Mohon tunggu...
Leni Mathavani
Leni Mathavani Mohon Tunggu... Narratives with integrity. Insights with impact.

Penulis dan Psikolog yang merangkai cerita ringan dengan sentuhan psikologi, refleksi kerja, dan keheningan sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daun Tanaman di Taman Rumah Kita Mulai Mengering

16 Oktober 2025   06:15 Diperbarui: 16 Oktober 2025   13:12 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul 02.30 dini hari. Ia mengantar Alexa ke bandara untuk penerbangan pertama menuju Singapura. Tidak ada pelukan panjang, hanya tatapan yang menyimpan kepercayaan. Setelah Alexa masuk ruang tunggu, ia langsung menuju parkiran. Di perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari tim operasional: sistem di salah satu cabang mengalami disfungsi, alarm berbunyi tanpa henti.

Ia tidak langsung menjawab. Sebagai Direktur Operasional, ia tahu bagian-bagian teknis sudah bergerak. Ia memilih memantau dari jauh, siap turun tangan jika dibutuhkan.

Sesampainya di kantor, suasana sudah berubah. Bukan pagi yang tenang, tapi pagi yang penuh ketegangan. Ruang kendali dipenuhi suara klik, desahan napas, dan alarm yang tak kunjung berhenti. Tim sudah berkumpul, wajah mereka menampakkan kelelahan yang belum sempat diakui. Mereka mencoba meremot sistem, namun layar hanya menampilkan kegagalan berulang. Alarm dari cabang lain mulai menyusul, seperti gelombang yang menandakan krisis sedang meluas.

Ia tidak berdiri di belakang mereka. Ia duduk di tengah mereka. Bukan sebagai pengarah, tapi sebagai rekan kerja. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, kehadiran lebih penting daripada jabatan. Ia membuka laptop, menyisir protokol, menyimak laporan, dan sesekali menatap mata timnya, menegaskan bahwa mereka tidak sendiri.

Menjelang petang, sistem belum juga pulih. Kerugian mulai terasa. Bukan hanya angka yang tercatat, tapi juga reputasi, kepercayaan, dan moral tim yang mulai goyah. Ia merasa terpukul. Bukan karena gagal, tapi karena tanggung jawab yang menumpuk tanpa jeda. Ia tahu, keputusan harus dibuat. Maka ia memilih untuk tetap tinggal. Ia menginap di kantor, bersama para engineer dan konsultan. Ia tidak ingin ada satu pun dari mereka merasa ditinggalkan.

Di malam yang sunyi, ia berjalan menyusuri lorong kantor. Lampu-lampu redup, kopi dingin di meja, dan suara alarm yang masih terdengar samar. Ia berhenti di depan jendela, menatap taman kecil di luar yang mulai kehilangan warna. Daun-daunnya mengering. Ia tersadar: taman itu seperti dirinya. Terlalu lama tidak dirawat, terlalu sibuk menjaga sistem, hingga lupa bahwa pemulihan juga butuh ruang.

Gawai miliknya tetap diam. Pesan dari Alexa belum sempat dibaca.

Hari-hari berikutnya, ia hidup dalam ritme operasional. Mandi seadanya, pakaian dari loker, makan sekadarnya. Ia tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai kehilangan sinyal perawatan. Seperti taman yang tak lagi disiram, daun-daun di dalam dirinya mulai mengering.

Sementara itu, Alexa melanjutkan tugas ke Kalimantan. Ia sudah menyampaikan sebelumnya bahwa akan mendampingi George Lewis, mahasiswa dari IOWA University, bertemu dengan para direktur dan komunitas operasional. Lokasi unit bisnis di sana masih terbatas sinyal. Komunikasi menjadi tantangan.

Sebulan berlalu. Keduanya nyaris kehilangan momen-momen penting. Alexa tetap mengirimkan pesan, kadang hanya satu kalimat: “Semoga kamu makan hari ini.” Ia membalas, kadang terlambat, kadang hanya dengan emoji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun