Mohon tunggu...
Darwis Kadir
Darwis Kadir Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Migrasi dari Kapur Tulis Sampai pada Pak Mendikbud

8 Maret 2018   13:45 Diperbarui: 8 Maret 2018   15:36 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebungkus kapur tulis berdebu saya dapati hari itu di laci meja ruang guru. Saya termenung betapa lama kapur tulis jenis ini saya pakai sejak jadi guru 2003 silam. Entah kenapa kapur tulis ini masih bercokol di sudut laci meja?

Keberadaannya yang mulai tergusur dengan ramainya para sekolah dan guru migrasi ke papan putih white board dan spidolnya. Dengan pertimbangan praktis dan alasan kesehatan. Walau kemasan kapur tulis tersebut telah mempromosikan dirinya dengan bahasa bertema kesehatan. Kapur tulis bebas debu. Kenyataannya ketika tulisan dihapus maka debunya pun berantakan dan berserakan terhirup paru-paru.

Di seantero negeri kapur tulis ini pernah akrab sebelum tergantikan oleh spidol dan bahkan lcd projektor. Artinya ini dinamika dan telah terjadi pergeseran sosial yang disebut dengan perubahan. Perubahan adalah sesuatu yang mutlak. Pergeseran dalam dunia pendidikan mulai berevolusi mencoba mencari jati dirinya. Muaranya tentu adalah keberhasilan tingkat pendidikan setiap anak bangsa. Tentunya melalui pengukuran Varibel dan indikator tertentu.

Bisa jadi indikator yang dimaksud salah satunya adalah kurikulum. Membahas kurikulum seakan tak pernah ada habisnya. Kebijakan ganti kurikulum setiap ganti menteri seakan sesuatu yang kekal di tanah air ini. Dianggap sesuatu yang tidak istimewa jikalau ada kebijakan menteri bidang pendidikan yang diteruskan secara kaffah.

Entah beberapa kurikulum di Indonesia sudah diterapkan. Pastinya yang aku ingat hanyalah CBSA karna itu yang saya lakoni di masa sekolah. KBK, KTSP dan kurikulum 2013 itu saya jalani dalam peran sebagai guru.

Berbagai regulasi sejak ganti rezim yang kita kenal tagline revolusi mentalnya bermunculan. Seakan mengisyaratkan sebuah langkah maju pendidikan. Tidak salah menurutku seyogyanya itu memang harus menjadi skala prioritas. Namun terkadang ada hal sepele di sebuah daerah kabupaten yang mungkin saat ini belum dapat dituntaskan.

Keterbatasan wewenang pemerintah daerah atas regulasi pusat mencerminkan permasalahan akan terus terjadi. Untuk itu langkah nyata dan cepat diperlukan. Menurutku semua data para komponen pendidik telah terangkum jelas dalam dapodik. Unsur pemetaannya telah jelas, olehnya itu regulasinya pun harus mempunyai keberpihakan secara universal pula pada komponen pendidikan termasuk paling urgen adalah gurunya.

Bagaikan dua sisi mata uang, peran pendidik pun diharapkan meningkatkan kompetensinya. Sekiranya pemerintah telah mengguyur dana sergur maka balaslah dengan kompetensi yang baik. Kesannya pemerintah di anggap tak mubazzir menggelontorkan anggaran disebabkan pencapain pendidikan pun meningkat.

Saatnya para guru bersikap luwes, lentur, atau fleksibel dengan perubahan setiap saat. Mengikuti dinamika yang ada. Tapi perlu di ingat bahwa kesejahteraan para guru adalah hal utama. Apa pun nama tunjangan yang disematkan untuk guru itu, intinya tetap dibayarkan sebagai profesi diluar gaji pokok. Balasannya adalah kinerja mumpuni dari guru itu sendiri.

Jika selama ini guru telah migrasi dari kapur tulis ke spidol board terus ke lcd projektor berhasil. Maka guru harus berhasil migrasi dan cara konvensional menuju cara elegan dan bermartabat sesuai amanat dari setiap undang-undang dan kurikulum berlaku. Tak usah galau dari gonta-ganti kurikulum karena nasib kita memang berada pada lapisan bawah sebagai eksekutor, kecuali nantinya mendikbud berasal dari seorang guru TK, SD, SMP atau SMA.

Merdeka.com
Merdeka.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun