Mohon tunggu...
Lely Zailani
Lely Zailani Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendiri dan aktif di HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) organisasi non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan akar rumput di perdesaan. Saat ini tinggal Deli Serdang Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Enam Bulan Pandemi Semakin Tak Terkendali

30 September 2020   21:17 Diperbarui: 30 September 2020   21:49 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari Pinterest

Per hari ini (30 September 2020) wordldometer mencatat bahwa kasus virus corona dunia sudah mencapai 33,838,566 kasus positif, 1,012,589 meninggal dan 25,143,927 sembuh. Tiga tertinggi dunia adalah USA di posisi pertama dengan kasus positif 7,406,146, kedua India dengan 6,223,519 kasus positif, dan ketiga Brazil, dengan kasus positif sebanyak 4,780,317. Setelah 2 kasus positif pertama di bulan Maret 2020, saat ini Indonesia berada di nomor 23 dunia, dengan angka positif 287,008, meninggal 10,740 kasus dan sembuh 214,947.

Belajar dari Negara Lain

Dari 215 negara yang melaporkan diri mengalami kasus corona, per 30 September 2020, China sebagai negara pertama terinfeksi Covid-19 pada Januari 2020 sudah berada di nomor  44 dunia, tanpa kasus kematian lagi. 

Negara tetangga kita, Malaysia, berada di nomor 95 dunia (sangat jauh dari Indonesia yang  berada di nomor 23 dunia). Malaysia sudah melakukan lockdown sejak Maret 2020, melakukan pelonggaran, lalu lockdown lagi pada Mei -- Juni. 

Kasusnya naik lagi setelah melakukan pelonggaran pada Agustus, sehingga pada September mengalami kenaikan grafik lagi. Namun dari sisi kematian, pada 30 September Malaysia nol angka kematian baru.

Belajar dari China, Malaysia dan negara lain yang berhasil menurunkan grafik hingga nol kematian setelah enam bulan pandemi dan berangsur-angsur memulihkan diri, dapat dicatat tiga hal :

Pertama, kebijakan yang sifatnya menyeluruh.

Jika pemimpin Indonesia menilai bahwa menjaga jarak antarmanusia adalah kebijakan yang paling tepat, mestinya kebijakan ini (konsisten) diikuti dengan upaya tegas mendisiplinkan warga untuk menjaga jarak dan menghindari terjadinya kerumunan orang. 

Pemerintah telah mengambil kebijakan menunda penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 karena pandemi virus corona. Kebijakan pelaksanaan pendidikan (sekolah dan kuliah) juga dilakukan dari rumah secara daring untuk mencegah kerumunan dan klaster baru penyebaran Covid-19.

Konsisten dengan kebijakan tersebut, mestinya pemerintah juga bisa menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah keraguan akan munculnya klaster baru penyebaran Covid-19, sekaligus mendengarkan seruan yang disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian juga diserukan oleh Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU).

Kebijakan lain adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di DKI Jakarta misalnya, secara konseptual kita (public) bahkan belum memiliki persepsi yang sama. 

Apakah PSBB berbeda dengan lockdown? Lalu apalagi bedanya dengan mini lockdown sebagai intervensi berbasis lokal yang dinilai lebih efektif dalam mengendalikan penyebaran Covid-19?

Mari kita lihat PSBB yang sudah diterapkan tiga kali di Jakarta (April, Juni dan September). Salah satu experience-based dari Jakarta adalah, bahwa selama Jakarta tidak menerapkan PSBB yang koordinatif, komprehensif dan integratif dengan daerah-daerah penyangga di sekitarnya (Jawa Barat dan Jawa Tengah), maka  penerapan  kebijakan PSBB tidak akan mencapai hasil yang maksimal seperti yang terjadi selama ini. Hasilnya jauh sekali dari signifikan.

Pada bulan Juni, pernah terjadi penurunan grafik, tetapi kalau kita lihat dengan jeli, itu bukan sepenuhnya hasil PSBB, melainkan karena terjadinya mudik. 

Sehingga terjadi tumpahan mangkuk merah Jakarta dan memunculkan epicentrum baru di daerah-daerah lain di Indonesia. Kebijakan yang parsial tidak akan memberikan hasil yang signifikan, seperti yang selama ini terjadi di Indonesia.

Kedua, kepemimpinan yang kuat dan memberikan teladan.

Tugas utama untuk pemimpin negeri ini adalah melindungi dan menyelamatkan nyawa rakyatnya. Pemerintah, DPR dan lembaga-lembaga lain yang telah memeroleh mandat rakyat untuk memimpin negeri ini harus memberikan jaminan dan kepastian agar rakyat mendapatkan harapan untuk menyelesaikan persoalan pandemic saat ini. Selain tepat mengambil kebijakan (yang bijak) sekaligus menjadi teladan.

