“Tell me about your dream house,” ia bertanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi rotan yang mulai hangat oleh matahari sore.
Pertanyaan itu muncul di tengah percakapan ringan, tapi nadanya penuh makna.
Saya menatapnya, lalu menjawab dengan mata berbinar:
“Sebuah rumah dengan ruang hijau, ruang baca, ruang keluarga, dapur yang hangat, dan kamar dengan ventilasi yang luas. Warnanya netral, hitam, putih, abu-abu. Minimalis, hanya furnitur yang benar-benar dibutuhkan. Kalau bisa, ada sudut kecil untuk yoga.”
Ia tersenyum. “Kamu memang suka di rumah, ya. Harusnya setiap sudut bikin kamu nyaman.”
Saya hanya tersenyum. Karena saya tahu, rumah impian saya bukan hanya soal desain, tapi tentang siapa yang ada di dalamnya. Bersamanya, semua terasa nyaman. Ia adalah rumah ternyaman saya.
Kita mulai mencari rumah dengan cara yang mungkin tak akan ditemukan di brosur.
Bukan sekadar menghitung jumlah kamar atau luas bangunan, tapi duduk berdua di ruang makan, membuka peta, dan menandai titik-titik yang terasa aman.
Ia mencatat lokasi yang jauh dari jalur banjir dan lereng curam. Saya menelusuri kontur tanah, membayangkan pondasi yang bisa berdiri dengan tenang. Kita bicara tentang arah mata angin, posisi pintu, dan fengshui yang memberi rasa seimbang, bukan sebagai aturan, tapi sebagai cara untuk merasa damai.
Di sela-sela diskusi, kita menyisipkan pertanyaan kecil:
“Kalau nanti anak-anak sekolah di sini, bisa jalan kaki?”
“Kalau salah satu dari kita sakit, rumah sakit terdekat bisa dijangkau cepat?”
“Kalau pulang kerja malam, jalannya cukup terang dan tidak sepi?”
Setiap pertimbangan bukan hanya soal logika, tapi tentang bagaimana rumah itu bisa menjadi tempat yang melindungi, memulihkan, dan mendukung ritme hidup kita.
Kita tidak mencari rumah yang sempurna di mata orang lain, kita mencari rumah yang bisa tumbuh bersama kita.
Dan ketika akhirnya kita berdiri di depan rumah itu, yang sederhana, tenang, dan terbuka, saya tahu, ini bukan hanya rumah impian saya. Ini rumah kita.
Di dalam rumah, setiap sudut terasa dipikirkan dengan hati.
Ia tidak memilih sofa karena tampilannya di katalog, tapi karena bentuknya yang tidak mendominasi.
Meja kayu di ruang tamu cukup luas untuk dua cangkir teh dan percakapan yang tidak tergesa.
Di dapur, rak-rak disusun berdasarkan kebiasaan kita.
Saya yang sering memasak pagi, ia yang lebih cepat menjangkau bumbu.
Tidak ada sudut yang “punya siapa”. Semua bisa diakses, semua bisa digunakan.
Ventilasi yang luas bukan hanya untuk sirkulasi udara, tapi untuk memberi ruang bagi pikiran yang jernih dan percakapan yang terbuka.
Interior rumah ini menjadi latihan harian: mendengar, menyesuaikan, mengikuti tanpa kehilangan jati diri, dan mengarahkan tanpa mendominasi. Kita percaya bahwa kenyamanan adalah bentuk penghargaan terhadap ritme dan kebutuhan yang berbeda.
Di luar rumah, pagar tidak sepenuhnya menutup.
Ada taman kecil yang bisa dilihat dan dinikmati oleh tetangga.
Lampu-lampu dipasang dengan cermat, cukup terang untuk rasa aman, tapi tidak menyilaukan.
Ia tidak hanya memikirkan estetika, tapi juga bagaimana rumah ini bisa hadir di lingkungan dengan cara yang ramah dan terbuka.
Pagar yang setengah terbuka adalah undangan diam bagi tetangga untuk merasa dekat, tanpa harus mengetuk pintu.
Eksterior rumah ini adalah tentang bagaimana kita hadir di ruang luar, terlihat, terbuka, dan siap mendengar.
Di rumah ini, tidak ada panggung. Tidak ada audiens.
Tidak ada sorotan yang menuntut peran sempurna.
Yang ada hanyalah kebiasaan kecil yang terus berulang, nyaris tak terlihat, tapi membentuk karakter kita setiap hari.
Pagi-pagi, ia menyusun ulang rak di dapur. Bukan karena berantakan, tapi karena saya lebih sering memasak dan rak itu terlalu tinggi untuk saya jangkau.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya memindahkan bumbu ke tempat yang lebih rendah. Saya tahu, itu caranya menghormati ritme saya.
Setiap pagi, saya membuka jendela lebih awal. Udara segar masuk, menyapu sisa kantuk, memberi ruang bagi pikiran yang jernih.
Kita tidak pernah membicarakan itu sebagai rutinitas, tapi kita tahu: itu cara kita menyambut hari bersama.
Warna dinding kita pilih dengan hati-hati.
Bukan yang paling trendi, tapi yang tidak menekan suasana.
Abu-abu lembut di ruang tamu, putih bersih di kamar, dan sedikit hijau di sudut baca.
Kita ingin setiap ruang memberi rasa tenang, bukan tuntutan.
Di rumah ini, setiap keputusan kecil adalah bentuk penghormatan terhadap orang lain.
Setiap kebiasaan adalah latihan nilai-nilai yang kemudian kita bawa ke ruang kerja, ke komunitas, dan menjadi budaya yang dirasakan oleh banyak orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI