Oleh: Indi Layyin Natussyfa dan Sausan Syaza
Artikel ini disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Hadits Tematik
Pendahuluan
Â
Salam sebagai salah satu bentuk inisiasi dalam sebuah interaksi sosial dan bentuk perhatian serta kesadaran atas kehadiran orang lain, menjadi aspek penting dalam keharmonisan komunikasi masyarakat Indonesia. Namun, menilik berbagai fenomena yang sempat ramai dibicarakan masyarakat Indonesia di beragam media kekinian, isu-isu berbau perpecahan seperti isu penistaan agama hingga perdebatan mengenai ucapan selamat natal bagi umat muslim kepada umat nasrani, secara tidak langsung menumbuhkan fobia tersendiri bagi mayoritas muslim Indonesia untuk melakukan interaksi sosial lintas agama dalam bentuk apapun, bahkan salam. Mereka khawatir hal tersebut akan menuntunnya pada perbuatan dosa, maupun khawatir tindakannya dihakimi massa. Alhasil, tingkat keharmonisan sosial antar umat beragama yang juga menjadi kekuatan dalam menjaga persatuan nasional, rasanya semakin berkurang. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik melakukan kajian terhadap berbagai hadis yang membahas tentang pengucapan salam kepada non-muslim untuk mencari kejelasan tentang bagaimana seharusnya seorang muslim memahami dan menerapkan nilai utama hadis-hadis tersebut serta tetap menjaga keharmonisan sosial.
Metode yang digunakan penulis dalam melakukan kajian ini adalah metode tematis- berdasarkan kata kunci, dengan menggunakan sumber pustaka jurnal dan skripsi terkait, serta menggunakan sumber pustaka, situs, dan aplikasi pencarian hadis untuk melakukan takhrij hadis dan tibar sanad. Adapun beberapa penelitian dengan topik serupa telah dilakukan sebelumnya dan menghasilkan beberapa temuan: (1) Hadis tentang larangan mengucapkan salam hanya dimaksudkan bagi kelompok non-muslim yang aktif memusuhi umat muslim[1]; (2) Umat muslim diperkenankan membalas, namun tidak diperkenankan memulai salam kepada non-muslim[2]; (3) Ulama sepakat mengenai kebolehan memberikan salam kepada non-muslim apabila mereka menghadiri pertemuan yang dihadiri orang-orang muslim, namun diluar kondisi tersebut, ulama berbeda pendapatÂ
 PEMBAHASAN
sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad s.a.w dan salah satu dari mereka mengucapkan salam dengan lafaz "Assaamu'alaikum" yang berarti "kebinasaan atasmu". Mendengar hal itu, 'Aisyah r.a. yang berada di samping Nabi langsung bereaksi dengan marah dan membalas ucapan tersebut dengan kata-kata "Bal 'alaikumussaam wal la'nah" yang berarti "bahkan kebinasaan atasmu dan juga laknat". Nabi kemudian menegur 'Aisyah dengan menasihatinya bahwa Allah mencintai kelembutan dalam segala hal. Nabi juga menyatakan bahwa beliau telah mendengar ucapan tersebut dan cukup menjawab dengan "Wa'alaikum" (dan atas kalian). Para ulama kemudian memiliki beragam pendapat dalam menafsirkan hadis-hadis yang memiliki redaksi serupa..
 Al-Qurthubi menjelaskan bahwa alasan Nabi menggunakan ucapan tersebut ketika membalas salam dari ahli kitab yaitu untuk memberikan teladan dalam menjaga kesantunan dalam bersikap. Selain itu, ucapan tersebut juga dimaksudkan sebagai langkah antisipatif terhadap sebagian orang Yahudi pada masa itu yang secara lahir mengucapkan "assalamu'alaikum", namun dalam hati mereka sebenarnya menyimpan doa agar Nabi tertimpa kematian.