Tidak dengan pernyataan yang berubah-ubah, bahkan berbeda-beda antara pimpinan tertinggi dengan para pembantunya. Atau dengan pernyataan dan perintah ragu-ragu, tidak konsisten (PSBB untuk lockdown, lockdown mini untuk isolasi orang) dan sebagainya yang menyebabkan rakyat semakin bingung dan semakin abai pada pandemic. 

Segala tindakan dan sikap para pimpinan negeri ini harus fokus pada kepentingan keselamatan nyawa rakyat, bukan untuk uji coba pendekatan.

Ketiga, tanggungjawab seluruh rakyat Indonesia (Civic Responsibility).

Hingga enam bulan berjalannya pandemi Covid-19, dokter Tifauzia Tyassuma, Pendiri Komunitas Relawan Pejuang Lawan Covid-19 (RPLC-19) menilai peran serta rakyat Indonesia masih sangat minim dalam ikut serta menghentikan laju pandemic.

Mayoritas rakyat Indonesia (kita) berperan terbatas, diperankan atau memerankan diri (hanya) sebagai penyaksi dan sekaligus korban dari situasi pandemic ini. 

Takut kelaparan, lebih senang mengambil risiko mencelakakan diri sendiri dan orang lain dengan tidak memakai masker, tidak (rajin) mencuci tangan dan tidak menjaga jarak. 

Bahkan masih percaya corona itu tidak ada, corona itu rekayasa atau (kalaupun ada) tidak lebih berbahaya dari demam berdarah dan narkoba.

Ketiga hal itu, kebijakan yang menyeluruh, kepemimpinan yang kuat dan memberi teladan serta tanggungjawab seluruh rakyat (civic responsibility) harus dibangun dengan pengetahuan, penuh kesadaran, secara komprehensif, integratif dan konsisten. Inilah faktor utama yang akan membuat grafik segera turun dan negeri ini terbebas dari pandemic covid-19.

Menghentikan Laju Pendemi 

Ditinjau dari perjalanan penyakit, pandemic covid-19 di Indonesia sudah melampaui fase akut (terjadi sebelum enam bulan) menuju kronis (setelah enam bulan). 

Kalau sudah menuju fase kronis, berarti satu demi satu organ di dalam tubuh sudah mengalami ketidakmampuan menjalankan fungsinya (malfunction) atau mengalami gangguan fungsinya (disfungtion). 

Jika tidak ada treatmen, pendekatan, atau tata laksana yang betul-betul bisa menghentikan laju perkembangan penyakit (patofisiologi) tersebut, organ-organ tubuh jelas akan terganggu (organ disorder) sampai akhirnya berhenti (demage) fungsinya dan manusia mengalami kematian.

 Jika dianalogikan dengan kedaan Indonesia dengan pandemi corona setelah enam bulan, kalau tidak segera dilakukan tata laksana yang secara komprehensif bisa menghentikan atau mengurangi laju pandemi, maka Indonesia bisa mengalami disfungsi sistemik dari setiap sistem yang ada. Mulai dari disfungsi kesehatan internal (warga) menjadi disfungsi system kesehatan public, hingga menimbulkan destruksi sosial dan politik. 

Kita pernah mengalami destruksi sosial dan politik pada 1955, 1965 dan 1998, lalu membayarnya dengan sangat mahal dan trauma yang belum juga hilang.

 PSBB Menyeluruh

Jika PSBB dimaksudkan untuk menghentikan laju penyebaran pandemic sebagaimana dimaksud dengan lockdown, maka PSBB secara menyeluruh merupakan satu-satunya langkah yang sudah teruji dan terbukti selama 1400 tahun sejak zaman Rasulullah SAW. Bahkan jauh sebelumnya, pada 2000 tahun sebelum Masehi, pernah terjadi wabah yang dilaporkan oleh sejarah yang terjadi di Mesir wabah itu berhenti ketika negara (Mesir) melakukan lockdown.

Sabda Rasulullah sangat jelas, bahwa langkah terbaik untuk menghentikan wabah adalah dengan melakukan pembatasan. Nabi Muhammad SAW pernah memperingatkan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Dan sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar.

Seperti diriwayatkan dalam hadits : yang artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).

Sementara itu, Allah menjanjikan surga dan pahala yang besar bagi siapa saja ummatnya yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit, seperti disampaikan pada hadits lain : yang artinya : "Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR Bukhari)

Jadi, lockdown atau PSBB harus menjadi kebijakan yang menyeluruh sifatnya. Didukung kepemimpinan yang kuat dan memberi teladan, partisipasi rakyat yang ikut mengambil tanggungjawab bersama. Kalau tidak, maka hasilnya tidak akan signifikan seperti sekarang. Grafik kasus yang tidak kunjung turun, malah seperti bukit barisan.***

 

Resume (1) Kuliah Online 

Bersama Dokter Tifauzia Tyassuma, MSc

Ahli Molekular Epidemiologi

Pendiri Relawan Pejuang Lawan Covid-19 (RPLC-19)

30 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun