Mohon tunggu...
Laura Zefanya Elizabeth
Laura Zefanya Elizabeth Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

hii!! aku suka baca buku dan tidur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Punya atau Pura-pura? Saat Flexing Jadi Kebutuhan Sosial

1 Juli 2025   12:47 Diperbarui: 1 Juli 2025   12:47 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah lihat seseorang yang pamer beli tas Louis Vuitton, nongkrong di kafe fancy, atau staycation tiap akhir pekan yang semuanya diposting di Instagram atau TikTok? Fenomena ini dikenal dengan istilah “flexing,” yaitu menunjukkan gaya hidup mewah untuk membangun citra diri. Di Indonesia, tren ini sudah menjalar ke berbagai kalangan: mulai dari artis, influencer, anak muda, hingga... pejabat negara. 

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh gaya hidup hedon beberapa anak pejabat yang viral karena memamerkan mobil mewah dan barang branded di media sosial. Warganet langsung ramai, ada yang iri, ada yang kagum, tapi lebih banyak yang geram. Apalagi saat ketahuan sumber kekayaannya tidak jelas atau bahkan terkait dugaan korupsi. 

Lalu, kenapa sih orang-orang suka banget flexing? Apa hanya soal pamer, atau ada persoalan sosial yang lebih dalam? 

Flexing bukan hanya persoalan gaya hidup. Ia mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat Indonesia—dari kesederhanaan menuju materialisme. Media sosial jadi panggung tempat orang-orang berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling kaya, paling keren, paling sukses. Dan sayangnya, semuanya diukur dari apa yang tampak, bukan apa yang bermakna. 

Secara sosiologis, flexing berkaitan dengan konsep status sosial dan konsumsi simbolik. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai “modal simbolik,” di mana barang mewah bukan hanya untuk dipakai, tapi untuk menunjukkan “aku lebih dari kamu.” Barang bukan cuma barang, tapi jadi lambang prestise. 

Di era digital, media sosial seperti Instagram dan TikTok menjadi panggung bagi pertunjukan gaya hidup. Orang-orang hanya menampilkan versi terbaik dari dirinya—foto liburan, makanan enak, outfit mahal. Yang tidak terlihat? Utang, stres, dan realita hidup sehari-hari. 

Ini menciptakan apa yang disebut sosiolog Jean Baudrillard sebagai “hyperreality,” realitas palsu yang terasa lebih nyata dari kenyataan. Generasi muda terjebak dalam ilusi bahwa hidup sukses harus seperti influencer, padahal itu hanyalah potongan yang dipoles dari kenyataan yang belum tentu seindah yang terlihat. 

Akibatnya, banyak anak muda merasa insecure, membandingkan diri terus-menerus, bahkan terjebak utang demi mengikuti standar gaya hidup yang tak realistis. 

Yang membuat flexing makin problematik adalah ketika itu dilakukan di tengah ketimpangan ekonomi yang makin tajam. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia masih tinggi. Tapi di media sosial, yang tampak hanyalah kemewahan. 

Flexing memperlihatkan secara kasar siapa yang “punya akses” dan siapa yang tidak. Ini memperkuat stratifikasi sosial, membuat orang merasa semakin kecil karena tidak bisa “menyaingi” apa yang dilihat setiap hari di layar ponsel mereka. 

Sosiolog Karl Marx akan bilang: ini bentuk dominasi kelas. Yang kaya mempertontonkan kekuasaan simboliknya, dan yang miskin jadi penonton yang diam-diam frustasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun