Mohon tunggu...
Stefanus Ajie
Stefanus Ajie Mohon Tunggu... Freelancer - Stefanus Ajie

Jalan-jalan, nulis dan motret secara freelance dan konsekuen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kendi dan Semangat Berbagi

5 September 2020   14:37 Diperbarui: 5 September 2020   14:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Cepogo, Boyolali, menyediakan kendi berisi air minum bagi peserta maupun pengunjung upacara Nyadran

Di masa kanak-kanak, kami menyebut daerah itu "Etan Kali" sebuah pedesaan asri di sisi timur Bengawan Solo, sekitar wilayah Plumbon Sukoharjo. Etan Kali menjadi tempat bermain favorit saya, setiap selepas pulang sekolah. Nggak perlu uang saku, kami bisa makan sepuasnya aneka cemilan sehat seperti,  timun krai, talok, sawo, ketela atau ubi yang dibakar di samping ladang, dan buah aneh yang bernama K**t*l Je**ut*n. Sepanjang ingatan saya, di waktu itu masih banyak rumah-rumah pedesaan yang  memajang kendi berisi air dingin di depan rumahnya, boleh diminum oleh siapa saja yang melintas.

Kendi merupakan gerabah untuk wadah air minum yang menggambarkan simbol lingga-yoni, dimana di dalamnya terhadap air yang memberikan kehidupan. Gerabah mempunyai keunggulan untuk menyimpan air, pori-pori-nya akan menyerap material kapur dan zat lain dan mengendapkannya. Air yang disimpan di dalam kendi juga akan terjaga dalam keadaan dingin dan segar. Kendi di depan rumah memang disediakan gratis sebagai pelepas dahaga bagi orang-orang yang berjalan kaki ke sawah, pencari rumput, penggembala ternak, atau siapapun yang kebetulan melintas dan sedang haus. Ini sebuah gerakan sosial yang viral tanpa tagar di masa lalu, sebuah gerakan untuk saling membantu kepada siapapun, tanpa saling kenal dan sering tanpa saling bertatap muka.

Suasana upacara Nyadran di Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah 
Suasana upacara Nyadran di Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah 

Kini setelah 20-30 tahun berlalu, saat lalu lintas di pedesaan lebih didominasi sepeda motor dari pada berjalan kaki, dan warung-warung sudah banyak ditemukan di sudut-sudut pedesan, sudah sangat jarang ditemui warga desa yang masih memajang kendi di depan rumahnya. Tapi tradisi ini masih muncul kembali saat berlangsungnya Tradisi Nyadran, di Cepogo, Lereng Gunung Merapi-Merbabu. Warga yang datang dari berbagai pelosok desa untuk ikut Nyadran masih disediakan kendi berisi air dingin, pelepas haus setelah mengusung gunungan dan Tenong atau mereka yang kekenyangan makan jadah dan wajik upacara Nyadran.

Zaman bergerak, kondisi pedesaan berubah, beberapa tradisi harus bergeser. namun pedesaan masih selalu menjadi tempat yang nyaman dan ramah dalam pandangan saya. Suatu hari, saat mendokumentasikan upacara Merti Dusun di pedesaan  Gunungkidul, niat saya numpang nge-charge HP  di salah satu rumah warga, eh malah disuguhi cemilan komplit plus makan siangnya. Pernah juga berhenti sejenak di sisi Menoreh setelah melintasi Boyolali, Magelang menuju Jogja. Niatnya membeli rokok dan air minum. tapi yang punya warung malah menyuruh saya "pinarak" menawari istirahat sejenak untuk makan siang. Mungkin karena tampang saya memelas, namun saya percaya kebaikan dan dorongan untuk berbagi masih sangat  menjadi budaya hidup di sudut-sudut pedesaan.

Kendi-kendi mungkin sudah tidak lagi terpajang di depan rumah setiap hari, tetapi semangat untuk berbagi masih menjadi budaya yang hidup dikeseharian. Kendi sebagai simbol budaya boleh kalah oleh lajunya zaman, namun semoga kebaikan-kebaikan yang ada di hati manusia-nya tak akan lekang oleh waktu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun