"Hari ini ada PR apa?" adalah pertanyaan wajib yang selalu kami ajukan kepada anak menjelang waktu belajarnya pada sore hari. Sesekali ia akan menjawab dengan cepat dan yakin, tetapi ada kalanya ia mengernyit karena lupa-lupa ingat.Â
Duduk di kelas tiga, materi yang ia pelajari semakin kompleks. Kadang-kadang ia bercerita mengenai apa yang dialaminya di ruang kelas, "Bu, tadi Pak Guru menjelaskan soal ini, tapi aku belum mengerti maksudnya." Atau, "Bu, hari ini aku masih salah menjawab pertanyaan dari Bu Guru."
Sebagai orang tua, kami selalu ingin anak menjalani proses belajar di sekolah dengan lancar tanpa hambatan. Kami berharap anak bisa segera memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun, jika yang terjadi malah sebaliknya, apakah perlu kecewa atau marah? Apakah ada pihak yang perlu disalahkan?
Sejak anak bersekolah, kami makin menyadari bahwa menjadi orang tua itu memang sulit. Bukan saja harus melatihnya untuk disiplin, seperti bangun pagi setiap hari agar tidak terlambat ke sekolah, tetapi juga untuk mendampinginya dalam proses belajar sebagai bekal untuk meraih masa depan yang terbaik.Â
Karena sulit itulah, maka kami pun memutuskan untuk "belajar" mengatasinya. Secara umum, ada dua hal yang kami lakukan, yakni belajar dari sumber-sumber tepercaya dan belajar dari pengalaman. Sumber-sumber tepercaya adalah para ahli yang membagikan pendapatnya lewat buku bacaan, acara seminar, atau wadah lainnya. Di sisi lain, belajar dari pengalaman artinya kami mengamati keseharian dan cara belajar anak, lalu berdiskusi untuk menentukan strategi belajar yang terbaik untuknya. Â
Kombinasi dari kedua hal tersebut menghasilkan sejumlah panduan yang kami terapkan secara konsisten saat mendampingi anak belajar di rumah. Berikut di antaranya:
Nilai Bukan Segalanya
Saat anak menunjukkan nilainya kepada kami, perasaannya terlihat jelas. Jika nilainya bagus, ia akan senang. Jika nilainya jelek, ia akan sedih. Menurut saya, adalah wajar bagi anak merasa sedih atau senang gara-gara nilai tersebut. Bagi anak, nilai itu semacam reward atau hadiah yang didapatkan setelah belajar. Dinilai jelek berarti ia belum belajar dengan baik. Bisa juga merasa diperlakukan tidak adil karena ia merasa sudah belajar dengan baik.Â
Alhasil, persoalan nilai jadi memengaruhi diri dan usahanya. Satu dua kali ia ngambek dan tidak mau belajar. Meski belajar, toh nilainya belum tentu bagus. Sikap ini tentu merugikan anak, apalagi jika berlangsung terus-menerus. Kami pun pelan-pelan memberikan pemahaman pada anak bahwa nilai bukan segalanya dan bukan menjadi hal terpenting dalam proses belajar.Â
Benar, nilai akan menjadi reward yang menyenangkan. Namun, yang lebih utama dari itu adalah bagaimana ia melewati proses belajar hingga mendapatkan nilai tersebut. Apakah ia menikmati ketika menjalani proses "dari tidak tahu menjadi tahu"? Yaitu ketika pikiran terbuka, dan akhirnya seperti yang dirasakan Archimedes ketika berteriak, "Eureka!"
Karena memegang konsep ini, kami tidak pernah memarahi anak saat mendapatkan nilai jelek. Hal yang kami lakukan adalah mengajaknya untuk refleksi. Melihat kembali bagaimana proses belajarnya, lalu membantunya mempelajari bagian yang belum dipahami. Tak lupa menegaskan bahwa meraih pengetahuan lebih penting daripada angka-angka nilai di atas kertas.