 Al-Khathabi berpendapat bahwa redaksi ucapan "'alaikum" lebih diutamakan dibandingkan "wa'alaikum", karena penambahan huruf wawu dalam ucapan tersebut dapat berfungsi sebagai kata sambung yang menyertakan pihak lain, sehingga maknanya dapat berubah menjadi "'alaiya wa 'alaikum" (atasku dan atas kalian).  Pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa jika ahli kitab memberi salam kepada seorang Muslim, cukup dijawab dengan ucapan "'alaika", dan membalas salam tersebut tidaklah wajib. Sementara itu, mazhab Syafi'i tetap mewajibkan untuk membalas salam dari non-Muslim dengan lafaz "wa'alaikum".
 Adapun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan hal ini adalah QS. An-Nisa ayat 86:
Â
"Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan (salam), Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu."
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban untuk membalas salam dari sesama Muslim dengan ucapan yang lebih baik, sedangkan jika salam tersebut berasal dari non-Muslim, maka cukup dibalas dengan ucapan yang sepadan  Dengan demikian, larangan dan bolehnya mendahului salam kepada non-Muslim harus dilihat dari konteksnya.  Salam sebaiknya tidak didahulukan saat terjadi konflik besar antara Muslim dan non-Muslim, kecuali ada keperluan mendesak seperti urusan hak, pertetanggaan, atau persaudaraan.  Di luar situasi tersebut, salam diperbolehkan, asalkan bersifat umum dan tidak spesifik kepada non-Muslim.  Salam yang disyariatkan hanya berlaku jika non-Muslim berada dalam satu majelis dengan Muslim. Di Indonesia, salam merupakan bagian penting interaksi sosial sehari-hari.  Mayoritas Muslim di Indonesia membuat budaya Islam sangat melekat.  Seringkali, dalam berbagai pertemuan, bahkan di televisi, non-Muslim mengucapkan salam dan pujian singkat kepada Muslim sebagai pembuka percakapan, begitu pula sebaliknya.  Hal ini, baik sebagai formalitas, penghormatan, atau kebiasaan, menunjukkan upaya menjaga kerukunan nasional, khususnya implementasi Islam Wasathiyyah yang digaungkan banyak ulama.  Sejak kemerdekaan, toleransi dijunjung tinggi, dibuktikan dengan penetapan sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," menggantikan rumusan awal di Piagam Jakarta.
 Setelah melakukan serangkaian kajian terkait salam kepada non-muslim, menurut penulis, salam yang disyariatkan kepada umat muslim boleh dan layak diucapkan kepada masyarakat non-muslim utamanya di Indonesia. Penulis menilai nilai toleransi yang tinggi di Indonesia membuat hubungan persaudaraan antar masyarakatnya mengakar dalam, diikat oleh hubungan sebangsa dan setanah air, sehingga salam yang disyariatkan masuk ke dalam bentuk ekspresi persaudaraan dan perdamaian, serta bentuk upaya yang sangat dibutuhkan dalam menjaga stabilitas keharmonisan nasional, membuat sebab keharusan pengucapannya terpenuhi. Selain itu, pesan Al-Quran dan hadis mengenai kebolehan mengucapkan salam kepada non-muslim yang global dapat disikapi sebagai fungsi fleksibilitas kedua sumber utama pensyariatan tersebut sebagai pedoman hidup manusia yang shalihun li kulli zaman wa makan.
Kesimpulan
Salam adalah salah satu bagian dari interaksi sosial yang sangat penting khususnya di Indonesia, salam merupakan salah satu elemen penting untuk menjaga keharmonisan nasional. Namun, saat ini muncul kebimbangan di kalangan muslim Indonesia khususnya mengenai bagaimana menerapkan salam terhadap non-muslim sesuai syariat, karena isu-isu perpecahan antar agama sempat marak dibicarakan. Banyak hadis yang membahas masalah ini, semuanya menerangkan kandungan eksplisit dan implisit mengenai penerapannya. Setelah melakukan kajian atas permasalahan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa mengucapkan salam atas non-muslim dengan salam yang disyariatkan dibolehkan dalam majelis yang dihadiri muslim dan non- muslim atau ada kondisi yang mengharuskannya. Namun, diluar kondisi tersebut dilarang hukumnya. Sedangkan menjawabnya adalah sunnah dengan ucapan "Wa'alaikum" atau "Wa'alaik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI