dikenal (pada
masalalu), Sistem pelapisan sosial dari masa lalu sebagian masih terlihat pengaruhnya dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Misalnya dalam menentukan jodoh, menentukan pemimpin masyarakat, tatakrama dalam pergaulan sehari-hari, dan keterlibatan dalam upacara tertentu.
Agama dan Kepercayaan
Saat ini, umumya orang kei sudah memeluk agama seperti Islam dan kekristenan, bahkan orang tanimbar kei yang mendiami pulau tanimbar kei mayoritas beragama hindu sama dengan leluhurnya yang berasal dari bali. Akan tetapi, sebagian masih meyakini konsep seperti roh-roh dan kekuatan-kekuatan sakti menurut religi leluhurnya. Roh (mitu) dianggap bisa mendatangkan kebahagian dan kegelisahan. Panen yang berhasil atau gagal, kehidupan yang sejahtera atau mala petaka yang menimpa peduduk berasal dari kekuatan itu. Karena itu, selain melakukan upacaraupacara kecil dilingkungan keluarga setiap tahun mereka mengadakan pula upacara khusus seperti, membersihkan ohoi secara masal. Upacara bersih desa (ohoi) ini disebut Sob-sob. Mitu atau kekuatan sakti dapat pula diperalat oleh manusia melalui praktek ilmu ghaib yang mereka sebut hawang (suanggi).
Kesenian Suku kei