Kompasiana.com - Di tengah hingar-bingar industri hiburan Indonesia yang penuh gemerlap bintang dan persaingan ketat,  terdapat sosok yang telah  membentuk lanskap perfilman nasional selama lebih dari setengah abad. Â
Sosok itu adalah Norman Benny, seorang maestro yang namanya mungkin tidak selalu menjadi sorotan utama, namun karyanya telah berbicara jauh lebih lantang daripada popularitas sesaat.
Lahir di Bandar Lampung pada 2 Februari 1952, Norman Benny bukanlah sekadar editor dan sutradara; ia adalah legenda hidup, seorang perintis yang dedikasinya telah mengukir sejarah abadi dalam perfilman Indonesia.
Â
Meskipun namanya mungkin kurang familiar bagi sebagian besar penonton, Â bagi para penggemar film Indonesia, terutama mereka yang tumbuh di era 90-an, nama Norman Benny identik dengan sebuah karya monumental: "Makelar Kodok". Â
Film komedi yang dibintangi oleh duet komedian legendaris, Kadir dan Doyok, ini bukan hanya sebuah hiburan ringan.
Norman Benny dalam menciptakan karya yang menghibur sekaligus berkesan. Â
Film ini bukanlah komedi biasa; ia adalah perpaduan apik antara komedi, drama, dan pesan moral yang disampaikan dengan jenius.
Â
Keberhasilan "Makelar Kodok" bukan hanya puncak karier, tetapi juga menjadi batu loncatan bagi perjalanan panjang Norman Benny di dunia perfilman. Â
Ia tidak pernah berhenti belajar dan berinovasi, terus mengasah kemampuannya sebagai editor dan sutradara. Â
Keahliannya semakin terasah, terbukti dengan kontribusinya sebagai editor dalam film "Opera Jakarta," yang juga berhasil meraih penghargaan Citra di FFI tahun 1992. Â
Pengalaman bertahun-tahun telah membentuknya menjadi seorang profesional yang handal, mampu membaca alur cerita dengan tajam, mengelola tim dengan efektif, dan menerjemahkan visi kreatifnya ke dalam setiap proyek yang ia garap.
Â
Norman Benny, lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Â tidak hanya berkarya di belakang layar. Â
Pengalamannya sebagai dosen penyutradaraan di IKJ juga menunjukkan komitmennya untuk membina generasi penerus perfilman Indonesia. Â